Suara Burung Emas

DI sebuah desa yang jauh dari istana Kekaisaran, terdengar suara nyanyian merdu yang selalu dinantikan. Ia bernyanyi, menari, dan mengajak penonton untuk ikut meramaikan pasar tempat ia tampil. Tidak banyak yang tahu dari keluarga mana dia berasal, bagaimana rupanya karena selalu menggunakan topeng berbentuk burung cantik berwarna emas, yang terlihat hanya bagian mata dan bibirnya saja. Terlepas bagaimana latar belakang si pemilik suara indah, yang terpenting dia terus bernyanyi dan menaruh kotak kecil di bawah, berharap ada yang menaruh uang koin sebagai imbalannya.

Sosok itu dikenal sebagai burung emas, karena menurut rumor yang beredar dia berasal dari keluarga bangsawan tapi dikhianati serta hanya dimanfaatkan saja oleh keluarganya. Sosok yang dipanggil burung emas adalah tulang punggung keluarga dari bangsawan yang jatuh miskin. Maka dari itu, dia bekerja keras mencari uang menggunakan suaranya yang merdu, meskipun hasilnya tidak menjamin untuk bisa memenuhi keinginan keluarganya.

“Terima kasih semuanya.” Sosok itu membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda salam penutup. Wajahnya ceria, dan dia sangat menikmati. Lalu datang segerombolan anak-anak yang antusias ingin mendekati sosok yang telah menghibur mereka hari ini.

“Nona… nona, suara kamu sangat indah, bagaimana bisa nona memiliki suara seperti itu?”

“Mungkin karena saya rajin berlatih?” jawabnya sambil pura-pura berpikir.

“Lalu, nona apa besok kamu akan datang lagi?” tanya anak yang lain.

“Yah, sayang sekali. Besok saya harus tampil di tempat lain.”

Terlihat anak-anak menampilkan raut kecewanya. Sosok yang dijuluki burung emas memang banyak disukai oleh penduduk rakyat biasa, tempat dimana dia sering tampil, karena penampilannya yang unik dan menarik perhatian. Tapi, tidak ada yang tahu seperti apa sosok asli dia yang sebenarnya.

♫♫♫

Suara kerincing dari gelang kaki terdengar seperti musik pengantar kedatangannya. Ditemani sang malam dengan bulan berpendar penuh, sosok itu berjalan memasuki hutan yang jarang dilalui oleh manusia. Netranya yang berwarna ungu cerah, berbinar, tidak sabar bertemu sang penyelamat hidupnya. Terlihat di tengah hutan terdapat pohon yang berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun, dan dikelilingi oleh cahaya kelap kelip seperti kunang-kunang. Cahaya suci itu adalah Peri Deepa.

Peri Deepa dianggap sudah punah bagi beberapa kerajaan akibat perang puluhan tahun lalu. Keberadaannya sangat rahasia, konon, jika seseorang bisa melihat Peri Deepa secara langsung dan mendapat anugerah, dipercaya akan diberi kebahagiaan dan keselamatan sepanjang hidupnya.

Sosok yang sedang menghampiri para Peri, berjalan anggun sambil melepas topeng yang menutupi wajahnya.

Luisa?

Sosok itu adalah si burung emas, Luisa tersenyum cerah karena para Peri mengelilinginya, membuatnya terlihat bersinar.

“Hei! Sudah lama ya kita tidak bertemu?” sapa Luisa tersenyum.

Kenapa Luisa baru datang sekarang? kami sudah menunggu lama, iya kan, Lu?” tanya si Peri yang bernama Fritzy.

Iya! kami ingin bermain bersamamu, tapi kamu baik-baik saja kan?” ucap Lu yang sudah duduk bertengger di bahu Luisa.

“Haha… iya, aku baik-baik saja kok, kalian tidak rindu sama aku ya?”

Rinduuu sangattt….” jawab Fritzy dan Lu kompak.

“Akhh!” suara seseorang menginterupsi mereka. Luisa segera menoleh mencari sumber suara yang berteriak seperti orang kesakitan, begitupun para Peri Deepa. Luisa beranjak ingin mencari tahu, ditemani sang Peri sebagai penerang cahaya di tengah hutan yang gelap.

Seorang laki-laki tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Luisa perlahan mendekat, melihat seragam yang dikenakan oleh laki-laki itu, seperti seragam dari Kekaisaran Voresham.

Luisa, lebih baik kita pergi saja, disini terlalu berbahaya,” beritahu Lu.

Aku mendengar suara langkah kaki, sepertinya akan ada segerombolan manusia datang menuju ke arah kita. Sebaiknya kita harus segera pergi,” lanjut Fritzy.

“To…tolong aku!” suara laki-laki itu terdengar lirih. Sayup-sayup matanya mulai meredup menahan sakit. Dia mencoba mendongak, melihat seorang wanita berdiri dengan rambut pirangnya yang berkilau. Sangat cantik seperti peri, begitu pikirnya.

“Tahan sebentar ya, kami akan mengobatimu. Sebelum itu, kita harus bersembunyi dahulu, Lu bantu aku ya,” pinta Luisa. Lu mengangguk, dengan kekuatan cahayanya ia akan mengobati laki-laki itu. Sedangkan, Fritzy berjaga karena waktu mereka yang terbatas.

Kaulah cahaya

Seperti bintang menerangi langkahmu

Terbang dan gapailah

Jemput harapanmu, biarkan ia bersinar

Jangan takut tuk melangkah

Kau tak sendiri, cahaya ini akan menemanimu

Selamanya…

Luisa bernyanyi diiringi kekuatan cahaya Lu yang terang menyinari mereka. Dengan ini maka kehadiran mereka akan disamarkan atau bisa dibilang Luisa sedang mengalihkan perhatian para manusia dengan suara merdunya sehingga mereka tidak akan mendatangi tempat Luisa saat ini. Dan itu adalah kemampuan Luisa yang sebenarnya, membuat ilusi melalui suara merdunya dengan tujuan untuk melindungi diri.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang mengamati kejadian barusan dari kejauhan lalu menyeringai. “Tidak salah aku mengikuti si Pangeran bodoh itu, ternyata di tengah hutan ini ada sesuatu yang menarik.” ujarnya penuh kepuasan, sambil memperhatikan Luisa dengan tatapan sulit diartikan. Setelahnya, menghilang tanpa meninggalkan jejak.

Setelah situasi sudah aman, laki-laki yang mulai kehilangan kesadarannya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi, dan mengingat suara nyanyian merdu dari wanita penolongnya. Dia akan membalas kebaikannya jika sudah sadar nanti. Tanpa tahu, bahwa wanita itu akan pergi sebelum laki-laki itu terbangun.

♫♫♫

Desir angin berhembus menerpa wajah Luisa yang tertutupi oleh topeng. Setelah kejadian kemarin berlalu, Luisa kembali menjalani kehidupan seperti sebelumnya. Dia mendatangi beberapa wilayah untuk tampil sebagai burung emas, bernyanyi dengan suara merdunya. Menjelang sore, Luisa akan kembali ke rumah setelah beberapa bulan bepergian. Terlihat rumah besar yang sudah tua walau ornament bangunan itu masih terlihat mewah.

Luisa membuka pintu, dapat dia lihat di ruang tengah ada Mama serta kedua adiknya. Luisa menarik napas panjang bersiap akan drama yang sebentar lagi terjadi.

“Dari mana saja kamu Luisa? Baru tahu jalan pulang?” suara menggema sang ibu membuat atensi yang lain teralih pada sosok yang baru saja datang.

“Tolong biarkan aku istirahat dulu, Ma.” Luisa memohon sambil menghembuskan napas pelan tanda ia benar-benar lelah.

“Kamu tau kan, keluarga kita sedang ramai dibicarakan para bangsawan sana? Keluarga kita hancur Luisa,” ujar mama melampiaskan kemarahan kepada Luisa.

“Lalu aku harus bagaimana, Ma? Bukannya anak kesayangan Mama yang seharusnya memperbaiki citra keluarga kita di depan yang lain.” Luisa tersenyum getir sambil melirik kakak sulungnya yang baru saja pulang sambil mabuk-mabukkan.

“Dasar anak tidak tahu diri! Mama yang sudah membesarkan kamu tapi ini balasannya?” ucapa mama sinis. “Lebih baik kamu menerima perjodohan dari Tuan Marquess, daripada menjadi perempuan ….” sang mama melirik Luisa dari atas hingga bawah lalu melanjutkan, “menjadi perempuan gelandangan.”

Prang!

Suara pecahan kaca terdengar kencang dari kakak sulung Luisa, Alfonso. Dia berjalan sempoyongan mendekati Luisa lalu menarik rambutnya kencang. Luisa hanya meringis menahan sakit, sedangkan kedua adiknya Anne dan Althan mencoba membantu memisahkan keduanya.

“Dasar wanita tidak berguna! Gara-gara kamu tidak memberikan uang itu kepadaku, aku kehilangan kesempatan bekerja sama membangun bisnis bersama keluarga kaya,” desisnya penuh kebencian. “Seharusnya kamu tidak usah pulang, pergi dari rumah ini!” Alfonso berdecih seraya meninggalkan mereka di ruangan itu.

Setelah kepergian Alfonso. Luisa mengepalkan tangannya kuat dan tersenyum getir, sedangkan sang mama hanya berdecak malas lalu pergi menuju kamar.

Kehidupan Luisa yang diperalat oleh mama serta kakaknya sebagai burung emas sangat menyayat hatinya. Luisa ingin pergi sejauh mungkin, tapi bagaimanapun mereka adalah keluarga kandung satu-satunya. Masih ada dua adik yang harus dia nafkahi, semenjak Tuan Count Asple meninggal dunia karena sakit.

Luisa menjadi tulang punggung keluarga, ketika sang ayah meninggal dunia. Alfonso, yang seharusnya menjadi pemimpin keluarga, justru menghabiskan waktu bersenang-senang dan menghamburkan uang keluarga. Sedangkan Countess Asple–mama terus membela putra kesayangannya, sedangkan Luisa serta adik kembarnya, sering menjadi sasaran empuk kemarahan sang mama.

♫♫♫

Hari-hari berlalu. Cuaca cerah dengan awan yang terbentuk secara alami, angin bertiup dengan banyaknya bunga-bunga bermekaran, membuat Luisa bersemangat untuk tampil pada festival yang diadakan oleh pihak Kekaisaran Voresham. Setelah banyak persoalan yang terjadi di rumah kemarin, Luisa kembali melakukan pekerjaannya menjadi seorang penyanyi.

Luisa sedang bersiap untuk tampil di sore hari, dibantu oleh Vina sebagai asistennya sekaligus teman masa kecilnya. Luisa harus tampil memukau kali ini, sebab ini pertama kalinya dia akan bernyanyi di depan para bangsawan setelah mendapat tawaran dari salah satu keluarga kaya, yang telah menyaksikan langsung si burung emas bernyanyi. Menurut Luisa, tidak ada salahnya untuk mencoba, selagi tawaran yang disepakati tidak merugikannya.

“Wah! kamu sangat cantik, Luisa,” puji Vina setelah selesai mendandani Luisa.

“Jika bukan kamu yang membantuku, aku tidak mungkin bisa secantik ini.” Luisa menatap dirinya di cermin sembari memutar badannya untuk melihat gaun yang dikenakannya.

“Ah iya?! Hampir saja lupa, ini topengmu. Jangan sampai lupa memakainya.”

“Baiklah, terima kasih Vina. Jika tidak ada topeng, tentu aku bukanlah si burung emas.” Luisa terkekeh ringan sembari menerima topeng tersebut dari Vina, kemudian memasangnya di wajah. Selaras dengan gaun Luisa yang berwarna hitam dengan sulur berbentuk daun dan bunga berwarna emas, sangat pas membungkus tubuh rampingnya dengan sempurna.

“Bahkan, jika kamu tidak memakai topeng pun kamu sudah cantik,” ujar Vina sambil memperbaiki tatanan rambut pirang Luisa yang digulung rapi ke atas.

“Ini hanyalah ciri khas, lagi pula aku tidak mungkin menggunakan nama asliku di atas panggung. Kamu tau sendiri ‘kan, bagaimana keadaan keluargaku sekarang.” Luisa mengendikkan bahunya santai. Mendapat julukan si burung emas juga tidaklah buruk, justru nama itu akan membuat orang-orang mudah mengenalnya.

Setelah selesai, Luisa keluar dari ruangan tempat dia bersiap tadi. Di luar sangat ramai, festival ini diadakan di pasar tempat sumber arus perdagangan Kekaisaran Voresham berlangsung. Ada banyak makanan tradisional, pakaian jadi untuk para bangwasan menengah kebawah hingga keatas, barang-barang unik, aksesoris cantik, dan berbagai wahana permainan serta kuis pengetahuan. Luisa harus menikmati festival kali ini, tentunya setelah urusan panggungnya sudah selesai.

Sedangkan, tempat Luisa akan tampil berada di aula terbuka, seperti Rumah Kaca Pita yang penuh dengan bunga-bunga beraneka ragam. Rumah Kaca Pita adalah tempat yang strategis untuk mengadakan acara formal maupun non-formal bagi para bangsawan dan keluarga kerajaan.

Sebentar lagi gilirannya akan tampil. Setelah serangkaian pembuka yang dibawakan oleh pembawa acara serta beberapa sambutan dari pihak penyelenggara dan Raja Voresham, tibalah waktu Luisa untuk menunjukkan bakat sebagai penyanyi, menghibur para tamu yang datang.

Luisa menarik napas dan menghembuskannya selama beberapa kali, guna menetralisir rasa gugup yang tiba-tiba melandanya. Semua akan baik-baik saja. Memasuki aula, Luisa berjalan dengan anggun, tercium aroma bunga segar sedikit mengurangi ketegangannya.

“Ah?! lihat!” teriak seseorang spontanitas.

Dia siapa? Apa dia penyanyi yang sedang popular di kalangan masyarakat?”

Sepertinya begitu, tapi kenapa dia memakai topeng? Ini kan bukan pesta topeng.

Aku dengar dia itu penyanyi si burung emas, coba lihat topeng yang dikenakannya persis dengan julukannya ‘kan.

Benar. Dilihat seperti itu saja sudah kelihatan cantik, pasti suaranya tidak kalah cantik.

Tapi, yang aku tahu bukannya dia berasal dari bangsawan yang sudah bangkrut ya? Kasihan sekali.

Sudahlah, kita nikmati saja.

Luisa harus mengabaikan bisik-bisik yang tertuju padanya. Tugasnya hanyalah menyanyi, jadi dia harus bersikap profesional. Beruntung, kali ini dia dibantu para pemain alat musik membuat Luisa akan lebih nyaman bernyanyi diiringi alunan lagu.

Di sini ada satu kisah

Hidup bagai cerita dongeng

Seorang anak bercermin di depan kaca

Merias diri seperti putri kerajaan…

Seseorang mengamati Luisa, sejak dia pertama kali memasuki Rumah Kaca Pita hingga memulai bernyanyi. Ia terus menatap intens Luisa dengan mata elangnya, seperti familiar terutama pada suara merdunya ketika bernyanyi. Ia ingin memastikan sesuatu, bahwa sosok yang sedang berada di atas panggung adalah wanita yang selama ini dicarinya. Wanita penolongnya, kala ia hampir sekarat.

Cinta… anugerah yang kau titipkan

Bersenandung rindu ini di angkasa

Diantara ribuan bintang

Kaulah yang paling terang…

“Yang mulia Pangeran Devan.”

Seseorang yang dipanggil Pangeran Devan, segera menoleh. Dia menaikkan sebelah alisnya kemudian berkata, “Ada apa Roxi?”

“Beberapa tamu undangan dari kerajaan lain telah tiba, Pangeran diminta Baginda untuk menyambut kedatangan mereka.”

“Kenapa harus saya, bukannya ada Kakak yang akan mendampingi?” tanya Pangeran Devan sambil mengarahkan kembali pandangannya pada sosok si burung emas. Dia tersenyum misterius, sambil berusaha menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang saat tidak sengaja mata mereka bertubrukkan.

“Yang mulia Putra Mahkota, saat ini sedang bersama calon Putri Mahkota. Maka dari itu, Baginda meminta bantuan dari Pangeran Devan,” ujar Roxi yang merupakan kesatria pribadi Pangeran Devan.

“Hah! baiklah, tunggu sebentar lagi. Roxi, ada tugas untukmu,” titah Pangeran Devan sambil mengendikkan dagunya ke arah Luisa. “Cari tau tentang wanita yang sedang bernyanyi di sana.”

“Penyanyi itu, si burung emas?” tanya Roxi memastikan. Melihat Pangeran Devan menganggukkan kepalanya, membuat Roxi keheranan. Apa pangeran ingin menyewanya juga, menyanyikan lagu untuk dirinya sendiri, batin Roxi.

♪ Oh… Kaulah cahaya

Seperti bintang menerangi langkahmu

Terbang dan gapailah

Jemput harapanmu, biarkan ia bersinar

Jangan takut tuk melangkah

Kau tak sendiri, cahaya ini akan menemanimu

Selamanya…

“Akhirnya, aku menemukanmu.” Pangeran Devan segera beranjak setelah Luisa menyelesaikan lagu yang dinyanyikannya. Namun, sebelum Pangeran Devan menghampiri, suara teriakkan dari Rumah Kaca Pita menggema membuatnya spontan mengalihkan perhatian.

Kebakaran!

Hah dimana?!

“Roxi!” panggil Pangeran Devan.

Roxi yang dipanggil segera menoleh dan berlari setelah berhasil melewati orang-orang yang berkerumunan tidak kondusif. “Iya, Pangeran.”

“Apa yang terjadi, rumah siapa yang sudah dibakar?”

“Bukan rumah Pangeran, tapi hutan dari arah barat tepatnya di sekitaran hutan para Peri Deepa tinggal.”

Setelah mendengar berita dari Roxi, Pangeran Devan langsung melirik ke atas panggung dengan khawatir, tidak ada… wanita itu pergi. Pangeran Devan berbalik menuju keluar untuk mencari wanita itu, entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Sedangkan Luisa berlari kencang menuju perbatasan hutan barat. Setelah teriakkan yang saling bersahutan di rumah kaca, membuat Luisa terbelalak, ikutan panik. Baru saja dia selesai tampil, kegaduhan lain pun turut bersuara. Luisa cemas, apalagi melihat kobaran api kian tinggi menyerbu hutan itu, membuatnya lemas lelah berlari.

Bagaimana nasib para Peri, apa mereka selamat, lalu bagaimana bisa hutan terbakar di saat festival berlangsung, berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Luisa. Dia bingung harus berbuat apa, melihat para rakyat yang berbondong-bondong membawa air untuk memadamkan api, Luisa pun memilih ikut membantu.

Api cepat menyebar. Di tengah kesibukannya untuk membantu memadamkan api, seseorang menarik pergelangan tangan Luisa dan membekap mulutnya agar tidak bersuara. Luisa meronta minta dilepaskan, tapi orang tersebut tetap menyeret tubuhnya menuju ke dalam hutan, bahkan ia dengan mudahnya memadamkan api di sekitarnya untuk dilalui. Entah kenapa, kecurigaan Luisa pun muncul, mungkin saja dialah dalang insiden kebakaran hutan.

Seseorang yang memakai jubah hitam menutupi seluruh tubuhnnya itu, menarik Luisa untuk masuk ke dalam hutan. Setelah sampai di depan pohon tinggi dan rindang, jauh dari area kebakaran, barulah ia melepaskan Luisa dengan kasar. Ia tersenyum sejenak lalu tertawa seakan puas apa yang sudah dilakukannya. Ia menarik dagu Luisa kasar seraya berucap, “Bagaimana menurutmu hm… penyihir peri?”

Luisa membelalakkan matanya seraya menepis tangan orang tersebut kemudian mundur perlahan. “Saya bukan penyihir! apalagi berhubungan dengan peri,” terang Luisa.

“Ohh, jadi bukan penyihir peri ya. Ah! Bagaimana kalau penyihir burung emas, bukankah suara merdumu itu pemberian dari para peri?” sosok berjubah hitam itu maju melangkah mendekati Luisa.

Luisa menggelengkan kepalanya, kakinya mundur perlahan dan matanya mulai mengawasi sekitar. “Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan siapapun apalagi dengan peri. Sebenarnya, apa maumu dan kenapa harus menangkap saya?”

“Lihatlah di sekitar, bukankah kita berada di tempat tinggal para peri. Sepertinya mereka sedang bersembunyi, dan melirik kau diam-diam. Apa mereka khawatir ya,” tandasnya meremehkan.

Luisa memperhatikan di sekitarnya. Benar, mereka memang berada di area tempat para Peri Deepa tinggal. Tiba-tiba Luisa menggigil dan saat Luisa lengah, orang berjubah hitam tersebut menggores lengan Luisa dan tetesan darahnya jatuh tepat mengenai akar pohon yang mencuat di atas tanah. Luisa terpekik histeris dan meringis sambil menutupi lengan kirinya yang terluka. Cahaya bersinar terang dari pohon sumber kehidupan para Peri Deepa, alunan musik yang berisik terdengar oleh mereka berdua menandakan para peri tersiksa akibat darah Luisa.

Luisa membekap mulutnya dengan satu tangannya yang tidak terluka. Ia tercengang dengan apa yang baru saja terjadi. Luisa menoleh tajam kepada orang berjubah hitam.

“Kenapa? Kau baru tahu, haha… kau beruntung mendapat anugerah dari Peri Deepa berupa suaramu yang merdu, tapi apa kau tahu resiko yang harus kau tanggung? Ya, darahmu, jika kau terluka dan darahmu menetes di sekitar tempat tinggal peri, maka itu sama saja kau tidak menghargai mereka. Dan itulah tujuanku yang sebenarnya, mengambil para peri disaat mereka sedang lemah, haha… Akh?!” raungnya tiba-tiba kesakitan.

Tubuhnya menegang, Luisa melihat sendiri anak panah yang mendarat tepat di belakang punggung orang berjubah tersebut. Rasanya sesak, kenapa Luisa baru tahu akan hal itu. Jika dipikirkan kembali, sudah pasti sesuatu yang berharga maka akan ada dampak yang ditanggungnya. Luisa jatuh terduduk, bergumam minta maaf kepada para Peri Deepa.

Seseorang berjalan perlahan menghampiri Luisa. Ia melepas mantel dan menyampirkannya ke tubuh Luisa. Luisa tersentak kaget, menoleh dan menatap awas laki-laki tersebut, seketika dia merasa mengenalnya.

“Tenang, aku tidak akan menyakitimu.”

Luisa menyipitkan matanya. “Kamu, orang yang terluka waktu itu kan. Sedang apa kamu di sini?” Luisa mengedarkan pandangannya dan matanya berhenti menatap orang berjubah hitam yang sudah tergeletak tak berdaya, lalu kembali menatap laki-laki di depannya. “Apa itu perbuatanmu, Yang Mulia Pangeran?”

Pangeran Devan tertawa renyah. “Kamu mengenal aku ya, sayang sekali,” ujarnya dengan senyum tipis. “Tidak usah khawatir, semua akan kembali baik-baik saja. Aku akan membantu, dan terima kasih karena sudah menolongku waktu itu.”

Luisa hanya mengangguk dan ikut berterima kasih kepada Pangeran Devan yang sudah menyelamatkannya.

“Apa dia mati?” tanya Luisa kembali menengok ke belakang, mencoba mengamati pergerakan lelaki tidak dikenal, takut-takut dia terbangun.

“Aku membuatnya pingsan. Dia salah satu penyihir yang ingin mengambil kekuatan peri secara paksa untuk sebuah artefak kuno sebagai kekuatan yang bisa dipakai sesukanya.”

Luisa tercengang. Dia baru tahu akan hal itu. “Lalu bagaimana?”

Pangeran Devan tersenyum remeh. “Tentu, hal itu sudah diketahui lebih dulu dari pihak istana. Itulah kenapa kemarin aku bisa terluka parah, sebab mereka sedang mengincarku karena berhasil diselidiki dan menemukan bukti bahwa perbuatan mereka sangat kotor,” terang Pangeran Devan menjelaskan.

Luisa menghembuskan napas lelah. Sekarang bagaimana keadaan Peri Deepa, apa yang harus dia lakukan untuk menebus kesalahan yang tidak diketahuinya itu. Memperhatikan keadaan hutan tempat ia berpijak, sepertinya kebakaran yang terjadi beberapa saat lalu telah berhasil dipadamkan. Luisa berbalik menghadap pada pohon besar di depannya, terlihat layu dan gelap.

Pangeran Devan memperhatikan Luisa yang sedang gelisah. Dia sendiri tidak begitu tahu tentang keberadaan peri dan kekuatan mistis yang mereka punya. Pangeran Devan ingin membantu, namun urung saat Luisa maju perlahan dan menyentuh batang pohon besar itu.

Luisa bersenandung, berharap bisa merasakan keberadaan Peri Deepa khususnya Fritzy dan Lu. Luisa memohon dengan hati tulus dan permintaan maaf karena kesalahan yang tidak disengaja terjadi. Cahaya kunang-kunang mulai menyinari tempat di sekitaran mereka. Matahari bersinar terik ikut menampakkan diri, daun-daun beterbangan diiringi suara kicauan burung pertanda adanya kehidupan di bagian dalam hutan ini.

Luisa jatuh terduduk. Melihat itu, Pangeran Devan segera beranjak dan menghampiri Luisa. Melihat kekhawatiran di wajah sang pangeran, membuat Luisa terkekeh ringan. Luisa berdiri dibantu pangeran, lalu sekelebat cahaya melintasi keduanya cepat.

Luisa!

Merasakan namanya dipanggil, Luisa tersenyum haru. “Lu, Fritzy. Syukurlah kalian baik-baik saja. Maafkan aku, karena aku kalian terluka,” ucap Luisa lirih.

Lu dan Fritzy saling berpandangan. “Tidak perlu khawatir. Walaupun memang benar, kami sempat kehilangan kendali. Tapi, itu hanya sementara bukan sesuatu yang akan membuat kami punah seketika.”

Luisa merasa lega. Pangeran Devan yang menyaksikan itu ikut tersenyum tenang.

“Sebaiknya, kita harus pergi. Ada banyak hal yang perlu aku urus. Dan, kamu juga harus mengobati luka di lenganmu, Luisa”

Luisa terdiam. Ia pikir pangeran tidak mengetahui namanya. Dan Luisa baru merasakan rasa sakit di lengannya akibat goresan yang dilakukan oleh pria berjubah hitam itu. Luisa mengangguk mengiyakan.

Setelah hari itu, ada banyak kekacauan yang terjadi di Kekaisaran Voresham, dimulai dari kasus kebakaran hutan saat festival berlangsung, sekelompok orang jahat yang ingin menculik para Peri dan memanfaatkan kekuatan cahayanya, serta Alfonso yang terjerat oleh bisnis illegal. Semua masalah perlahan-lahan mulai diatasi. Lalu, kehidupan Luisa pun mulai membaik dengan para Peri Deepa yang sudah bisa ia kunjungi lagi –diam-diam– ditemani sang pangeran Devan.

Semua kehidupan tentu akan melewati berbagai tantangan dan solusi dari setiap permasalahan. Rasa percaya diri, harus dimiliki bagi setiap jiwa yang ingin bertahan di saat dunia menjauhinya. Pengorbanan dan usaha pasti akan dibayar dengan hasil yang lebih baik. Semua tergantung bagaimana cara kita untuk mendapatkannya dan setiap keputusan pasti ada risiko yang harus ditanggung. Untuk itu, teruslah melangkah walau ada banyak rintangan dan orang yang tidak suka dengan kita. Karena, kita tidak tahu hal apa yang akan menanti di depan sana.







Bagikan:

Penulis →

Sary Widyati

Mahasiswi asal dari Kalimantan Timur. Menulis puisi maupun cerpen, dan suatu saat bisa menulis novel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *