Hati Seorang Penyair


Kenapa Jatuh Hati pada Penyair

ini siang jiwa bergetar-getar
matahari terik, seseorang musafir tiduran di lantai
menikmati haus + lapar
tapi kenapa tiba-tiba darahnya berdesir
kenapa ia merasa betapa jatuh hati pada seorang penyair
wanita yang begitu fakir?
siang-malam ia himpun doa

: “hidup-matiku hanya untukmu, Allah!”

dan rasa itu, sungguh ia sendiri tak mengerti
kenapa ia jatuh hati pada seorang penyair fakir
yang menganyam serpihan duka-lara
yang memberikan suap pertama setiap makan
pada kekasihnya, o lautan kasih

ia berselancar di atas lembar ayat-ayat suci
mencari apa sesungguhnya arti hidup ini
sebelum maut menjemput, sebelum cinta berakhir

tuhan, ini kuserahkan duka-luka
yang bertumpuk berlipat sepanjang jalan hidup
tak ada yang harus dibanggakan
selain hati-Mu, juga hati seorang penyair.

Jaspinka, 2023




Ada Debar Melingkar-lingkar

senja jatuh berjubah deras hujan
ini hari terasa getir

kau dengar petir menyambar-nyambar
kau lihat kilat membelah-belah langit
kau rasakan dalam dadamu ada debar
melingkar-lingkar?

: “itulah rindu, itulah suara hatimu…”

entah hingga kapan
kaupeluk tubuh, kaukecup bibir kasih-Mu
hingga engkau tersungkur-sungkur
di lembah berbatu-batu
di sepanjang bukit paling ngilu

: “merunduklah sehabis-habis runduk di hadapan
telapak kaki-Mu. Ampun segala dosa, ya Allah!”

lapar + haus bersimbiose dengan deras hujan
wajahmu + wajahku beku dalam rindu
lalu bayangan itu, bayangan luka mawar
yang darahnya menetes membasahi duri
lembar daun + ranting
o, perih ini, o luka mawar!
senja jatuh berjubah deras hujan.

Jaspinka, 2023




Senja, Gerimis dan Gemuruh Laut

senja, gerimis dan gemuruh langit
memaknai setiap pertemuan

haus + lapar serupa labirin
dan rindu
getar-getar waktu

: “peluklah sehabis peluk-Mu!”

dalam zikir
sajak-sajak serupa zarah
beterbangan, berseliweran di dalam kata-kata
yang perih

: “ini bukan semata haus + lapar, tapi keikhlasan…”

segala noktah segala tuba
gugur, luntur
ke langit
ke puncak paling sunyi

: “lailahailallah, subhanallah…”

inginmu, inginku
menjadi manusia paling setia
pada yang maha mengasihi

: “menyerahlah pada kedalaman hati-Nya!”

senja, gerimis dan gemuruh langit
memaknai setiap perpisahan
inginmu, inginku
selalu berbagi rindu.

Jaspinka, 2023




Kabut di Atas Sawah

sepagi ini, tinggal berapa lama sisa usia
sejauh apa dunia terkembang kaujejak
sedalam apa lautan kauselam

hei, hendak menulis puisi berapa tahun lagi?

: “kabut membatas jarak pandang
   sawah indah di kejauhan tiada kelihatan
   hanya kabut, hanya senyap…”

dari ketinggian bukit hutan pinus
engkau tinggalkan jejak dengan catatan
yang jingga
entah sampai kapan

: “pertemuan pagi dan kabut serupa rindu
   yang dingin, yang pedih!”

ini bukan hanya persoalan kabut yang mengapung
di atas hamparan sawah dengan gubuk di tengah
kemarilah, lunaskan hutang janjimu

: “kalau hanya hal-ihwal waktu, seluruh waktuku
   untukmu, untuk segala ketulusan dan kesetiaan!”

dari ketinggian bukit hutan pinus
engkau tinggalkan jejak dengan catatan
yang jingga.

Jaspinka, 2023




Sajak Mata Kasih

telah ribuan sajak aku tuliskan di dalam hatimu
perempuan berkarakter beraroma wangi edelweis

seluruh tubuh dan ruh adalah metafora

tangan waktu amatlah lembut, walau terkadang liar
mengelus dan mengoyak jubah penyair

: “aku mau mati dalam lautan kata-kata!”

tetapi aku tak mau darah
tak mau amarah
tak mau teror

lalu apa kauinginkan, selain nyanyian cinta?

: “aku mau baris-baris sajak mata kasih
    yang tajam + yang kekal!”

engkau pun pergi bertualang
menaiki bukit-bukit
menuruni lembah
membelah-belah selat

dan bermetamorfosa dalam rumah kayu tanpa jendela
menyemburkan cahaya ke seluruh ruang
sejarah yang berkeringat

: “aku serahkan laut, karang, debur, mercusuar!”

sorot matamu berbinar-binar
engkau pun menyeret masa lalu jingga
melarungkan ke kedalaman lautku!

Jaspinka, 2023




Manusia Senja

lengking kutilang + senja + usia
berpendar di wajah semesta

gelombang suara memecah batu rindu
sajak-sajak menjerat hembus napas
ia menggeliat– lepas penat hidup

: “inilah segala rasa dari lubuk terdalam
   sungai akal; kenapa mesti jatuh di pelukan
   manusia bertubuh senja? tak perlu dijelaskan
   tak perlu diperdebatkan, biarkan, biarkan
   sungai akal mengalir dari hulu ke hilir
   dengan segala kasih sayang!”

lengking kutilang + senja + usia
jangan paksakan gelora darah dada
menerima sesuatu tanpa cinta

: “sungguh, aku tak kan jatuh ke peluk pelaut muda!”

perahu terus berlayar
mengarungi lautan
membelah selat
membentur-bentur tebing karang

apa sejarah paling rahasia dalam lautmu?

darah yang memercik di atas mercusuar
membasahi batok kepala usia matang penderitaan

perahu terus berlayar
mengarungi lautan.

Jaspinka, 2023







Bagikan:

Penulis →

Eddy Pranata PNP

Penyair Minangkabau kelahiran kota Padang Panjang, 31 Agustus 1963. Menulis puisinya yang dipublikasikan antara lain di Horison, Aksara, Kanal, Jejak, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Lombok Pos, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Banjarmasin Pos, Suara NTB, Jawa Pos, Tanjungpinang pos, dan Minggu Pagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *