Meraba Labirin Doa

Perempuan di Bangku El-Puerto
: untuk Maryam binti Abi Ya’qub (Andalusia)

muasal kata terlunta-lunta
rentah dan ringkih ditelan waktu
di pangkal sunyi, menggigil kuyup
adakah lentera menghangatkannya?

hari-hari beranjak letih
tarian revolusi tidak pernah tuntas
kumuh serupa lukisan penuh jelaga
berjalan lalu-lalang – tatapanmu semakin penat

hari esok, bangku-bangku el-puerto melukis kisah baru
kapal-kapal telah berbaring abadi
penuh karat serupa fosil tua
zaman menjelma diri, bersembunyi di kolong ketakutan
di ujung dermaga, seorang perempuan duduk menjahit luka
membakar tradisi di punggung ritual
berkomat-kamit seakan membaca mantra hedonis
nafasnya naik turun
seakan menggelincirkan dosa
makin tertatih memanggul salib di pendakian tirakat
detak dan denyut nadinya mengeja makna doa
kata-katanya kian sesak memompa rongga kalimat
secepat angin,
menuju maujud di penghentian ajal

kini dadanya terkoyak
dermaga telah lenyap
el-puerto menjadi satir keramat
tembok-tembok musim membasuh diri dalam ritual pemujaan
mengalir di riak sungai kering
tinggalkan rahim lautan
engkau terpaku menatap ikan-ikan menari-nari
nukil el-puerto Andalusia  karam di ujung zaman

Malang, 2023




Kepada Hujan

aku terkoyak-koyak di tubuh sajakmu
bagai bait-bait kehilangan aksara
tubuhku kuyup menggigil
didera musim, bersampul gelisah
dan di telatah mimpiku jadi luka baru
kering, seakan sempurnakan kata-kata dahaga

di selintas jalan, kabut awan bergegas
tatapanku kian rapuh
aku berharap sajakmu menjelma rindu
sebab ada kalanya hujan tertulis
untuk membasuh ingatan kita
meski aksara cinta makin rumit terbaca

jika hari-hari ini penuh hujan
bukankah tangan kita makin bersih
bercengkerama di meja jamuan sajak
dengan aksara berkebat doa
meski lisan kita tak akan pernah
menjadi suluk kitab
yang memungkasi musim
dari letih dan penatnya kata-kata terucap
mungkin hanya penggalan sederet abjad gelisah
dalam peradaban kini, menjelma mantra hujan

Malang, 2023




Sajak Terluka

ada yang tersisa
dari sayatan luka sajakmu
tubuhku tinggalkan maujud jiwa
hari-hari aku berlari
meraba labirin doa
dengan pikiran yang senantiasa mengembara
menggapai musim
ringkih, didera angin
hingga cakrawala bersorak gempita
genggamanku rapuh, pulang dalam kekalahan

Malang, 2023




Seruncing Cahaya

mungkin, cinta satu-satunya keadilan
yang mencari definisi kebenaran
berjalan dalam gelap, tanpa cahaya
cinta begitu tajam tatapannya
seruncing takdir yang tak mampu dibaca
dan tak pernah tertulis dalam kitab hukum
selain sajak yang menyulam kebenarannya

Malang, 2023


Bagikan:

Penulis →

Vito Prasetyo

Lahir di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kab. Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983. Menulis Cerpen, Puisi, Esai, Resensi, artikel pendidikan & bahasa dan dimuat di berbagai media antara lain: Koran TEMPO, Media Indonesia, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Lombok Post, Padang Ekspres, Magrib.id, Suara Pembaruan, Kompas.id, dan Metafor.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *