Bayi-bayi yang Disusui Langit

SEDANG nun jauh di negeri itu tersembunyi bayi-bayi tanpa ayah. Di negeri itu tak ada kematian suami yang perlu disesali dan ayah bayi-bayi itu akan mati usai bayi dalam kandungan itu terlahir ke dunia. Di sana ritual perkawinan serupa perkawinan belalang sembah betina memakan kepala si jantan. Terkadang dunia penuh dengan banyak hal dan keajaiban yang begitu ganjil.

Kepanikan terjadi pada bulan kedelapan musim kemarau panjang karena sebagian bayi mati kehausan. Selama hampir delapan bulan bayi-bayi itu bertahan dengan menetek pada payudara yang hanya berisi setitik air susu. Anehnya di negeri nun jauh itu bila musim kemarau tiba, perlahan-lahan air susu ibu juga akan ikut mengering. Keringnya air susu ibu pada musim kemarau mungkin pertanda yang membenarkan bahwa air di bumi terjalin erat dengan seorang ibu yang sedang menyusui.

Lima hari kemudian, pada suatu siang, beberapa perempuan tengah bercengkrama di bawah pohon ketapang yang mulai meranggas. Mereka meratapi air susu mereka yang kering. Dan gadis-gadis muda serta perempuan yang tak menyusui seorang bayi pada musim kering itu memberi penghiburan pada perempuan yang sedang menyusui bayi-bayi. Kini seakan para ibu yang menyusui bayi itu kehilangan dua cinta sekaligus, suami dan anaknya.

“Sungguh hari-hari yang buruk,” ungkap Mai, bibirnya terasa amat kering.

“Kau tampak khawatir, padahal belum pernah sekalipun kau memiliki anak,” ujar Nimar sambil mengelus bayi perempuannya.

“Huh, panas sekali udara di sini. Haruskah kita pindah ke tempat yang kaya akan sumber mata air? Tak mungkin. Lautan yang harus kita seberangi begitu luas dan ganas. Negeri ini tersembunyi di balik bayang-bayang kabut putih. Lagi pula, kita hanya menunggu mati di sini jika hujan tak turun secepatnya,” kata Mai, kemudian ia membasahi bibir yang kering dengan air liurnya.

“Serba sulit sekarang. Tak mungkin kita menunggu selama sepuluh tahun sampai laki-laki datang,” ujar April.

“Celaka… celaka sekali hidup kita,” kata Nimar, lalu ia memberi minum bayinya yang menangis.

“Apa yang Nimar berikan pada bayi Nimar?” Mai bertanya heran, mungkinkah bayi itu bertahan dengan air mineral.

“Payudaraku sudah tak berguna lagi untuk si bayi. Sama seperti dunia yang kering kerontang ini. Aku memberi air embun yang kutampung semalam pada bayiku, Mai,” jawab Nimar sambil mendiamkan tangis anaknya.

“Kenapa para lelaki hanya pulang saat musim kawin saja. Anjing kurap!” umpat April.

“Tenang, kawan. Tenang. Memang itu sudah takdir, para lelaki, kelak suamimu juga akan pergi meninggalkanmu,” ucap Mai.

“Tetapi kutukan macam apa ini Tuhan? Macam binatang saja hidup kita ini,” umpat April lagi.

“Sudah sayangku, April. Percuma kau mengumpat terus. Ya mau bagaimana lagi,” kata Nimar.

“Benar yang Nimar bilang. Kesusahan kita tak sebanding yang dialami Nimar dan bayinya,” ujar Mai.

Sementara ketiga perempuan itu bercakap, beberapa perempuan lain hanya duduk diam, entah sedang mendengarkan atau tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada yang tahu.

“Kau tahu tidak, Mai?” ujar Nimar, “Seminggu ini sudah seratus lebih bayi meninggal. Upik Baruk sampai gila dibuatnya, ia beri bayinya minum air laut.”

“Ya, ampun. Malang sudah Upik Baruk. Padahal ia begitu baik,” kata April prihatin.

Tiba-tiba perempuan dengan rambut yang memutih dan kulit yang keriput berkata, “Sudahlah kalian mengeluh.  Hanya berdoa yang bisa kita lakukan sekarang. Barangkali Tuhan akan berbaik hati.”

“Ah, Mak. Itu karena Mak terlalu lama hidup di dunia,” ujar April.

“Lah, ke mana yang lain, Mak? Bukankah ramai yang duduk di sini tadi,” tanya Mai heran pada Mak yang juga akan pergi pulang. Karena asyik bercerita dengan Nimar dan April, Mai tak menyadari perempuan yang lain telah pulang.

“Sudah hampir petang. Aku mau pulang dulu,” ujar Nimar.

“Aku juga pulang,” kata April.

“Ya, baiklah. Sampai bertemu lagi besok,” ujar Mai.

Tak banyak yang bisa dilakukan perempuan-perempuan itu pada malam hari. Semua sudah tertidur lelap pada pukul sembilan malam. Sedang awan-awan hitam beriringan dari kejauhan. Mai tak dapat tidur malam itu, pada saat tengah malam bunyi air menitik terdengar, duk..duk..duk. Semua orang terjaga pada tengah malam itu saat angin bertiup disertai gerimis. Semua orang menaruh ember di luar. Malam begitu gelap, usai meletakkan ember atau apa saja benda yang bisa menampung air hujan yang akan turun, seluruh perempuan di negeri itu kembali tidur. Mai tak melakukan apa-apa, ia hanya memandang dari jendela kamarnya. Mai merasakan angin sedang menanggalkan daun-daun kering pepohonan di seberang jalan. Hujan reda sejenak ketika hari menjelang siang.

Hari berikutnya hujan turun lagi, tetapi air hujan kali ini berbeda. Air hujan yang turun berwarna putih pucat. Keheranan mengisi setiap kepala perempuan detik itu.

“Tuhan! Puji syukur atas hujan yang kau turunkan,” ucap Nimar.

“Apa lagi. Ini hujan yang membawa nikmat yang tak bisa didustakan,” kata April takjub, “Bahkan iblis akan bersyukur,” katanya lagi.

“Ajaib,” gumam Mai, “ Rasanya seperti air susu ibu,” ujar Mai usai mencecapnya.

“Ganjil sekali hujan yang turun kali ini,” ungkap Mak terpaku melihat air di ember penampungannya berwarna putih pucat.

Bayi-bayi dibaringkan di pekarangan rumah. Mulut bayi-bayi itu bergerak seperti mulut seekor ikan yang terdampar ke darat. Mata ibu mereka berkilau. Sekilas di langit tampak bayangan mirip buah dada, tak jelas terlihat karena sinar lembut matahari yang muncul di balik awan hitam menyinarinya.

 Ketika hujan air susu ibu berhenti, bayi-bayi yang disusui langit itu menjadi kasat mata, ibu mereka menyentuh tanah di pekarangan sambil menangis tersedu-sedu.

“Oh, anakku, ke mana kau menghilang,” ucap Nimar diiringi isak tangisnya.

“Anjing— Langit telah menipu kita. Dia beri kebahagiaan sedetik, lalu ia berikan derita yang amat panjang,” ujar April.

Mai terpaku dan sebagian ibu menyesal dan meratap dalam rasa bersalah telah memberi bayi mereka air hujan susu yang semula sangat mereka syukuri nikmatnya.

“Mai,” panggil Mak, “Mai..” panggil Mak sekali lagi.

“Ya. Apa terjadi dengan bayi-bayi mereka?” tanya Mai.

“Aku tak tahu, Mai. Mungkin Tuhan, mungkin iblis, mungkin dewa yang menginginkan bayi-bayi itu,” jawab Mak.

Mai tak mengerti apa yang dikatakan Mak. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi di depan matanya. Bayi-bayi yang kasat mata itu mulai terlihat lagi kemudian terangkat dan mengapung di udara. Ibu mereka menggapai-gapai ke udara. Perlahan bayi-bayi itu terangkat ke langit. Akhirnya, ibu bayi-bayi itu pasrah karena tak banyak yang bisa diperbuat.

“O, anakku, sudah kupasrahkan kepergianmu. Kini pergilah dengan ibu angkatmu,” ucap Nimar.

“Ya, pergilah kalian semua bayi-bayi! Dengan ibu kalian yang ada di langit tinggi itu,” teriak April.

“April, diamlah!” bentak Mak.

“Aku akan pergi ke balik kabut di lautan,” ujar Mai.

“Apa yang akan kau perbuat, Mai? Di balik kabut itu terbentang bahaya,” kata Nimar.

“Lebih baik menentang bahaya. Aku curiga seseorang mungkin telah mengirim kutukan ke negeri ini,” kata Mai.

“Aku ikut denganmu, Mai,” ujar April.

“Terserahmu. Aku tak akan mengurusimu jika terjadi sesuatu pada dirimu,” ujar Mai.

Pergilah Mai dan April berlayar. Mereka berdua mengayuh sekoci. Kabut mulai tersibak dan kembali seperti semula begitu sekoci itu berlalu. Seluruh perempuan di negeri itu mengantar kepergian dua gadis muda tersebut. Beberapa sekoci yang lain menyusul dari suatu sudut di lautan hingga sekoci-sekoci yang lain menyusul. Seluruh perempuan di negeri itu pergi ke balik kabut yang tak pernah mereka sibakkan selama seratus tahun lebih. Dari balik kabut itulah para lelaki datang ke negeri itu mengorbankan nyawa demi cinta yang tak dapat ditawar, usai bercinta dengan perempuan di negeri itu, nyawa pun lenyap. Dari tepi pantai, tersisa Mak seorang diri, pandangnya tertuju pada sekoci yang telah jauh ke tengah lautan. Mak tak melihat lagi sekoci di ujung lautan seperti tanda titik, di depannya kini hanya terhampar kehampaan.

Tak lama berselang, setelah kepergian perempuan-perempuan ke balik kabut, Mak melihat bayi-bayi muncul dari dasar laut. Tubuh mereka mengapung, ombak menggesernya ke tepi. Mak mengangkat salah satu bayi yang mengapung itu.

“Induk mereka bukan perempuan yang telah pergi ke balik kabut itu,” ucap Mak, “Tangan bayi-bayi ini berselaput, telinganya berinsang,” sambung Mak setelah memperhatikan dengan teliti seluruh bagian tubuh bayi itu.

 Perempuan-perempuan yang telah pergi, jika mereka selamat mengarungi lautan dan bila memang benar adanya pulau di balik kabut itu, mereka yang sampai siap menyambut kembali musim kawin. Bayi-bayi berwarna merah muda akan terlahir kembali. Cukup sekali saja bayi-bayi di negeri tersembunyi itu disusui langit. Mak akhirnya mati tenggelam terseret ombak, bayi-bayi yang dilihat Mak hanyalah ilusi.



Bagikan:

Penulis →

David Utomo

Selain menulis cerita pendek, ia juga menulis cerita anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *