Judul Buku : Satu Keluarga Telah Lengkap Penulis : Bulan Nurguna Penerbit : Basabasi Cetakan : Pertama, Februari 2022 Tebal Buku : 128 halaman ISBN : 978-623-293-651-5
Cerita-cerita dalam Satu Keluarga Telah Lengkap (Basabasi, 2022) adalah cerita-cerita yang tidak terlalu panjang, tetapi sekaligus juga tidak terlalu pendek. Judulnya diambil dari salah satu judul cerpen yang diposisikan paling akhir, dari narasi pada paragraf terakhir pula. Saya melihat, lewat narator-narator dalam kumpulan cerpen perdananya ini, Bulan Nurguna begitu lepas menarasikan berbagai kisah—dengan cerpen “Perempuan Gundul” dan “Delusi Delisa” sebagai pengecualian, sebab yang pertama menghadirkan rentetan metafora dalam hampir tiap kalimat yang ia guratkan, sementara yang kedua bergerak dalam kerangka “igauan” atau narasi delusi dari tokoh yang bernama Delisa.
Bagi saya, siapa pun bisa menikmati cerita-cerita dari Bulan, sebab ia tak muluk-muluk dalam urusan teknik—porsi konten serasa lebih ia dahulukan. Hal ini memang sudah ia sampaikan pada nukilan statment di bagian sampul belakang, bahwa tokoh-tokohnya dibangun berdasarkan motif-motif ekonomi, seperti tawar-menawar, pengelolaan sumber daya, sistem yang merugikan dan menguntungkan, kepentingan tiap pribadi untuk memenuhi kebutuhannya—materi, kekuasaan, emosi, penghargaan sosial, tipping, atau pemberian nilai lebih dari satu pihak ke pihak lain—yang tak jarang berlangsung dalam rupa tipu-menipu.
Problem utama yang kerap kali muncul adalah bagaimana keturunan dilihat sebagai pembentuk citra sekaligus “investasi materiel” oleh anggota-anggota keluarga yang lebih tua. Sekali lagi, kebanyakan cerpen dalam buku ini menyentil perkara itu secara eksplisit, baik lewat keterangan narator, monolog, maupun dialog antartokoh. Hanya saja, saya memiliki ketertarikan lebih pada cerpen berjudul “Kirana dan Ibunya”.
Saya selalu senang melihat teks-teks sastra sebagai representasi atas realitas, dan cerpen tersebut, selain yang paling mewakili problem utama yang saya maksudkan, juga amat lekat dengan realitas kita sebagai manusia hari ini: subjek-subjek yang nanar-sasar di hadapan pengerukan harta dan penimbunan citra.[1] Ketertarikan makin menguat lantaran saya melihat bagaimana relasi—atau bahkan secara frontal, mungkin bisa disebut “transaksi”—ekonomi (materiel) yang rigid telah menyasar ke “sumsum” dari kelompok sosial terintim bernama keluarga, yang semestinya amat identik dengan relasi cinta, kasih-sayang, welas asih, dan sebutan bagi hubungan romantik lainnya yang notabene bersifat imateriel.
Keluarga Kirana: Setamsil Urusan Pemodal dengan Buruh-buruhnya
Tokoh Ibu, sebutlah sebagai investor atau pemilik modal, tentunya bakal bersikap kasar tatkala apa yang diinvestasikannya tidak berjalan sesuai planning jangka panjang. Ia merasa kucuran modal dan tenaga yang telah ia upayakan ke ketiga orang anaknya (Kirana dan dua adiknya), dengan usaha berupa toko, rupanya belum berbuah maksimal berupa peringkat—yang lazimnya orang-orang pandang sebagai penanda dari kecerdasan—di dalam kelas. Dengan gamblang, dalam pembuka cerita, Bulan menarasikan ini:
Ember merah muda itu sampai pecah menjadi dua karena dipakai memukul Kirana yang sudah tidak kuat bahkan untuk sekadar menangis. Anak itu terduduk di samping mesin cuci, bersandar di tembok. Tadi, ketika baru saja dipukuli, ia masih bisa berteriak dan menangis: “Tolong Kirana, Ya Allah. Ya Allah, tolong Kirana. Kirana minta tolong, Ya Allah.”
…
Kirana tahu kesalahannya: ia tidak mendapat rangking di sekolah, hanya tanda strip di rapornya, dan itu membuat ibunya sungguh geram. (hlm. 17)
Memang, sudah sangat jauh hari, Marx memberi gambaran bahwa adaptasi manusia terhadap lingkungan materielnya selalu melalui hubungan-hubungan ekonomi tertentu, dan hubungan ini kian dekat, sehingga tiap relasi sosial lainnya—termasuk keluarga—juga dibentuk oleh relasi ekonomi. Struktur ekonomi menjadi wadah pembangunan semua basis kekuatan lainnya, dan dengan demikian perubahan cara produksi menyebabkan perubahan dalam semua hubungan sosial manusia.[2] Artinya, dalam konteks cerpen ini, anak-anak hanya akan mendapatkan penghargaan atau pengakuan eksistensi ketika mereka berada pada range sepuluh besar dalam kelas, yang bagi orang tua setamsil “jasa” yang harus mereka setorkan. Ada relasi eksploitasi, pengisapan, dan hubungan kekuasaan antara (khususnya) tokoh ibu yang berkuasa dan Kirana beserta adik-adiknya yang dikuasai. Ibu Kirana, adalah ibu yang sejak muda dilukiskan oleh Bulan sebagai subjek yang—dilatarbelakangi kemiskinannya—amat berhasrat menjadi orang kaya, berpendidikan, berprestasi, dan terpandang, bagian dari masyarakat yang beradab (hlm. 24).
Keluarga berubah menjadi semacam pabrik, perusahan, atau kelompok kepentingan, tempat pundi-pundi keuntungan mesti dikumpulkan (di dan bagi masa depan), dan hukuman (punishment) menjadi niscaya atas kefatalan/kegagalan yang telah dilakukan anak-anak selaku “pekerja yang (telah) dimodali”. Mereka sejatinya belum memahami tetek-bengek pemodalan ini beserta rambatan-rambatannya, yang barangkali bisa dijadikan suplai modal simbolik oleh orang tuanya yang memiliki kepentingan.
Jika anak berprestasi, terdongkraklah citra keluarga; sementara jika tanda strip (-) menghiasi rapor mereka, maka penyiksaan menjadi niscaya. Relasi yang cukup absurd, kendati demikianlah kenyataan(-sastra-)nya. Hukuman-hukuman itu digambarkan oleh Bulan berupa: hantaman benda-benda, tamparan, jambakan, penyeretan, pecutan membabi-buta, injakan, sundutan, cacian, dan sebagainya.
Saya meyakini, sebab teks sastra selalu punya jejak-jejak referen ke realitas, apa yang dialami ketiga anak dalam teks Bulan, pula tak jarang terjadi di dunia nyata—tidak hanya kita temui dari balik pintu-pintu tetangga atau rumah warga sedusun, tetapi penyiksaan terhadap anak juga marak menjadi pemberitaan media massa. Di samping (rasa) kepemilikan anak secara biologis dan sosial adalah hak mereka, ditambah adanya suntikan modal seperti saya sebutkan sebelumnya, orang tua lantas merasa bahwa punishment berupa kekerasan adalah sepaket hak mereka pula.
Saya pikir, kekerasan yang terjadi dalam konteks cerpen adalah kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai kriminalitas, mengingat selain adanya diksi “siksaan” dan “kekejaman” dari narator (hlm. 18), dari segi moral pun agaknya berlebihan untuk memandang perlakuan demikian terhadap anak-anak, hanya lantaran perkara yang lebih kerap sepele seperti teriakan dan tawa yang mengusik tidur siang sang ibu. Lebih-lebih, hal itu berlaku dalam selubung kemunafikan, di mana tokoh ibu rupanya menghindari tajam telinga dan lidah tetangga, serta takut diketahui sang suami:
Ibunya yang terbiasa berhemat untuk urusan listrik dan air, sengaja membiarkan tivi di ruang tengah menyala, di dalamnya sedang ada adegan Maruko membeli bahan-bahan makanan di pasar, dengan daftar belanjaan dari ibunya. Tivi dibiarkan menyala, agar tangisan Kirana bisa disamarkan, sehingga tak didengar para tetangga, yang berpotensi menimbulkan pertanyaan dan gosip, serta kritikan tentang bagaimana menjadi ibu yang ideal. (hlm. 17-18)
Ibunya selalu menutupi apa yang dilakukan kepada anak-anaknya di depan suaminya. Bila semalam ia menyundut paha anak-anaknya, di pagi hari ia akan memakaikan celana panjang kepada ketiganya. Jaga-jaga kalau suaminya pulang dari toko mereka yang jaraknya memang jauh dari rumah. (hlm. 21)
Kudu kita akui, bahwa bagaimanapun, perlakuan kasar terhadap anak—dengan kacamata moral kita di dunia nyata—tidak dapat dibenarkan begitu saja, sesecuil apa pun bentuknya. Namun di sisi yang lain, kita pun tak bisa merangsek begitu saja menuntut dan menghakimi pelaku yang notabene adalah para orang tua, apabila mereka berlindung di balik semacam dalih “didikan” atau “pembangunan fondasi karakter patuh dan berbakti”. Tingkat keparahan kekerasan ini, dimungkinkan menanjak tajam apabila sudah membawa label-label agama, persis terjadai pada nukilan:
Di kran itu, ia lihat celana dalam-celana dalam dengan bekas menstruasi dihambur-hamburkan oleh ibunya. “Kan kamu sudah saya bilang, kalau pakaianmu ada yang kotor langsung dicuci. Ingat kamu! Kebersihan itu sebagian dari iman!”
Pamannya yang menyaksikan itu semua hanya tertunduk, lalu berpaling ke arah lain. Dengan wajah dingin Kirana pun mulai mencuci. “Lama sekali saya setinggi, sebesar, dan sekuat dia,” katanya dalam hati. (hlm. 22)
Sastra sebagai Institusi Liberal
Ya, ringkasnya dalam konteks cerpen “Kirana dan Ibunya”, ada masalah pada pohon silsilah keluarga yang dihantui bayang materi. Yang lebih ironis lagi, bagi anak-anak lain semacam Kirana yang telah “dimodali” orang tuanya—lalu karena kefatalan mendapatkan penyiksaan—ialah kenyataan bahwa kekerasan yang mereka dapati tidak akan pernah diakui oleh otoritas, mengingat: pertama, kekerasan tersebut dibungkam dan para korban belum paham soal hukum formal; dan kedua, karena pelakunya adalah para orang tua yang oleh negara dianggap lebih berhak atas anak-anak mereka, maka kekerasan itu—seperti dikatakan Walter Benjamin—seterusnya tidak akan pernah diakui sebagai “kekerasan” dalam definisi tindak pidana.[3]
Sampai di titik ini, kita telah mendapati posisi teks sastra yang mengakomodasi persoalan kekerasan, khususnya kekerasan dalam lingkup keluarga yang dibayangi perkara-perkara materiel. Sejatinya, persoalan semacam ini dalam konteks realitas adalah isu-isu sensitif yang selalu membutuhkan campur-tangan lembaga formal negara, memiliki hukum dan tercakup ke dalam peraturan. Karya sastra, tak terkecuali cerpen “Kirana dan Ibunya”, sudah pasti dipengaruhi hukum dan peraturan, dan ia menunjukkan kemampuan dan kekuatan untuk mengacaukan dan mengguncang aturan itu. Dengan kata lain, teks tidak (lagi) mewakili secara ketat dan denotatif apa pun di luar jaring kata-katanya, tetapi Derrida menegaskan bahwa sastra bergerak melampaui jaring kata-kata: “we are before this text that, saying nothing definite and presenting no identifiable content beyond the story itself, except for an endless difference, till death, nonetheless remains strictly intangible.”[4]
Bagi Derrida, teks sastra adalah sebuah institusi yang penemuannya selaras dengan revolusi hukum dan demokrasi dalam konteks Eropa, dan karena itulah ia dengan dalih fiksi diperbolehkan memuat apa saja sebab bertindak sebagai institusi liberal—meskipun juga tak luput dari pengaruh represi. Kendati hak untuk mengatakan sesuatu tidak pernah sepenuhnya dikonkretkan, teks sastra memiliki keunggulan untuk memungkinkan subjek—dalam konteks ini para pengarang seperti Bulan—mengatakan hal-hal yang sebaliknya ditekan untuk dikatakan dalam konteks lain.[5]
Sekali lagi, lewat pembacaan terhadap cerpen-cerpen Bulan Nurguna dalam Satu Keluarga Telah Lengkap, yang dikerucutkan lagi ke cerpen “Kirana dan Ibunya”, kita mendapati posisi teks sastra sebagai pengakomodasi masalah dalam (pohon) silsilah keluarga yang dibayangi persoalan materiel, yang pada akhirnya bermuara pula pada tindak-tindak kekerasan—dan inilah yang disebut oleh Derrida sebagai sifat sastra sebagai institusi liberal.
Sastra sendiri, dalam posisinya sebagai institusi, tidak memiliki kelembagaan. Sebagai sebuah institusi, sastra memang menetapkan hukum dan aturan di dalam dirinya sendiri. Namun, kebebasan sastra yang memungkinkan para pengarang melanggar aturan-aturan tersebut, justru untuk menghasilkan lebih banyak rupa-rupa teks lagi. Dan kita, sebagai pembaca, boleh menunggu berbagai “pelanggaran aturan” yang bakal dilakukan oleh Bulan Nurguna dalam menghasilkan teks-teks terbaru ke depannya—entah puisi, entah prosa, atau mungkin naskah drama.
[1] Bagi Edi AH Iyubenu dalam buku Cerita Pilu Manusia Kekinian (IRCiSoD, 2016), gambaran-gambaran semacam ini dapat mewakili apa yang ia sebut sebagai “kekejian modernisme-rasionalisme”. Baginya, manusia jadi memandang ukuran hidup sukses sebagai saldo, target, strategi, dan untung sebanyak-banyaknya—termasuk bagi saya ialah citra yang dihasilkan—yang kesemuanya diteropong melalui angka kalkulator (hlm. 207-209).
[2] lihat Doyle Paul Johnson. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 134-135; atau Franz Magnis-Suseno. 2019. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia, hlm. 148-157.
[3] Walter Benjamin dalam kumpulan tulisan-tuliannya, Reflections: Essays, Aphorisms, Autobiographical Writings (Schocken Books, 1986), mengatakan bahwa kekerasan atau pelanggaran hanya akan dianggap sebagai kekerasan apabila dinyatakan—yang artinya mesti diketahui terlebih dahulu oleh otoritas—sebagai perbuatan yang melanggar hukum (hlm. 277-300).
[4] lihat Jacques Derrida. 1992. Acts of Literature. New York: Routledge, hlm. 11.
[5] lihat argumen-argumen Jacques Derrida yang dikutip dalam: Pedram Lalbakhsh and Ali Ghaderi. 2017. “The Undecidable Quest: A Derridean Reading of Tolkien’s The Hobbit”. Pertanika Journals: Social Sciences & Humanities, Vol. 25 (No. 1): hlm. 149 – 168; dan Innezdhe Ayang Marhaeni. 2019. “Model Pembacaan Derridean Terhadap A Knight of The Seven Kingdoms Karya George R. R. Martin”. Poetika: Jurnal Ilmu Sastra, Vol. VII (No. 2): hlm. 202-215.