Lintasan-lintasan Ingatan



Dongeng Seorang Kekasih

Kamu adalah bulan itu – kekasih
Dari seluruh malam-malamku. Jiwamu
Tidur tanpa kasur. Kubaringkan impian
Di trotoar. Seorang lelaki, barangkali
Arab, Yahudi atau Nasrani: menatap
Kuburan melalui biji-biji kematian

Sebuah kursi dalam bayangan bulan
Seperti seorang kekasih yang menunggu
Tanpa batas waktu. Kabut putih beringsut
Di atas genangan langit yang hijau. Suara
Ambulans membelah jalanan kota ini. Lalu
Angin bangkit dari sela gedung-gedung —
Melayari kultur-kultur modern. Aku membuat
Seorang kekasih dari gagasan untuk masa depan

Bunyi engsel pintu karatan adalah derit
Yang menjerit disaat nasib sedang pahit
Namun dirimu acap bersembunyi di dalam
Tembang dan lambang. Mesin-mesin waktu
Terus berputar menggerus lintasan-lintasan
Ingatan. Malam makin kosong. Kamu adalah
Seluruh dongeng-dongeng itu. Dongeng yang
Tak bisa ditamatkan, walau matahari biru terbit
Di antara bukit-bukit dan gunung-gunung. Aku
Ingin bercerita padamu tentang gelombang
Suara proletar di bawah tanah yang basah

Jalanan, Mei 2023




Abstraksi Senja

Senja, katamu. Matahari terapung di laut
Burung-burung terbang di antara banyak
Bayangan. Aku telah membuat garis lurus
Di pantai, ombak datang menghapusnya
Tanpa basa-basi. Seekor camar menemukan
Suaranya bergema dalam gelombang udara

Sebuah pulau hampir tenggelam, seperti bangsa
Yang kehilangan budaya membaca. Langit
Melepaskan lapisan-lapisan awan. Aku melihat
Pohon kelapa tumbuh lurus ke atas. Kedua
Mataku tak pernah mendengar bisikan. Batu
Karang beraroma garam. Matahari bergeser
45 kilometer dari dokumentasi mesin percetakan

Senja kesekian, katamu. Kenangan tentangmu
Menyusut. Bayangan tubuhmu juga menyusut
Di antara banyak bayangan yang lain. Langit kini
Tak lagi berwarna kuning keemasan. Perahu layar
Tanpa nakhoda bertapa di pelabuhan. Aku melihat
Garis cakrawala. Garis yang dilintasi burung-burung

Pada detik yang mengejutkan: aku, kamu
Dan senja adalah segaris bayangan yang purba

Depok, Mei 2023




Hari Buruh

Pada Hari Buruh. Buruh tidak libur
–Jam kerja dan upah sama-sama
Penting. Aku membeli cangkul
Untuk bekerja. Bahasa bercampur
Pasir di antara taman-taman kota
Dan pabrik-pabrik tua. Aku membeli
Palu untuk bekerja. Aku menjadi buruh
Di antara kata kerja dan kata benda
Ada letupan-letupan kecil di bawah
Bayangan konstruksi pembangunan
Apartemen. Aku berada di dalam kamar
Yang belum dituliskan. Matahari datang
Dan pergi. Hari berganti hari yang lain
Tubuhku pegal-pegal seusai lembur. Aku
Pinjam tubuhmu untuk bekerja. Tatapan
Matamu berbau cat yang basah. Suara
Mesin gergaji memotong besi. Aku terus
Bekerja. Bekerja untuk ke mana? Ke mana
Bersama siapa? Smartphoneku berbunyi:
Modernisasi tak mengenal batas berhenti
Pada Hari Buruh. Para buruh tetap bekerja
Di pelabuhan dan perkebunan. Aku masih
Buruh dalam deru mesin-mesin pabrik. Palu
Dan cangkul berdentang-dentang di antara jam
Kerja. Tubuhku masih pegal-pegal. Aku masih
Buruh. Aku pinjam tubuhmu untuk bekerja

Indonesia, Mei 2023





Garis Bekerja di Atas Kanvas

Aku melihat garis bekerja di atas kanvas. Bekerja
Untuk meledakkan setiap ketakutan. Percikan api
Di antara binal warna dan banal luka, seperti
Penderitaan 350 tahun dalam belenggu kolonial

Garis-garis lain bermunculan dalam kesibukan
Jam kerja. Garis-garis hampir memenuhi kanvas
Yang terbuat dari sobekan langit. Aku terkenang
Apa saja yang datang dari masa lalu. Garis-garis
Terus bekerja. Sebuah kerja menghapus ideologi
Kiri. Menghapus skandal korupsi. Menghapus
Jejak perselingkuhan. Menghapus setiap trauma

Berjam-jam aku mengamati kanvas. Mencermati
Cara kerja garis. Aku kini semakin suka melihat
Garis-garis bekerja, daripada menyaksikan nilai
Mata uang rupiah yang sedang merah. Angin
Bergerak tenang menyusun musim kemarau

Tetapi, garis tetap bekerja. Bekerja tanpa peluru
Yang mematikan. Ada cahaya putih di depan
Garis lurus. Ada gambar seorang presiden
Di tengah garis yang melingkar-lingkar. Di atas
Kanvas ini tak ada garis penghabisan

Depok, Mei 2023




Bukan Tentang Aku

Ini bukan tentang aku. Ia adalah lilin
Yang akan habis terbakar. Aku berjalan
Melewati pasar swalayan. Boneka Barbie
Berjajar dalam etalase-etalase kaca, aku ingin
Mencium keningnya, seperti mencium kening
Kekasihku. Tapi seekor kupu-kupu mati di jaring
Laba-laba tanpa upacara dan pidato penguburan

Lalu sebuah bom meledak dalam panci. Bom
Dari kisah-kisah politik yang absurd. Suara
Ledakan itu membuat ayam-ayamku berkokok
Tak beraturan. Beri aku bahasa untuk bicara

Ini bukan tentang aku. Ia adalah lilin kecil
Yang akan padam sebelum, ketika atau sesudah
Tengah malam. Orang-orang telah melupakan
Sebuah senja yang hilang. Orang-orang kini
Menanti pagi datang lagi untuk masa depan
Yang belum ada. Udara bercampur bau tubuh
Kekasihku. Bintang-bintang berdengung dalam
Bayangan kota-kota yang basah dan dingin

Seorang gadis tersenyum, ia berjalan
Di atas garis yang lurus. Lalu, kesunyian
Seperti bangkai rangkaian kereta api

Cinere, April 2023





Bagikan:

Penulis →

Iman Sembada

Lahir di Nglejok, sebuah dusun kecil yang terletak di wilayah Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen dan melukis. Buku antologi puisi tunggalnya antara lain Airmata Suku Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016) dan Orang Jawa di Suriname (2019). Biografinya juga termaktub dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *