1
Dari kursi di suatu warmindo sepi pengunjung, Avav Achir melihat Jems Bany berjalan gontai layaknya caleg kalah pemilu dan langsung tahu apa yang baru saja menimpanya. “Belum ada kabar juga?” Jems Bany, tanpa mengatakan apa pun, langsung duduk berhadapan depannya. Ditolak lagi, ya? pikir Avav Achir sembari menarik napas dan mengangguk-angguk kecil.
“Mereka lagi fokus nerbitin self improvement,” gumam Jems Bany, seperti pada dirinya sendiri. Avav Achir menoleh dan, demi melihat air muka Jems Bany yang sekusut baju kotor belum dicuci enam hari itu, memilih menghela napas, tak mau menggarami luka batinnya.
“Gimana, ya, Vav, biar cepet dapet penerbit?” tanya Jems Bany, lagi-lagi seperti pada dirinya sendiri.
Avav Achir bungkam dan pertemuan itu berlangsung dalam hening sampai keduanya memutuskan kembali ke kost masing-masing saat tengah malam menjelang.
2
Tiga hari setelahnya, pukul 22.31, Tono mendengar kabar itu dan hatinya remuk memikirkan Jems yang berkeluh kesah pada Avav yang sebetulnya menghadapi hal serupa. Demi apa pun, Tono tak akan lupa ketika sebulan lalu, dengan nada murung, Avav berkata, “Maklum, Ton, penulis baru emang emang musti kerja ekstra.”
Ingatan itu membuat Tono ingin melakukan sesuatu. Sepayah dan semenyedihkan apa pun Jems Bany dan Avav Achir, Tono tak sudi melihat mereka berakhir menjadi orang-orang kalah. Tono bangkit dari duduk. Terbakar semangat, niat untuk membantu Jems dan Avav membuncah. Namun, saat menatap cermin di kamar kosnya, Tono tersadar: Aku harus bagaimana?
Tak mau buang-buang waktu, Tono langsung menghubungi kawan-kawannya yang lain via WA: Bro, tips dapet penerbit dong. Tono meletakkan gawainya yang masih hidup, menunggu, dan geram membaca balasan chat kawannya: Kirim ke email penerbit langsung aja, bro.
Tono tak menggubris itu sebab, selain Jems dan Avav sudah melakukannya, balasan kedua juga sudah masuk: Terbitin sendiri aja, lur. Membacanya, Tono ingin mengumpat karena Avav dan Jems pasti telah melakukannya jika memang menghendaki itu. Tapi, meski emosi karena balasan barusan tidak nyambung dengan yang ditanyakan, Tono tak sempat meluapkannya sebab balasan ketiga telah menyusul: Ikutin sayembara DKJ aja, Ton.
“Kadal!”
Tono tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengumpat. Sebab, menyarankan itu ke Jems dan Avav sama saja meminta mereka mempermalukan diri sendiri. Tono tahu betul seburuk apa puisi-puisi mereka. Tak perlu diragukan, kemungkinan naskah mereka tembus DKJ hanya nol koma nol nol nol nol nol sekian.
Tono pun mematikan WA dan membuka Google Chrome. Tono ketikkan kata kunci-kata kunci yang sekiranya dapat membantu Avav dan Jems mendapatkan penerbit. Tapi, alih-alih menemukan solusi, Tono justru berjumpa dengan informasi basi seputar langkah-langkah mencari penerbit, tips-tips agar suatu naskah lolos kurasi, dan blablabla tak penting semisalnya.
Tono nyaris merasa usahanya akan sia-sia seandainya, secara tidak sengaja, tidak menemukan tulisan Doni Ahmadi yang terbit di tengara.id tahun 2022 tanggal 29 Juli. Membacanya, Tono terhenyak karena dua hal. Pertama, pembahasan di tulisan itu bagi Tono cukup bisa menjawab apa yang sedang dicarinya. Dua, Tono—yang merasa telah bergumul dengan sastra bertahun-tahun—baru tahu bahwa ternyata ada istilah seperti itu: Agen sastra!
3
Dari esai penulis Pengarang Dodit tersebut, Tono jadi mengerti bahwa apa yang bernama agen sastra memiliki peran strategis: Bertanggung jawab menemukan penerbit bagi para penulis yang mereka wakili serta menegosiasikan kontrak penerbitannya. Tak berhenti di situ, agen sastra juga bertanggung jawab setelah buku si penulis terbit dengan cara menawarkan right penerjemahannya ke bahasa asing atau alih wahana menjadi film, komik, novel grafis, atau semisalnya.
Tono pun kian bernafsu mencari tahu lebih jauh hingga akhirnya menemukan tulisan Bambang Trim, “Menguak Profesi Agen Sastra”, dan tersadar: Terbitnya Harry Potter yang menyandang predikat mega best-seller itu bisa dibilang “tidak murni” berkat usaha gigih JK. Rowling sendiri. Sebab, di awal-awal kepengarannya, naskah Rowling itu ditolak penerbit berkali-kali.
Penolakan tersebut baru berakhir saat Rowling minta bantuan agen sastra yang kemudian mengontak Barry Cunningham, editor yang terkenal pandai menemukan naskah potensial. Tanpa agen sastra yang mempertemukan Rowling dengan Cunningham itu, bukan tak mungkin naskahnya masih akan teronggok di kolong tangga. Tono manggut-manggut membayangkan betapa peran agen sastra, meski sekilas seperti tidak tampak, bisa semenentukan itu.
Tono pun jadi teringat pada Ibrahimovic, pria Swedia yang mungkin tak akan menjelma pemain top dunia seumpama tidak diasuh Mino Raiola, agen bola yang kenyentrikannya sudah masyhur itu. Tono juga membayangkan tak akan ada yang mengenal BTS seumpama agensi yang kini beralih nama menjadi HYBE itu tidak menekan kontrak dengan tujuh mas-mas Korea tersebut.
Tanpa Mino Raiola, bukan tak mungkin nasib Ibrahimovic bakal setragis Jems Bany: Pengangguran, urakan, jomlo, tapi menggebu-gebu soal angan-angan di kepalanya. Tanpa HYBE, Jung Kook, V, Jimin, Suga, Jin, RM, dan J-Hope bisa jadi tak lebih beruntung dibanding Avav Achir yang hanya pekerja serabutan dengan bayaran rendah, miskin, kelaparan, dan pengidap asam lambung akut.
Dari hal itu, Tono kemudian melakukan asosiasi umum dalam kepalanya: Sebagaimana Mino Raiola yang memungkinkan Ibrahimovic fokus meningkatkan skil menggocek bola; juga HYBE yang memungkinkan personel BTS latihan menari, menyanyi, dan mengaransemen lagu-musik sendiri—suatu hal yang sulit dilakukan seumpama mereka musti cari klub sendiri, cari acara manggung sendiri, mengurus kontrak sendiri, cari sponsor sendiri, melakukan tour-promosi sendiri, dan seterusnya—agen sastralah pihak yang memungkinkan penulis agar bisa lebih fokus menulis.
Tono jadi terharu membayangkan Jems dan Avav bisa mengarang tanpa perlu pusing memikirkan penerbitan, strategi penjualan, launching, promosi buku, dan seterusnya. Mereka bukan Malkan Junaidi yang pembaca dan penyair dan editor dan penerjemah dan penulis esai-kritik dan petanidan tukang bangunandan guru ngaji dan suami sekaligus itu. Mereka tak akan kuat.
Merasa telah mendapat sesuatu yang mungkin bisa membantu dua kawannya, Tono menggali informasi lanjut dan tersentak ketika menemui tulisan Rony Agustinus dengan topik serupa, “Carmen Ballcells: Di Balik Layar El Boom”. Sebab, tulisan itu membuat Tono mengerti bahwa peran agen sastra bahkan bisa lebih besar lagi, sebagaimana terjadi pada sastrawan-sastrawan Amerika Latin tahun 1960-an (el-boom).
Bahwasanya, terlepas dari pantikan keberhasilan Revolusi Kuba, ada satu pihak yang secara sangat langsung berperan dalam munculnya fenomena el-boom tersebut. Ialah Carmen Ballcells yang dengan keras kepala mencarikan penerbit dan penerjemah di Barcelona untuk karya-karya penulis-penulis Amerika Latin.
Sebelum fenomena el-boom tersebut muncul, nama-nama semisal Gabriel Garcia Marquez atau Mario Vargas Llosa tak terdengar gaungnya. Mereka bahkan tak saling kenal dan tak saling membaca satu sama lain. Tak ada yang namanya sastrawan Amerika Latin, yang adalah sastrawan Kolombia, sastrawan Peru, dst.
4
Tono pun manggut-manggut, merasa paham mengapa Chuck Sambuchino, dalam Get a Literary Agent, mengatakan bahwa agen sastra dapat memberi tiga keuntungan yang tanpanya jarang penulis dapatkan. Pertama, para agen sastra memiliki relasi dengan editor-editor sehingga tahu penerbit mana yang paling potensial bagi naskah penulis yang mereka wakili.
Walakin, lebih dari itu, mereka juga membaca kecenderungan tren di dunia perbukuan internasional, semisal apakah para penerbit luar sedang mencari naskah dengan tema ini dari negara itu, dan sebagainya. Karenanya, penulis-penulis yang tidak memiliki agen bisa dikatakan telah melewatkan potensi mendapatkan pangsa pasar yang luas bagi naskah-naskah mereka sendiri—satu hal yang pernah dialami oleh Dee Lestari di acara The Frankfurt Book Fair 2015.
Dua, sebab menguasai ikhwal kontrak penerbitan, agen sastra akan memperjuangkan penulis yang diwakilinya agar mendapatkan kontrak sebagus mungkin. Jika kontrak yang ditawarkan buruk, agen sastra akan menegosiasikannya menjadi baik. Jika kontraknya sudah baik, agen sastra akan mengusahakannya jadi lebih menguntungkan. Jika sudah menguntungkan, agen sastra akan berupaya memaksimalkannya. Ditambah lagi, agen sastra inilah yang akan jadi pihak pertama yang mengingatkan penerbit jika terjadi keterlambatan transfer royalti penulis.
Bagi Tono, hal itu jelas sangat penting. Alasannya, meski menulis memang sebentuk “seni”, tapi penerbitan adalah bisnis. Menjadi sangat wajar apabila ketika menawarkan kontrak, penerbit akan terlebih dahulu mempertimbangkan keuntungan yang akan didapat dibanding memikirkan kesejahteraan penulis yang sering kali kurang menguasainya dan berakibat tidak menguntungkan.
Resain Dawokh, kawan Tono yang lain lagi, adalah contoh nyata untuknya: Pada pertemuan terakhir dengan editor Penerbit N, sebab mengira sistem beli putus yang ditawarkan sama dengan royalti, Resain meninggalkan ruang redaksi dengan mengepit naskah kumcer di ketiak kanannya sembari mencak-mencak sendiri.
Keuntungan ketiga, agen sastra dapat berperan sebagai bekingan penulis sewaktu berhadapan dengan editor. Lewat sebuah pengandaian, Tono berpikir begini: Avav menekan kontrak dengan Penerbit A, dan, setelah beberapa waktu, bertemu kembali dengan editor untuk mendiskusikan contoh buku terbitannya. Namun, Avav kaget mendapati desain sampul, lay out, jenis font, jarak antar baris, dan blablablanya sangat tidak sesuai dengan yang Avav bayangkan.
Apa yang harus Avav lakukan di situasi itu? Menyampaikannya kepada sang editor—bahkan dengan cara sesopan mungkin—bisa berakibat kurang menguntungkan bagi Avav. Di titik itulah agen sastra memainkan perannya sebagai bekingan penulis di hadapan editornya: Menegosiasikan hal-hal teknis sesuai harapan si penulis.
5
Tono kian mantap bahwa agen sastra memang akan dapat membantu dua kawannya. Alasan Tono sederhana: Agen sastra mendapat penghasilan dari royalti penulis—yang kata Chuck sebesar 15%. Dengan kata lain, agen sastra akan memperjuangkan kepentingan penulis karena dari penulislah agen sastra hidup. Ada hubungan timbal-balik antara keduanya, suatu hal yang membuat agen sastra menjadi sosok yang tepat mewakili penulis dalam menghadapi editor akuisi yang mewakili penerbit.
Awalnya, ketika mengetahui itu, Tono sempat agak ragu dengan nasib penulis yang royaltinya musti terpotong sebesar 15%. Bukankah royalti penulis kerap kali sudah terlampau kecil? Dan masih harus dipotong lagi? Serius? Nggak salah, tuh? Namun, Tono tak lagi risau dengan hal tersebut begitu membaca Guide to Book Publishers, Editors, and Literary Agents anggitan Jeff Herman. Sebab, sebagai ganti dari komisi 15% tersebut, penulis akan mendapat 8 hal berikut:
(a) Agen sastra bisa langsung menyerahkan naskahnya kepada editor-editor penerbitan sebab itu menghemat waktu sang editor dibanding jika harus menyeleksi naskah-naskah yang masuk ke meja redaksi; (b) agen sastra tahu editor mana yang tepat bagi naskahnya; (c) agen sastra dapat meningkatkan nilai jual naskahnya dengan cara mengirimkannya ke berbagai penerbit sekaligus, yang kadang bisa memunculkan apa yang disebut “auction”, persaingan antar penerbit untuk mendapatkan hak penerbitan; (d) agen sastra tahu bagaimana memoles dan memperbaiki naskahnya untuk meningkatkan daya tawarnya; (e) agen sastra menguasai ikhwal kontrak penerbitan dan bagaimana mengolah bahasa agar lebih menguntungkannya; (f) agen sastra paham nilai jual naskahnya dan memang berposisi untuk menegosiasikan perjanjian kontrak sebaik mungkin; (g) agen sastra membantunya memahami cara berhubungan dengan editor dan penerbit setelah menekan kontrak; dan (h) agen sastra dapat memberinya konsultasi terkait hal-hal yang bernilai, dan agar layak, jual.
Mengetahui itu, Tono merasa sudah cukup memahami perihal agen sastra seumpama pikirannya tidak dihinggapi pertanyaan: Apakah di Indonesia ada orang yang cukup gila untuk berprofesi sebagai agen sastra mengingat royalti penulis Indonesia yang konon amat sangat kecil itu?
Tono jadi panik sendiri dan langsung membaca ulang tulisan-tulisan yang barusan telah membantu membangun pemahamannya tentang agen sastra. Untungnya, Tono bisa merasa lega. Sebab, Bambang Trim dalam tulisannya menyebutkan dua agen sastra di Indonesia—Borobudur Agency dan Maxima Agency. Tono bertambah lega saat sadar bahwa rupanya Doni Ahmadi bahkan menyebut dua agen sastra di Indonesia yang lain lagi: Trisda Agency dan Literasia.
Mengetahuinya, harapan Tono tak jadi pupus karena ternyata ada orang-orang yang mau menekuni profesi itu dalam keadaan iklim perbukuan Indonesia yang keadaannya agaknya masih jauh dari kata ideal ini. Tono pun tak sabar memberitahu Jems Bany dan Avav Achir untuk segera meminta bantuan kepada agen-agen sastra tersebut.
Walakin, Tono lalu tersadar: Apa yang harus mereka lakukan jika ingin meminta bantuan agen sastra? Bertanya dengan polos melalui email atau web? Mengontaknya dulu? Mengirim naskahnya langsung? Atau bagaimana?
Merasa terpukul dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kepala Tono terasa pusing seketika. Seakan-akan, apa yang barusan Tono dapatkan belumlah apa-apa, masih jauh dari kata “bisa membantu dua kawannya”.
Tono sebetulnya ingat bahwa Chuck dan Jeff dalam bukunya masing-masing telah memberi penjelasan tentang apa-apa saja yang musti dilakukan penulis-penulis yang ingin meminta bantuan agen sastra. Bahkan, Tono juga sempat menemukan beberapa video di Youtube yang membahas tentang agen sastra yang diisi langsung oleh pendiri Borobudur Agency, Thomas Nung Atasana.
Namun, membaca buku Chuck dan Jeff setebal 435 dan 1053 halaman serta memelototi video-video yang rerata durasinya nyaris satu jam tersebut tak mungkin Tono lakukan saat ini. Tengah malam sudah lewat dan Tono baru ingat bahwa sejak siang tadi ia belum mandi dan makan. Kulitnya yang gatal-gatal, perutnya yang berteriak-teriak, serta matanya yang terasa berat menciptakan suatu sensasi ganjil.
Tapi toh gravitasi kasur terlampau sulit dilawan, membuat Tono akhirnya memutuskan untuk merebahkan badan. Dan, di garis batas antara tidur dan jaga, dalam pikiran Tono tebersit tanya: Tuhan, kenapa manusia ingin terbitkan buku-buku sastra?
Mlangi, Juni-Juli 2023