Semua Rumah Ada Tikus

BANYAK tikus di rumah Halimah, meski rumahnya bersih beraroma apel segar. Mungkin karena dekat persawahan, mungkin karena kebun milik tetangga di dekat rumahnya yang terbengkelai sehingga menjadi sarang tikus, mungkin karena sedang musim tikus berbarengan dengan musim durian, mungkin karena anu, mungkin karena ini-itu, entahlah.

Saat malam tikus-tikus berseliweran di segenap penjuru rumah. Halimah menyiapkan beberapa sapu di beberapa sudut rumah. Wanita 35 tahun itu sering menjerit kaget ketika tikus-tikus muncul mendadak, lalu sigap meraih sapu untuk mengusir mereka.

Astuti, anaknya yang berusia 12 tahun, memilih melompat ke sofa atau ranjang dan menjerit sekencang mungkin bila hewan menjijikkan itu muncul bagaikan hantu. Herman, suaminya yang berusia 37 tahun akan berseru woa, lalu kakinya yang bersandal selop secara refleks hendak melakukan gerakan menginjak meski yang terjadi adalah gerakan menyepak, ketika tikus-tikus itu muncul dan menghilang seperti siluman.

“Ini menyebalkan, benar-benar menyebalkan. Kita seperti dijajah,” gerutu Halimah.

Misi keluarga itu sekarang adalah: membebaskan rumah mereka dari penjajahan tikus!

“Kita pakai racun tikus saja. Beli di Shopee atau Lazada,” usul Herman, suatu malam.

“Jangan. Nanti tikusnya mati di sembarang tempat. Repot kita,” sahut Halimah.

“Pakai jebakan saja, Ibu,” usul Astuti.

“Bagaimana, Yah?” timpal Halimah, memandang suaminya.

Herman membeli jebakan tikus berbentuk kurungan dari besi. Beli dua sekaligus. Satu kurungan dipasang di dapur, satu lagi di ruang tengah. Pagi hari, dua tikus terjebak dalam kurungan itu. Tetapi tikus-tikus lain masih bermunculan tiap malam.

“Bagaimana ini?” tanya Halimah terdengar putus asa.

“Kita pakai lem tikus saja, Ibu. Bisa kita pasang di banyak tempat,” usul Astuti.

“Benar juga. Bagaimana, Yah?” timpal Halimah.

Herman membeli lem tikus. Ia memotong kardus bekas mi instan menjadi lima potongan. Tiap potong kardus diolesi lem tikus, lalu diletakkan di berbagai sudut di dalam rumah. Pagi hari, banyak tikus lengket di kardus berlem tikus itu.

Ketika lem tikus habis, Herman membelinya lagi. Tetapi tikus-tikus belum juga hilang dari rumah. Sungguh menyebalkan!

“Bisa bangkrut kita kalau beli lem tikus terus,” keluh Herman suatu malam, ketika sedang mengoleskan lem tikus pada potongan kardus.

***

Suatu hari ibu datang berkunjung, membawa seekor kucing cokelat muda polos, sewarna baju pramuka. Kucing itu tidak terlalu besar. Kata ibu, usia kucing itu sekitar tujuh bulan. Ibarat manusia, kucing itu masih remaja, sedang lincah, gesit, dan agresif.

Ibu punya empat kucing di rumahnya. Satu ekor kucing, yang termuda, dibawanya ke rumah Halimah.

“Aku dengar kalian bermasalah dengan tikus,” kata ibu, membelai kepala kucing coklat itu yang terdiam manja dalam pondongannya.

“Lebih dari bermasalah, Ibu. Tikus-tikus itu adalah teror bagi Imah dan keluarga. Tiap malam kami nyaris sulit untuk tidur nyenyak,” sahut Halimah.

“Semua rumah ada tikus,” kata ibu, membungkukkan badan, dan dengan lembut menurunkan kucing pramuka itu ke lantai. “Namun, tak semua rumah ada kucing,” lanjut ibu.

 “Tapi, Ibu. Bagaimana kalau kucing ini memakan tikus di dalam rumah? Hiii,” sahut Halimah bergidik, jijik.

“Jangan kawatir. Ini kucing yang pintar,” jawab ibu.

“Apa kucing ini punya nama, Ibu?” tanya Halimah.

“Ya. Namanya Hunter, karena ia pandai berburu.” jawab ibu.

Kucing itu mengeong, lalu berjalan menuju dapur. Kepalanya menengok ke segala arah, hidungnya seperti mengendus sesuatu. Ia bergerak cepat ke belakang lemari makan, belakang mesin cuci, belakang kulkas, lalu berlari ke kamar Halimah.

“Hunter mengendus jejak tikus,” kata ibu.

“Wah, kucing hebat!” seru Halimah kagum.

***

Keluarga itu berharap bisa tidur nyenyak. Ada Hunter yang menjaga rumah dari gangguan tikus. Namun, tengah malam mereka terbangun dan keluar dari kamar masing-masing. Mereka mendengar suara Hunter mengeong dan menggeram, suara benda-benda berjatuhan, serta suara cericit tikus.

“Di dapur!” seru Halimah.

Di dapur, mereka melihat Hunter sedang mengejar seekor tikus yang gesit menghindar, berlari ke belakang lemari makan, belakang mesin cuci, belakang kulkas.

Tikus itu melompat ke meja dapur yang terdapat teko, gelas, wadah gula, dan perabot lainnya. Hunter terus mengejar, tak peduli pada benda-benda di sekitarnya. Dapur jadi berantakan.

Hunter masih gigih mengejar hingga berhasil menangkap tikus itu. Tikus itu tak berdaya dalam cengkeraman mulut Hunter. Hunter sigap berlari meninggalkan dapur. Halimah, Herman, dan Astuti bergegas pula mengikuti.

“Gawat, Ayah. Hunter ke kamar kita!” seru Halimah cemas.

Halimah dan Herman bergegas ke kamar mereka. Mereka melihat Hunter melompat ke meja rias, melompat lagi ke atas lemari pakaian, lalu melompat ke lubang ventilasi di atas jendela kamar. Melalui lubang ventilasi itu, Hunter pergi dari rumah membawa tikus.

Halimah, Herman, dan Astuti takjub bagai melihat adegan film kartun. Hunter begitu lincah membawa mangsanya pergi dari rumah.

“Masya Allah, kucing hebat!” seru Halimah dengan mata membelalak.

Hari-hari berlalu, tikus-tikus di rumah Halimah sudah berkurang. Kalau ada yang berani muncul, pasti segera disergap oleh Hunter.

***

Suatu malam Hunter bertarung dengan tikus yang besar dan gemuk. Dua hewan yang secara hukum alam saling bermusuhan itu saling berhadapan seperti banteng dan matador. Tikus gemuk itu bukan lari, tetapi malah menyerang hunter. Dapur menjadi medan pertempuran mereka.

Halimah, Herman, dan Astuti mengintip pertarungan itu dari balik dinding ruang tengah.

“Mungkin itu ratu tikus,” bisik Herman.

“Ratu atau bukan, aku tak peduli. Lihatlah, dapurku berantakan,” sahut Halimah, mendengus, membayangkan kerepotan dirinya membersihkan serpihan-serpihan gelas, piring, dan barang pecah lainnya.

“Apakah Hunter akan menang?” bisik Astuti, menggigit bibir menahan jantungnya yang berdebar kencang antara takut dan jijik.

“Berdoalah begitu,” sahut Herman.

Hunter melompat hendak menerkam namun disambut tikus itu dengan lompatan pula. Tubuh mereka beradu di udara, keduanya jatuh bergulingan di lantai. Hunter menggeram, tikus mencericit. Dalam satu terkaman berikutnya, Hunter mengunci gerak tikus itu dengan taring-taringnya yang berkilat ditimpa cahaya lampu dapur. Hunter berlari keluar dari dapur.

“Gawat, Ayah. Jangan ke kamar kita!” seru Halimah dan secara refleks berseru kepada kucing itu, “Hunter, jangan ke sana!”

Tetapi, Hunter telah masuk ke kamar Halimah. Mangsanya sempat lepas di ranjang, meninggalkan setetes darah di sprai. Hunter masih agresif, kembali menggigit tikus itu yang tampak mulai tidak berdaya. Hunter hanya berputar-putar di kamar Halimah, tidak membawa mangsanya pergi melalui ventilasi seperti biasanya.

“Oh, celaka, jangan makan tikus itu di kamarku!” pekik Halimah.

“Pintu depan!” sahut Herman, lalu berlari membuka pintu rumah. “Giring Hunter keluar, cepat!”

Keluarga itu bersama-sama menghalau Hunter agar keluar dari rumah. Hunter memang pintar, ia mengerti kemauan tuannya; ketika gagal melompat ke ventilasi kamar, ia bergerak keluar kamar menuju pintu depan rumah yang terbuka, lalu melompat dan menghilang di keremangan halaman rumah.

Keluarga itu menghela napas lega. Malam ini Halimah menolak tidur di kamar yang ranjangnya ternoda darah tikus.

“Semoga ini malam terakhir kita dijajah tikus,” kata Halimah, duduk di sofa ruang tamu.

“Ibu mau tidur di sini? Astuti tidur di ruang tengah saja,” kata Astuti.

Herman menggelar kasur busa tipis di dekat meja tamu. Membaringkan diri.

“Mungkin itu memang ratu tikus. Lantas, apa kita telah merdeka?” gumam Herman, berusaha memejamkan mata.

***

Kini ada kesibukan baru dalam keluarga Halimah. Mereka harus merawat Hunter. Astuti secara rutin memandikan dan Herman membuang kotoran kucing itu. Sedangkan Halimah, kalau sedang belanja ke minimarket, selalu membeli makanan kucing. Itu membuat pengeluarannya bertambah.

“Tak apa, kita bisa menghemat untuk hal lain,” kata Halimah tersenyum bijak. Herman tersenyum lega. Astuti tersenyum ceria.

Mereka tetap memelihara Hunter karena mereka yakin bahwa, seperti kata ibu, semua rumah ada tikus.

***SELESAI***

Batang, 22 Maret 2023






===========
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *