Catatan dari Bawah Tanah

PAGI menghembuskan nafasnya melalui jendela kumuh ruang bawah tanah. Membawa aroma yang tidak ada, seperti berita yang setiap pagi dipertontonkan di televisi. Di sekitar, saya hanya menemukan lembaran-lembaran kosong, barel-barel kayu kosong, dan lemari-lemari anggur yang kosong. Di lantai yang kumuh dan berdebu, tersisa botol-botol kaca, di antaranya sudah menjadi beling yang berserak di beberapa tempat. Saya tak tahu apa yang saya lakukan di bawah sini. Satu-satunya yang saya tahu, adalah saya terbangun, dan kepala saya pusing.

Saya merasa kenal betul diri saya, hingga sesuara berdenging di telinga, dan kemudian berbisik, siapa? Dan saya menjawabnya tidak tahu, atau tidak mengingatnya. Sia-sia, saya memang selalu lupa akan sesuatu hal setiap kali saya terjaga dari tidur yang rasanya panjang sekali. Seperti halnya orang-orang di kota ini, mereka juga semua adalah orang-orang pelupa. Seakan kemarin adalah sesuatu yang berjalan di antara kebingungan dan kehilangan. Dan hari ini yang jadi hari ini, adalah nafas, yang menyalakan jejak kaki.

Saya sudah hidup terlalu lama di sini, sepertinya begitu. Pada sebuah kota, di mana saya tidak ingat apa-apa perihal masa lampau. Dan saya tidak mencium apa-apa tentang masa depan. Oleh sebabnya saya selalu merasa terasingkan oleh dunia di luar sana. Udara yang dibawanya kemari benar-benar tawar dan kemarin pun rasanya hampa.

Saya sering menundukkan kepala, melihat kedua jari kaki yang perlahan membiru, membeku, dan menghitam. Saat kepala berdiri tegak, saya akan selalu menatap cermin yang sama, yang di dalamnya adalah orang-orang yang sama seperti kemarin. Bahkan apabila saya mencukur janggut hari ini, besok, saya akan menemukannya lagi. Di tempat yang sama, dan tidak bergerak ke mana-mana.

Tapi jangan khawatir, bila seseorang hendak datang kemari, saya akan jaminkan, lidahnya akan aman dengan makanan di sini. Kota ini terkenal oleh orang-orang yang handal dalam persoalan lidah. Lidah orang-orang di kota setajam silet yang setiap harinya diasah, untuk menguji rempah-rempah yang dihasilkan setiap musim panen tiba. Oleh sebabnya, hal itu tidak perlu dirisaukan, perut-perut pendatang akan aman di sini. Bahkan muntah orang-orang isinya pengetahuan, bukan omong kosong.

Tetapi, alangkah baiknya tidak seorang pun datang berkunjung kemari. Sekalinya terjebak, akan selalu terjebak. Dan kau akan selalu merasa menjadi orang yang paling tidak beruntung. Bahkan saya tidak tahu saya berasal dari mana sebenarnya. Rasanya saya tidak pernah berasal di tempat ini, namun tidak seorang pun datang untuk menjemput saya. Oleh karena sesuatu telah terjadi dan saya tidak mengingatnya, maka setiap hari saya berjalan-jalan (apabila saya tidak terserang demam).

Mencari diri sendiri adalah hal yang lebih sulit daripada mencari jarum di jerami. Begitupun halnya bila saya bertemu seseorang di jalan, mereka selalu menggaruk dahinya, seperti telah melupakan sesuatu. Dan saat saya bertanya, mereka hanya berlalu pergi dan meninggalkan saya. Saya dan orang-orang di kota ini adalah mereka yang telah kehilangan dirinya sendiri.

Percayalah, semua orang di sini adalah sama. Entah mereka tuan tanah, atau petani yang menggarap tanah-tanah tuan tanah, adalah sama. Bahkan anak-anak mereka serupa ibu-bapaknya. Adalah kami, yang dipersatukan oleh pikiran-pikiran tersesat tentang hari ini. Oleh sebab itu saya sering merasa tegang setiap malam ketika berjalan di alun-alun kota. Saya akan melihat kaki saya, yang bertelanjang menyentuh semen trotoar yang kasar dan sedikit basah. Kemudian saya akan melihat ke atas, dan menemukan sepasang lampu jalan. Cahayanya remang-remang, dan sedikit berasap oleh kabut. Pada kaca lampunya, saya akan menemukan sesuatu. Semacam kesedihan yang beranak-pinak, yang rasanya familiar, tapi saya tidak mengenalnya.

Sesekali apabila beruntung, saya akan menemukan sebuah pesawat ulang alik melintas di atas kepala, pada langit-langit kota yang kelabu, yang cahaya bulannya seredup lubang api yang kehabisan kayu. Entah kenapa, mata saya selalu menangkap pesawat itu saat ia tepat berada di titik zenit, tergantung di angkasa yang bertegak lurus pada kaki saya yang menginjak titik nadir. Dan Setiap kali saya menemukannya, saya akan selalu memohonkan untuk pesawat itu mengangkut saya dan membawa diri pergi dari sini.

Sudah menjadi kebiasaan tubuh saya seakan mengeras di kota ini. Yang saya tahu bahwa, urat-urat jadi mengencang, pembuluh darahnya mengalir begitu deras hingga saya dapat merasakannya, dan boleh jadi ia akan pecah suatu waktu. Ini semua perihal apa yang saya lihat di jalan-jalan. Hanya ada barisan pertokoan, yang tidak menjual apa-apa selain pertanyaan-pertanyaan. Begitupun para pejalan kaki, yang wajahnya usang dan asing. Tapi lidahnya lancar sekali menyenandungkan lagu real, bukan ideal. Dan bila saya menjorokkan badan saya ke timur, saya akan menemukan hamparan padang padi yang hijau-hijau, yang tidak ada orang-orangan sawahnya. Tampaknya burung pengacau lebih senang bermain di halaman kantor walikota, persisnya karena remahan-remahan roti suka ditebar begitu saja oleh seseorang di sana.

Hal inilah yang membuat saya mengira bahwa saya dan orang-orang itu adalah derita yang berkepanjangan, yang semestinya dimusnahkan. Sudah berulang kali saya meneriakkan dengan lantang di kuil-kuil sesembahan, di depan kantor walikota, di pinggir-pinggir jalan, sudut-sudut perkotaan yang kumuh, tentang kesedihan yang sedang ditanggungkan oleh orang-orang ini.

Namun kami semua tidak punya hati untuk mendengar, dan kepala untuk berbicara. Kami hanya mampu menghakimi tanpa peradilan melalui mata-mata yang menatap tajam pada kaki-kaki yang membiru, membeku, dan menghitam. Simbol kami adalah bijih-bijih emas yang siap dilunakkan dalam api kekuasaan yang perih, yang berselimutkan sayap kelelawar. Barangkali artinya memang tidak ada, karena besok, sudah pasti kami akan terlupa tentang apa yang terjadi dengan hari kemarin.

Saya sering berpikir untuk mengenyahkan diri dari kota ini. Saya ingin sekali menyingkir dari makhluk-makhluk aneh, yang setiap harinya berbaur dan berpura-pura untuk sepiring makanan. Yang apabila tidak, saya terpaksa harus bergabung dengan para pemulung. Tapi persoalannya bertambah rumit seketika petang telah tiba. Saya kehilangan arah mata anginnya. Saya inginkan utara, dan bila saya melihat bintang-bintang, bintang utaranya berbaur di antara kehampaan langit malam yang kerlap-kerlip bersama pesta kembang api.

Terlebih saat malam semakin dalam, udara jadi begitu dingin, dan saya tidak mungkin tidak memikirkan tentang kaki saya yang membiru. Dan kemudian, saat saya hendak tidur, dan mencoba mengingat tentang hari ini, tapi selalu setiap paginya saya menemukan kenangan kosong. Lantas kekosongan itu kembali diisi oleh angan untuk cabut dari kota ini. Sepertinya, saya hanya kekurangan waktu untuk merancang pelarian, karena hari ini berjalan begitu singkat.

Oleh sebab itu, di kota ini, tidak ada yang membicarakan tentang hari kemarin. Pernikahan, pemakaman, kelahiran dan kematian, pesta pora, festival panen, dan hari libur, segalanya tidak menyisakan apa-apa. Hanya segumpal omong kosong, atau kentut yang setiap pagi keluar dari lubang kotor. Tapi entah kenapa, segalanya berjalan baik-baik saja. Atau barangkali segala persoalannya langsung terselesaikan, atau terlupakan oleh hari ini yang penuh dengan ketidakpuasan.

            Demikian sepanjang harinya, saya hanya bisa mengamati orang-orang lalu-lalang. Pemandangan di kota cukup membosankan. Tidak ada yang laju dengan cepat, atau mundur perlahan. Segalanya berjalan sesuai ritme yang tidak terikat pada keadilan. Karena keadilan disembunyikan di lubang enam kaki di bawah oleh seseorang yang sudah lama sekali tiada.

Sejatinya, orang-orang ini bukanlah orang bodoh. Mereka cukup pintar untuk mengerti bahwa dua tambah dua adalah empat. Karena setiap kali seseorang menjawab lima, tubuhnya akan langsung diarak dan dibakar di jalan-jalan bersama sebotol tuak. Dan apabila dia adalah seorang perempuan, tubuhnya akan diperkosa ramai-ramai kemudian dibakar. Dan bila ia beruntung, tubuhnya cukup dibakar saja.

Orang-orang di kota ini memang seakan sudah mengunci rohnya di suatu tempat, yang sedari lahir pintu besinya sudah dibor oleh baut-baut rumit, sehingga untuk melepasnya diperlukan semacam hitungan matematik atau ritus. Tapi tetap, untuk membukanya cukup hanya dengan sebuah kunci, yang kuncinya selalu terekat di surga kaki ibu mereka.

Berulang kali saya mencoba untuk memecahkan teka-teki kota ini. Yang orang-orangnya selalu mencoba menyembunyikan nirwananya pada aliran sungai dan air laut. Serta lebat hutan-hutannya yang cukup mistis itu pun membuat tidak ada para ilmuwan yang berani menginjakkan kakinya ke dalam sana. Segalanya tersimpan bagai rahasia. Malangnya, tidak seorang pun penasaran dengan hal itu. Padahal bisa jadi, di balik rahasianya, kan ditemukan semacam ramuan untuk menyenandungkan lagu-lagu baru yang lebih modis nadanya di kemudian hari.

Tapi tidak, seluruh upaya selalu berujung patah oleh ketidakadaan sejarah. Oleh sebab itu saya yakin betul, di luar kota ini, ada sebuah wilayah, yang pemerintahannya adil dan tertata. Yang sejarahnya sedemikian kelam sehingga orang-orang jadi belajar untuk mendahulukan kepentingan publik ketimbang pribadi atas sumpahnya kepada kemanusiaan. Orang-orang yang keadilannya pernah terbenam horizontal, sehingga mereka selalu mendambakan sesuatu yang bervertikal, bertegak lurus pada alam raya. Yaitu masa depan, dan anak-cucu sekaliannya dapat hidup tanpa rasa takut oleh wajah-wajah asing berperut buncit yang berkelana di jalan-jalan atau yang menempel di toko-toko atau tiang listrik. Saya hanya dapat melakukan penggambaran-penggambaran saja. Mungkin, kenyataan mereka jauh lebih buruk dari kota ini.

Sepanjang pengetahuan saya, saya tidak pernah memiliki teman. Ketika saya memilikinya pun, mereka pasti akan menganggap saya orang sakit. Karena saya menunjuk kepada bintang-bintang. Dan apabila saya menerjemahkan matahari, saya pasti dikurungnya di sebuah ruang bawah tanah yang gelap. Tapi, saya tahu saya akan baik-baik saja di dalam sana. Di luar ataupun di dalam rasanya sama saja, hati saya terlekat jauh pada sebuah istana kristal yang terpisah oleh ribuan kilometernya lautan. Dan saya selalu bahagia memikirkannya. Karena barangkali di sana, seseorang memiliki ingatan tentang masa lampau, dan angan-angan tentang masa depan.

Saya menginginkan kebenaran supaya saya tahu, bahwa racauan saya hari ini, bukanlah racauan yang sama seperti kemarin. Supaya segalanya tidak jadi sia-sia. Namun, jikalau pun sama, saya inginkan seluruh orang-orang meracaukan hal yang sama. Saya inginkan, racauan ini adalah undangan. Atau boleh jadi semacam perjamuan diam-diam oleh orang-orang yang tidak mengenal satu sama lainnya, tapi nyatanya adalah saudara. Yaitu orang-orang yang berangan-angan, orang-orang yang setiap malam merasakan ketegangan yang membuat sendi-sendinya menjadi ngilu, yang setiap harinya memikirkan mengapa ia tertidur di sebuah ruang bawah tanah yang gelap seperti tikus, dan bukan di permukaan.

Hingga hari esok yang diimpikan, yang tanah-tanahnya mengeluarkan aroma rumput dan embun pagi, demikian memanggil orang-orang pada setiap penjuru kota untuk berhamburan keluar dari ruang persembunyiannya. Kemudian berpetualang di jalan-jalan serupa jalang yang menelanjangi dirinya untuk mencari kebenaran mereka masing-masing. Dan berhenti menyembah hari ini.

Pasalnya, sudah terlalu lama kami tenggelam oleh hari ini yang berisi kekosongan dan tipu daya yang memuslihatkan nurani. Seakan hari esok tidak pernah ada. Tapi saya tahu pasti, hari esok itu ada. Bisa jadi tersembunyi di salah satu sudut kota, di menara-menara, atau di antara jerami-jerami petani. Mungkin pula di balik-balik tanah bumi, atau sesederhana di jantung penguasa. []

2023




Bagikan:

Penulis →

Nuzul Ilmiawan

Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *