Horor yang Silam, Perempuan, hingga Bebauan

Judul Buku   : Bahaya Merokok di Ranjang
Penulis      : Mariana Enriquez
Penerjemah   : Gita Nanda
Penerbit     : Labirin Buku
Cetakan      : Mei, 2023
Tebal Buku   : xvi + 216 halaman
ISBN         : 978-623-92983-5-7


Sering kita mendengar bahwa realisme magis lahir di Amerika Latin. Bukan hanya karena karya-karya dari dunia ketiga tersebut menjadi pelopor. Status realisme magis tetap melekat pada karya-karya Amerika Latin karena mereka selalu punya generasi penerus untuk membawa tongkat estafet. Mariana Enriquez adalah salah satu dari banyak penulis tersebut.

Salah satu bukunya yang berjudul Los peligros de fumar en la cama telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Dangers of Smoking in Bed dan berhasil masuk dalam jajaran daftar pendek penghargaan International Booker Prize pada 2021. Buku ini juga telah dialihindonesiakan dengan judul Bahaya Merokok di Ranjang.

Buku ini horor sejak pada sampulnya. Memperlihatkan kerangka sayap dan tengkorak yang mengingatkan kita pada band-band metal. Selaian nuansa seram, gubahan Enriquez yang berupa kumpulan cerita pendek ini memiliki beberapa kecenderungan yang dapat ditemui pada sebagian besar cerita. Kecenderungan tersebut antara lain, yaitu perkara konsekuensi masa lalu, tokoh perempuan dan anak kecil, serta suasana horor yang terbangun dari indra pembauan.

Konsekuensi Masa Lalu

Paling tidak setengah dari keseluruhan cerpen dalam buku ini dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian masa lalu. Baik yang dialami secara langsung oleh tokoh utama, tokoh pembantu, maupun cerita-cerita legenda urban yang telah lama dipercaya.

Pada cerpen “Angelita yang Tercerabut”, persoalan keluarga dan cinta kasih justru menjelma sumber petaka. Bagaimana tindakan tokoh nenek dalam cerita menjadi biang keladi dari segala kengerian di masa yang akan datang. Ia memiliki kasih sayang untuk Angelita pada derajat yang luar biasa. Bahkan, boleh dikatakan hampir gila: membawa jasad adiknya agar tak merasa kesepian. Saat jasad Angelita dicerabut dan dimakamkan ulang, justru ia tidak betul-betul diperhatikan. Kehororan dalam cerita ini menjadi dialektis. Ketika menghantui keluarganya, mungkin Angelita juga merasakan horor atas perlakuan kakaknya. Kengerian dalam cerpen ini tidak hanya meliputi yang masih hidup, melainkan Angelita—yang telah meninggal berpuluh-puluh tahun silam—juga merasakan situasi yang sama.

Imbas pengalaman masa lalu juga hadir dalam cerpen “Belah Dadaku, Sayang”. Cerpen ini sama sekali tidak menampilkan hantu atau cerita tentang orang yang telah mati. Sebaliknya, cerpen ini menghadirkan bentuk horor yang muncul dari efek psikologis orang yang masih hidup. Ketika dihadapkan pada hal yang kasat mata bukankah kita justru jadi lebih mawas karena berada pada dimensi yang sama? Saat kita dihadapkan kepada hantu-hantu gaib—setidaknya dalam kumpulan cerpen ini—yang muncul hanyalah kengerian pada wilayah emosi. Tokoh-tokoh dalam cerpen mengalami ketakutan hanya karena mereka tidak betul-betul tahu tentang dimensi tersebut. Namun, kengerian yang berusaha dihadirkan dalam cerpen yang satu ini berwujud manusia nyata. Oleh sebab itu, teror yang timbul tidak berhenti pada wilayah mental, melainkan keterancaman terhadap fisik yang indrawi.

Perempuan dan Anak Kecil

Kejadian-kejadian masa lalu yang menjadi biang horor dalam kumpulan cerpen ini sering kali melibatkan sosok perempuan dan anak kecil. Kehadiran karakter perempuan dalam cerita horor merupakan hal yang jamak terjadi. Jika ditelusuri lebih jauh akan ditemukan banyak perempuan yang dijadikan figur sentral dalam kisah horor, baik sebagai sosok yang mengalami kejadian, maupun sebagai sumber horor. Yang menjadi agak segar dalam buku ini, yaitu kehadiran tokoh anak kecil dalam beberapa cerpen. Lagi-lagi, karakter anak kecil muncul sebagai pihak yang mengalami atau teror itu sendiri.

Keterlibatan perempuan dan anak kecil dalam cerita “Sumur” begitu dominan, mulai jumlah tokoh hingga peran yang dimainkan. Terdapat lima tokoh perempuan tersorot dan dari kelima tokoh tersebut, Josefina, ibu, dan dukun, menjadi penggerak cerita. Dari struktur cerita tersebut, cerpen ini seolah menunjukkan bahwa perempuanlah yang rentan bersinggungan dengan kejadian-kejadian horor. Anggapan umum yang menyatakan bahwa kesadaran perempuan cenderung didominasi aspek emosional ketimbang sisi rasional divalidasi oleh cerpen-cerpen dalam buku ini. Sementara itu, tokoh laki-laki dalam “Sumur” selalu berusaha untuk tetap rasional. Tokoh laki-laki senantiasa menyangkal setiap kejadian misterius yang kerap kali dihubungkan dengan hal supranatural oleh para perempuan.

Jika dalam cerpen “Sumur” dominasi perempuan lebih kuat secara kuantitas, cerpen “Anak-Anak yang Kembali” menghadirkan lebih banyak anak kecil. Walaupun terdapat beberapa tokoh perempuan, tulang punggung cerita ini adalah ‘anak-anak yang kembali’. Nuansa horor dibangun dengan serangkaian kejadian misterius. Alih-alih menampilkan makhluk halus yang menyeramkan, cerita bergerak di wilayah empiris. Peristiwa dalam cerita beroperasi secara realistis meski kembalinya anak-anak yang telah mati atau hilang menjadi begitu enigmatik.

Indra Pembauan

Dalam usaha pencitraan, beberapa cerpen menghadirkan suasana ganjil dengan melibatkan indra pembauan, seperti munculnya bau tahi atau bangkai. Bebauan itu seolah menjadi tanda bahwa peristiwa aneh akan terjadi. Bebauan tersebut menjadi elemen yang segar—bukan dalam arti literal, tentu saja—dalam fiksi horor meski tidak baru.

Cerpen berjudul “Troli” menggerakkan narasi melalui aspek bebauan tersebut. Sejak tokoh gelandangan muncul di kompleks perumahan dan berak sembarangan, kehidupan warga mulai tidak beres. Tahi si gelandangan menghadirkan setidaknya dua kengerian: pada hidung dan hidup warga. Tidak berhenti di situ, bebauan busuk tetap ditinggalkan gelandangan pada troli yang dibawanya. Entah apa isinya, warga cuma tahu bau busuk itu bersumber dari benda tersebut. Sejak saat itu, bersamaan dengan bau-bau tak sedap, lingkungan tersebut menjadi kacau dan terkutuk.

Kasus yang sama juga hadir dalam cerpen “Rambla Triste”. Bau tak sedap yang menyengat muncul sejak awal cerita, menggambarkan Kota Barcelona yang kotor. Bau busuk tersebut menjadi tanda dari hal-hal buruk yang akan terjadi dalam cerita. Barangkali pembaca sudah menerka kengerian yang bakal muncul juga pada setiap cerpen—ini kan kumpulan cerpen horor. Namun, setidaknya pembaca dapat menerka bagaimana cerita akan beroperasi dari tanda-tanda yang dihadirkan. Hingga menjelang akhir cerita, aroma tak sedap kembali muncul. Kini kemunculannya berfungsi sebagai penanda akhir dari serangkaian bebauan yang mengarah pada kehadiran makhluk yang tak dikehendaki. Arwah para bocah yang telah mati.

Pengarang seakan-akan ingin mendayakan seluruh aspek indrawi untuk menghadirkan kesan horor. Pengayaan aspek indrawi ini menjadikan cerpen lebih dinamis dan tidak monoton pada indra penglihatan. Sebagaimana kita sering mendengar kata ‘penampakan’ dalam fenomena supranatural yang merupakan konsekuensi pencerapan visual terhadap entitas astral.

Kumpulan ini seolah tercerai-berai dan tidak memiliki keberkaitan yang eksplisit, kecuali efek ngeri yang hadir pada setiap cerita. Ketiga poin mencolok tersebut merupakan usaha menemukan benang penghubung dari kedua belas cerita dalam kumpulan cerpen ini. Meskipun tidak sepenuhnya berkaitan, setidaknya ketiga poin itu membantu kita merangkai interpretasi yang holistik atas Bahaya Merokok di Ranjang.



Bagikan:

Penulis →

Ikrar Izzul Haq

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *