Senaru
di segala sisi tak lagi kutangkap
kemiringan matahari
mengurai getar kupu-kupu pada benang
yang lama ditinggalkan laba-laba
bunga angin hanya mekar di lubang itu
isyarat telapak daun-daun cemara
dililit rambut kabut
dan ke manapun aku
tak kutemukan siapa-siapa selain diriku
Kaktus
tubuhmu kaku serupa marionette dilukis cat matahari
bertopi bunga dengan bulu tunggal yang tanggal
dari sayap burung gurun
seharian kau dimainkan. diikat tali-tali cahaya
bergerak seperti bahasa kelu musafir
mencari-cari letak air
matahari menukik secepat elang. aku ingin cabut
dua duri di lenganmu, membuatkamu sehelai mantel:
menyembunyikanmu dari permainan siang-malam
dan riuh tepuk pasir-pasir yang digerakkan angin
Randa Tapak
di ceruk tebing kau mekar. tak menyumbang harum apapun
selain kuning warna mentega guna lebah meramu madu
kau samadi. tetangan musim melucuti warnamu
hingga kau serupa biku putih: menunggu peleburan biji jiwa
roh angin merasuk ke inti bijimu, dipinjamkannya
sepasang sayap tak kasat untuk terbang menembus lapis langit
di hadapan bulan, kau disedot pori-pori. sekali lagi samadi
merumus kehidupan baru, lahir kembali jadi makhluk api
Kepulangan Nelayan
saf-saf ombak menyolati tubuh karam nelayan
di lantai laut bertabur bunga karang. kabar meletus
dari buih-buih, mengamiskan udara pesisir
air matanya mengeras di dalam toples dapur
tempat istrinya mengambil sejumput lauk
tak ada lagi sisik ikan di mata, di mata pisau istrinya
At-tin
pisau kilat di barat merobek kulit langit
muncrat darah serupa isi buah tin
langit menganga. rambat sulur membawa merah
telur-telur: berdetak dan hambur wangi zaitun
tetasan ikan-ikan bersisik anggur bersirip pisang susun-
susun. berenang dalam pusar taifun, menyedot biji-biji sulbi
di tanah antah-berantah. biji-biji itu kembali dimuntahkan
disiram air langit. telah dijanjikan hari, pohon-pohon tumbuh
berkelompok. yang tersisih dipotong bakal kayu bakar
Aku Tak Tahu Bagaimana Menjelaskan
Perasaan Angin
di jalan seberang, kuning bunga lonceng
jatuh ke keruh genangan, kutangkap bening bunyi
denting meronakan purnama yang disembunyikan
Semenit Sebelum Maut
simpang malam hampir tengah jalan
raung mesin berdesakan. melesat aku
ternyata cepat tak lebih dari serangga:
menjemput maut di mataku.
semenit sebelum maut. kelopak mataku
mengepak melawan sayapnya, bulu mataku
saling tusuk dengan runcing kaki-kakinya
tak ada gerak, tak ada detak
aku membuka mata seperti bayi baru lahir
dan serangga itu mati dalam tangisku