Gaun Peach

SEORANG gadis berdiri di depan cermin tanpa minat, dengan tatapan sendu ia menatap bayangannya. Air matanya bisa saja jatuh saat itu juga, namun hatinya berkata untuk tidak mengotori gaun yang dikenakannya sedikit pun. Leia tidak akan membiarkan siapapun menodai atau lebih buruknya merusak gaun ini bahkan oleh dirinya sendiri. Kalaupun bisa Leia tidak akan membiarkan gaun ini nampak usang setelah sekian lama, ia hanya ingin gaun ini tetap terlihat cantik. Karena dirinya tahu gaun ini dibuat dengan kasih sayang yang tidak akan pernah bisa menjadi usang, kotor, ataupun kusut. Perasaan seseorang sangat berbanding terbalik dengan sifat mutlak yang melekat pada benda tak hidup.

Tentu saja ada alasan di balik semua tindakan dan kasih sayang Leia pada gaun ini. Bahannya yang lembut mampu membuat ia merasa hangat seperti sedang dipeluk, design-nya yang terlihat simple namun elegan sangat menggambarkan cara berpakaian Savara, seseorang yang telah membuat gaun ini hanya untuk Leia.

Savara merupakan satu-satunya Kakak perempuan yang Leia miliki. Seorang designer muda yang sukses membuka sebuah butik di usianya yang menginjak ke-25. Kakaknya bilang ia ingin melihat Leia memakai gaun ini di ulang tahunnya yang ke-17.

Walaupun tidak memiliki hubungan darah, hal tersebut tidak menghalangi keduanya untuk menjadi akrab. Sudah pasti mereka telah melalui proses yang rumit dan membutuhkan waktu, sebab Leia sempat membuat drama dengan bersikap buruk pada Ayah dan Kakak tirinya. Bahkan untuk sekedar bernapas disekitar keduanya saja Leia tidak sudi. Lebih baik kehabisan napas daripada harus berbagi oksigen, pikirnya kala itu.

Perceraian kedua orang tuanya tentu saja membuat Leia merasa marah dan dirugikan. Terlebih lagi ia tidak diberi waktu untuk menangisi dirinya sendiri, pernikahan Ibunya berlangsung seminggu kemudian setelah perceraian. Leia terlalu lelah dan menjadikan keluarga barunya sebagai pelampiasan amarahnya yang tidak bisa ia keluarkan sebelumnya. Tetapi dengan rendah hati Savara menghampiri dan berkata, “Leia boleh marah, Leia boleh nangis, Leia juga boleh sedih. Leia berhak atas semua itu. Kakak ngerti, kenapa Leia kayak gini ke Ayah sama Kakak. Leia nggak salah apa-apa tapi Leia juga yang harus kena imbasnya. Sekarang gini deh, ketika Leia merasa kalau dunia itu udah nggak adil coba cari alasannya. Suatu hal tidak akan pernah terjadi tanpa alasan dibaliknya, kan?” Savara mencoba untuk menjadi Kakak yang baik bagi Leia.

Tak heran, sudah sejak lama dirinya ingin memiliki seorang Adik perempuan. Sehingga ketika ia mendapat kabar bahwa Ibu barunya mempunyai seorang anak perempuan di bawah umurnya, Savara senang bukan main.

“Leia cari alasannya ya? Nanti kalau udah ketemu, kasih tau ke kakak. Kalau Leia ngerasa Kakak udah ngelewatin batas, Kakak minta maaf. Tapi Kakak ngelakuin ini karena Kakak mau belajar jadi Kakak yang baik, Kakak yang bisa lindungin Adiknya, Kakak yang bisa diandalkan,” ucap Savara sembari tersenyum hangat pada Leia.

“Kamu tau? Kakak selalu tunggu hari dimana kita bisa akrab, terus kita bisa lakuin semua hal menyenangkan di rumah, berdua,” lanjutnya kemudian ia pergi meninggalkan Leia.

Beruntung, dengan cepat Leia menyadari alasan di balik semua kejadian yang ia lalui. Ia sadar, saat kedua orang tuanya masih bersama, ia tidak memiliki waktu untuk sekedar berbagi cerita sepulang sekolah. Sudah lama ia ingin memiliki seseorang yang bersedia mendengar cerita, keluh kesah, lelucon, dan banyak hal lain darinya. Kemudian takdir mengirim Savara sebagai sosok yang telah lama ia butuhkan.

Perlahan-lahan dirinya mulai mencoba untuk berdamai dengan takdir untuk menerima keberadaan Ayah dan Savara

Hidup Savara cukup beruntung, pikir Leia. Ia memiliki seorang Ayah yang sangat menyayanginya, seorang Ibu yang mendukungnya dengan penuh kasih sayang, dan seorang Adik perempuan yang selalu menyemangatinya dikala sedang stress akibat pekerjaan.

Hanya satu hal yang membuat Savara menjadi manusia tidak beruntung dalam sekejap. Pacarnya yang ia kagumi karena ketampanan bak seorang pangeran itu ternyata memiliki sifat buruk. Pacarnya kerap kali meminta uang kepada Savara dengan jumlah yang sangat banyak. Sudah Leia ingatkan beberapa kali bahwa pacar Kakaknya bukanlah lelaki baik. Pernah tanpa sengaja Leia melihat pacar Savara keluar dari Club. Tubuhnya berjalan sempoyongan bersama ke-5 temannya.

Dan semua itu terbukti ketika pacar Savara memukuli Kakaknya habis-habisan. Leia yang melihat kejadian itu sontak berteriak meminta pertolongan kepada siapa pun yang mau menolong Savara.

Benar kata orang, ‘don’t judge a book by the cover’ Leia dapat melihatnya dengan jelas pada pacar Savara. Tampangnya sangat baik, bahkan tidak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa kelakuannya berbanding balik 180°. Darahnya mendidih ketika melihat Savara habis babak belur, tak mampu melawan sebab sudah banyak darah yang keluar dari tubuh gadis tersebut membuatnya merasa pusing bahkan pandangannya pun kabur.

Ketika Savara sudah berada di mobil ambulance, keadaannya benar-benar jauh dari kata baik-baik saja. Kepala Savara bocor dan mengeluarkan banyak darah sehingga saat dalam perjalanan menuju rumah sakit Kakaknya sudah tidak sanggup menghadapi dunia lagi. Savara menghembuskan napas terakhirnya di dalam mobil ambulance dan dalam pelukan Leia.

Beberapa hari setelah kepergian sang Kakak, tubuh Leia mengalami drop. Wajah cantiknya berubah menjadi pucat pasi, lingkaran hitam di kedua matanya sangat terlihat jelas, dan sering kali Ayah mendapati Leia menatap kosong ke arah kamar Savara. Rasa bersalah selalu datang menghantuinya bertubi-tubi.

Kini, hari yang Leia hindari berada tepat di hadapannya. Gadis itu berulang tahun hari ini, dengan gaun berwarna peach yang melekat indah pada tubuhnya. Sayang sekali Savara tidak akan pernah bisa melihat Adik kecilnya memakai gaun ini.

Menyadari hal itu, Leia merasa tubuhnya terasa berat, bahkan lantai pun sudah bersiap menangkap tubuh gadis tsrsebut dengan rasa dingin yang dibawa. Benturan antara tubuhnya dan lantai terdengar sangat jelas, ia mendudukkan diri di atas lantai. Matanya tak lagi bisa menatap pantulan dirinya pada cermin sebab air yang mulai menumpuk di sana, berlomba-lomba menjatuhkan diri. Darahnya berdesir dengan sangat cepat, begitu pula jantungnya yang berdetak di atas kecepatan normal.

Ia menundukkan kepala membuat air matanya jatuh ke atas gaun yang sedang dipakai, matanya melebar sempurna, dadanya terasa sesak seolah-olah tidak ada oksigen yang dapat ia hirup. Sedetik kemudian ia berteriak dengan keras, Leia bersumpah tidak akan ada hari lain yang ia benci selain hari dimana Savara meninggalkannya.

Isak pilu terdengar menyakitkan di telinga Ibu dan Ayah yang berniat menghampirinya. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada seorang pun yang bisa bertindak jika takdir sudah mengatakan bahwa Savara harus kehilangan nyawanya. Semua sudah di luar kendali manusia.

“Leia kesepian di sini, Kak,” lirihnya disertai isak tangis.

Beratus-ratus kata semangat yang Leia terima tidak akan pernah sebanding dengan kepergian Savara. Leia hanya ingin meminta belas kasihan pada Tuhan untuk mengembalikan Kakaknya, ia butuh Savara. Leia hanya butuh Savara.

Bayangan Kakaknya yang disiksa oleh pacarnya itu tidak mau pergi dari memori ingatan Leia. Bagaimana pacar Kakaknya itu menampar Savara, menjambak dan melempar Savara hingga kepalanya dengan keras membentur trotoar jalan.

“Brengsek! Manusia brengsek! Gue yang bersumpah buat kematian lo!” disaat air matanya tidak berhenti turun membasahi pipi dan juga gaunnya, ia masih mampu meneriakkan sumpah serapah kepada pelaku.

Leia merasa dunia sudah sangat jahat pada Kakaknya. Walau pun pacar Savara sudah mendekam di penjara, tetap saja bagi Leia itu semua tidak cukup. Itu semua tidak bisa mengembalikan Savara di kehidupannya.

Seperti yang dikatakan Savara sebelumnya, suatu hal tidak akan pernah terjadi tanpa alasan dibaliknya. Namun sampai detik ini Leia belum juga menemukan alasan yang tepat tentang kepergian Kakaknya yang terlalu mendadak tanpa sebuah perpisahan yang layak atau pun hanya sekedar ucapan perpisahan.

(*)

Bagikan:

Penulis →

Zahra Fadzillah Ananda

Kelahiran Bandung, 02 Mei 2005

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *