Sulur-sulur Akar Sunyi

Mengaji Pohon Silsilah
-Refleksi acara trah keluarga

Tak mudah, membaca ranting pohon silsilah
patah. Kenyataan pahit menggurat wajah
mengabur jejak darah.

Kesiur angin berpulang ulang ke lembah-lembah.
Dan air istiqomah memancar ke delapan penjuru, meniti tangga suhu
dan tekanan, mengawan dan lalu pasrah, menjelma hujan
tepian hari. Tapi kau aku melangkah melupa tanah!
Memeluk janji kertas kerja dan gedung tinggi,
tapi kehilangan airmata yang berhulu doa leluhur.

Hari ini, kita telanjang! Tak mengingkari dosa-dosa
meski nyaris amnesia. Tangan berjabat tangan, mengaji
pohon silsilah, menyambung denyut nadi hingga desir nurani.
Kau panggil namaku. Kusebut namamu. Mengenalimu lagi
di antara ketupat opor ayam. Dan tak ingin hilang
gurih rengginang.

Kita pun seruang dalam spasi, dan insyaf: beriring ayat
dan shalawat, menyemat doa-doa di antara dedaun
dan bunga-bunga silsilah.

1444 H/ April 2023




Mistifikasi Ruang Kelas
– Guru kepada Murid

Telah kutulis
semua yang kalis; sulur-sulur akar sunyi
yang tekun meraba alam dan kenyataan.
Bacalah yang tertulis
ejalah guguran debu kapur
lalu menghambur
pada bersit-bersit cahaya
yang terbit dari dadamu.

Biar kutulis ulang senyawa
sebab jejak-jejak pudar tak terbaca
Dan kita tulis sendiri riwayat
penuh parut luka berkeringat
meski acap kali pun tersesat.

Papan tulis itu, bacalah;
kalimat hingga frasa
kata seturut huruf-huruf
hingga ke ujung titik-titik

Sebab titiklah kita semua
Titik, hidup kini
pulang pergi
ulang alik
memburu Titik

yang berdenyut
dan berdarah.

2023




Lambung Menjelma Ruang Samadi

Lambung telah menjelma ruang samadi, dimana orang-orang
meruwat diri. Berkelit dari terang gemilang cahaya semu
Gema takbir berayun-ayun, pada dedaun rumput basah berembun
Sungai darah bersyahadah dalam tahlil, Laa Ilaha Illallah
Di tanah lapang, hati bersujud, mewujud noktah. Doa gemuruh
membilang dosa. Jejak sunyi jejak insani, degup jantung

menuding diri. Limbung, tertatih. Senyum. Bersimpuh ngungun
mendamba ampun. Aih, bisakah dosa seperti bebutir nastar
: bulat separuh, alit, lumer di mulut? Bisakah alpa larut
tersapu sirup marjan, atau seperti kenangan, hanya timbul tenggelam
atau seperti rengginang, remuk dan sunyi
dalam kaleng biscuit khong guan?

Setelah bersalaman, bisakah sendiri saja
menempuh jalan pulang? Sedang di ufuk-ufuk ayat terhapus
kabut polusi, hutan-hutan digunduli ambisi, dan kota-kota
angkuh mengusir lalat dan debu. Lalu, lekatkah keningku sujud
di sajadahMu? Biarkan kupeluk, Ya Allah, Ya Muhammad!

Ummi, Ummi, aku tersesat.
Tanpa peta alamat!

April 2023





Di Muara, Kuinsyafi Ufuk-Mu Terjal
                                    Di Luar Sajak: Eril

Mengalir mengikut arus, menempuh alur
berliku berpasir, kusaksikan alam bawah begitu tabah.
Sinar matahari terpahat pada punggung batu-batu
melenting di gerak air, lalu menumbuk lumpur kelabu.

Aku menghambur basah
mengeja riwayat musim sepanjang tebing.
Seekor kadal menatapku dari tepian
sepasang matanya menyalami raguku.

Hulu begitu jauh. Telah kulupakan keriuhan itu
Kubiarkan tubuh tergelincir di antara rumput,
lumut dan sisik ikan. Sungai mengalir, aku mengalir
merunduk mengikis rindu.

Aku pun bersimpang jalan dengan sekelompok udang
mengaji sunyi dan terus berenang. Meski tiada
kujumpa Khidir di muara, akhirnya. Aku toh bukan Musa
meski tubuhku basah dan kaki telanjang tak berterompah.

Di muara, kuinsyafi ufuk-Mu terjal
untuk cintaku yang berulangkali batal.

2022.




Denting Gitar 


Denting gitar sepanjang lorong waktu.
Kanak-kanakku tertegun; malam terang lampu
petromaks, sembari jemari meraba peta jelajah
samudera, dan kusimak dongeng nabi menjelang tidur.
Denting gitar mengayun langkah
menuju sekolah, pematang sawah,
halaman tanah berdebu
bertemu kawan-kawan bermain gundu
dan menggiring bola di lapangan rumput
tepi rawa seluas ingatan akut.

Dimana pun selalu, kepergian mengulur rindu
memanjang dari lengking suara gitar itu.
Dan aku, lelaki yang menua
tapi tak kunjung dewasa. Pulang, murung
mengusung ingatan kecupan pipi,
terus mencoba memetik senar gitar itu
sendiri, memeta peta ziarah sendiri

dan menyalin sabda nabi
dengan jejak kaki sendiri.

2023




Soneta S

Duduk di depanku, kau baca kelam
dan catatan harian orang-orang berlumur darah.
Seribu suara berbisik tentang keluguan
yang kembang di kibaran kerudungmu.

Anganku ranggas oleh musim semi
yang berderai dari sepasang matamu.
Menumbuk curigamu; jurang warna bianglala
sepanjang gagapku. Aku mengaji hamburan debu

Telanjang dalam gema cintamu, kau terus
menyisir pematang cinta. Membalut luka
dan menyeka airmata mereka yang alpa dan terlupa.

Kepada sapa hormon dan goda kota, kau terhijab
tanpa sepatah kata. Secuil kenangan jadi gula segelas kopi
jaga. Di wajahmu, airmata membingkai doa.

2021.

Bagikan:

Penulis →

Agus Manaji

Agus Manaji, selalu merasa menjadi warga dua kota: tinggal di Muntilan, Magelang, tapi bekerja di Kota Yogyakarta. Lahir pada 16 Maret 1979. Kumpulan puisi tunggalnya Seperti Malam-malam Februari (2018). Tulisannya dimuat di beberapa media, antara lain: Majalah Basis, majalah Horison, Jurnal Puisi, Koran Kedaulatan Rakyat, koran Suara Merdeka, Koran Bernas, Koran Jurnal Nasional, Koran Seputar Indonesia, Tabloid Manajemen Qolbu, Majalah Annida, Tabloid SPICE, Majalah Sabili, Majalah Karima, Jurnal Pawon, Majalah Muslimah, Profilnya termuat dalam buku Direktori Seniman dan Sastrawan Yogyakarta (terbitan Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2020).
Saat ini berprofesi sebagai seorang guru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *