Rahasia Keluarga

PAGI ini aku dikejutkan oleh telepon dari ibuku, katanya ada musyawarah keluarga mengenai adik tiriku. Yang kukagetkan bukan karena musyawarahnya, melainkan tentang adik tiriku. Karena seumur hidupku saat ini, aku bahkan baru tahu bahwa aku mempunyai adik tiri. Selama ini kupikir aku hanya anak tunggal.

Awalnya kupikir ini hanya kejutan, karena mengingat hari ini hari ulang tahunku. Aku pun jelas tidak terlalu menghiraukan omongan ibu. Selama perjalanan menuju rumah ibu dan ayah, aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan kejutan apa yang terjadi. Lalu, kue apa yang keluarga kuberikan, cokelat atau vanila atau memikirkan nanti aku harus berpura-pura terkejut padahal sebenarnya aku tahu maksud mereka.

Namun sepertinya sia-sia. Setelah sampai di kediaman orang tuaku, semua orang hanya duduk di sofa. Hanya ibu yang menyambutku. Semua lengkap, ada ayah, nenek, kakek, om dan tante, namun tak ada kejutan yang tadi kupikirkan sejak di mobil.

Aku mulai berpikir mungkin ini hanya prank, seperti istilah anak sekarang, pura-pura tegang padahal nanti ada kejutan setelahnya. Namun lima menit berlalu, kupikir dugaanku  salah lagi. Ini memang acara musyawarah keluarga, tepatnya acara menghakimi seorang perempuan yang diduga saudara tiriku.

“Aku tak mau ikut kalian. Cukup kirimkan saja uang per-bulan sesuai apa yang disepakati ibu… dan Pak Hendra.” Hendra adalah nama ayahku, jika ia memang saudara tiriku, lantas mengapa dia memanggil dengan sebutan “pak”. “Dia ini ayahmu, sopanlah sedikit!” Jawab nenekku sedikit membentak.

“Panggilan ayah jika memang kita dianggap keluarga. Kalian saja tidak mau menganggapku dengan ibu, lantas mengapa aku tidak boleh tidak menganggap kalian.” Perempuan itu menjawab, nada bicaranya mulai lebih tinggi, terlihat sekali ia sedang menahan amarah.

“Sudah cukup! Jangan membahas yang tidak penting terlebih dahulu. Fokus pada apa yang kita ingin bicarakan.” Ayah menatap ke nenek dan perempuan itu bergantian. “Jika memang kau tidak mau tinggal bersamaku, baiklah. Aku tak mempermasalahkan. Tapi sesuai kesepakatan aku dan ibumu, kau tidak boleh memberitahu, bahkan mengaku kau adalah bagian dari keluarga kami. Aku tak mau reputasi keluarga ini jelek hanya karenamu.” Lanjut ayah.

“Tak usah repot-repot memberi tahu, aku juga tak berminat memberitahu, bahkan mengaku bagian dari keluarga kalian.” Suara perempuan itu terdengar lebih lantang. “Sudah selesaikan acara menghakimiku ini? Aku ingin pamit. Sudah tak tahan aku berbicara berlama-lama dengan kalian.” Perempuan itu pergi tanpa permisi. Ibuku berniat mengejarnya. Namun, ayahku cegah, “Jangan mengejarnya! Biarkan ia pergi, aku sudah muak melihatnya.”

“Bagaimana pun ia anakmu, mas.”

“Kau dengar apa kata dia, Ayu. Dia tak mau dianggap dari keluarga kita, yang berarti dia bahkan tak pantas disebut anak. Anak itu harusnya bersyukur masih dikasihani oleh keluarga kita, tapi lihat apa balasannya? Sikap kurang ajar yang ia balas pada kita.” Nenek menjawab. Ibu hanya diam, tak berani menjawab lagi.

“Maaf, ya, Juna, ulang tahunmu jadi tidak spesial.” Ibu menaruh semangkuk sop iga panas dengan nasi serta sambal dan jeruk nipis di piring terpisah. Setelah acara ‘musyawarah’ itu, semuanya pamit pulang, tidak ada yang mengingat hari ulang tahun ku, bahkan nenek sekalipun.

Aku memang cucu kesayangan nenek, tapi mungkin tidak untuk hari ini. Yang terpenting masih ada ibu yang senantiasa ingat hari ulang tahun ku dan menyiapkan makanan kesukaanku. “Tak apa, bu. Aku sudah senang ibu menyiapkan sop iga super enak ini. Mungkin untuk kali ini ulang tahun ku menegangkan.” Ibu tersenyum, lalu duduk di sampingku.

“Itu tadi adik tiriku, Bu?” Aku mulai bertanya sambil menyantap sop iga.

“Iya, itu adik tirimu. Namanya Hana Mulyasari.”

“Kenapa aku baru tahu, Bu. Selama ini kenapa ditutup-tutupi?”

“Mereka lebih mementingkan reputasi mereka daripada tanggung jawab mereka, Juna.”

“Maksudnya, Bu?” Aku melipat dahiku.

Ibu tersenyum. “Mungkin sudah waktunya kau tahu, Juna. Dulu, sewaktu kau berusia dua tahun, kau diasuh oleh orang lain, Juna.”

“Memang kenapa, Bu? Apa ibu kerja saat itu?” Aku memotong perkataan ibu.

“Ibu dulu sakit hingga harus dioperasi. Jadi keluarga meminta agar menyewa pengasuh sampai ibu sembuh. Akhirnya, ketemu Bu Iriana. Saat itu usianya sekitar 25 tahun, masih sangat muda. Anaknya rajin, cantik pula. Sampai-sampai ayahmu terpikat padanya.”

“Bagaimana Ibu tahu? ” Aku menyela ceritanya lagi. “Iriana dulu sering digoda, bahkan sering dicolek sana-sini. Ibu pernah melihatnya, bahkan menanyakan itu pada ayahmu, namun kau tahu ayahmu pintar berbohong, ibu percaya saja pada omongan ayahmu. Sampai pada akhirnya, Iriana datang pada ibu dengan kondisi menangis. Rambutnya sudah berantakan dan bajunya yang dipakai asal. Hal yang ibu takuti tiba, ayahmu melakukan hal yang kurang ajar pada Iriana. Ia terus menangis dan meminta maaf pada ibu padahal jelas-jelas dia adalah korban.”

“Bagaimana dengan Ayah? ia mengakui?”

“Awalnya tidak. Tapi, sampai ibu bilang bahwa Iriana mengadu pada ibu, akhirnya ayahmu mengakui. Ibu langsung minta cerai. Tapi bukannya menyelesaikan masalah, ia malah memanggil keluarga besar dengan alasan agar menyelesaikan dengan kepala dingin. Tapi tetap saja, ibu bahkan tak dapat nasihat yang sepantasnya diterima, yang ibu terima hanya tips-tips ala tantemu agar suami tidak mendua. Keluarga ayahmu bahkan menyalahkan penyakit ibu dan dibilang ibu tidak pintar merawat diri. Padahal sudah jelas ayahmulah yang salah.”

“Lalu bagaimana dengan Bu Iriana?”

“Jangan tanya bagaimana nasibnya pada waktu itu, Nak. Dia lebih parah daripada ibu. Apalagi saat Ia bilang bahwa Ia mengandung anak dari ayahmu, nyaris harga dirinya diinjak-injak. Ibu ingat wajahnya yang penuh tangis dan pasrah seolah-olah ini salahnya. Bersujud di depan nenek dan seluruh keluarga besar agar tidak dipecat dan bisa membiayai ibunya yang sedang sakit. Yang ibu sesali hanya satu, ibu hanya diam dan menonton, tidak membantu sama sekali. Sepeti ada kepuasan saat ia diperlakukan seperti itu.” Ibu diam sebentar, mulai menundukkan kepala dan menangis. Aku segera ambil tisu dan berikan padanya, berusaha memeluk ibu, menenangkan.

“Ia bahkan tak dinafkahi, biaya lahirannya pun ia tanggung sendiri. Begitu malangnya nasib anak itu, Juna. Sedangkan ibu… Hanya diam membisu seakan itu memang salahnya.” Aku semakin erat memeluk ibu. “Ibu tidak sepenuhnya salah. Aku yakin, Bu Iriana mengerti perasaan Ibu.” Aku berusaha menenangkan Ibu.

Lalu ibu keluar dari pelukanku, dan mulai mengusap rambutku, “Cukup jadikan ini pelajaran hidupmu, ya, Nak. Jangan pernah kau tidak bertanggungjawab sekalipun pada siapa pun. Jangan pernah juga kau mendua hanya karena pasanganmu mempunyai kekurangan dan hanya sekedar menuruti hawa nafsu. Setialah pada satu orang, dan jangan sesekali menginjak-injak harga diri seseorang hanya karena derajatmu lebih tinggi. Ibu tahu kau anak hebat, Juna.” Aku tersenyum, sambil mengusap air mata ibu.

“Ibu juga hebat. Juna lebih bangga pada ibu. Juna janji akan selalu ingat pesan ibu.” Ibu tersenyum, lalu memeluk erat diriku lagi. Aku pun membalasnya.

“Sekarang Bu Iriana di manam Bu?” Setelah ibu sudah cukup tenang, aku menanyakan lagi, masih penasaran. “Ia sudah tiada, Nak. Padahal ibu belum sempat mengucapkan kata maaf untuknya.” Mataku melotot, terkejut. “Bagaimana bisa, Bu?”

“Dia sakit. Ibu lupa dia mengidap apa, tapi itu cukup parah, tapi tak pernah ia obati. Maknya diadakan musyawarah ini, karena dulu Iriana dan ayahmu pernah membuat kesepakatan untuk anaknya kelak jika Iriana tak sanggup lagi. Namun, sepertinya Hana tahu masa kelam ibunya, jadi dia menolak beberapa kesepakatan itu,” Aku diam sebentar. Ternyata malang sekali nasib perempuan itu. Sudah tidak dianggap keluarga oleh ayahnya, ibunya yang merupakan keluarganya satu-satunya pun sudah tiada. “Sudah, makan dulu sop iga-mu, nanti keburu dingin.”

“Iya, Bu.” Ibu pergi. Lalu, aku kembali menyantap sop iga yang sudah dingin itu.

Ternyata kau bekerja disini, Hana,” Setelah beberapa hari acara musyawarah itu, aku kembali bertemu Hana di salah satu tempat laundry langgananku. Terlihat ia sedang mengangkat pakaian pakaian dalam kantong plastik yang sudah pasti itu punya orang lain. Sepertinya ia sebagai tukang antar jemput pakaian.

 “Kau siapa?” Akhirnya ia buka suara setelah diam beberapa detik. “Kau lupa?” Aku mengangkat alis sebelah. Hana terlihat berpikir sebentar, “Oh, kau salah satu anggota keluarga pak Hendra ya? Mau apa kau dari diriku? Belum puas ibuku diinjak-injak dengan kalian?” Lanjut Hana, ketua.

“Santai saja, aku tidak mau mengusikmu. Ini memang langgananku dari lama, kau saja yang baru tau. Aku Arjuna, anak Pak Hendra dan Bu Ayu.” Aku menyodorkan tanganku. Dia hanya menatapnya dengan tatapan curiga. “Aku hanya ingin berkenalan,” Dia tetap diam, masih menatapku. Aku menghela nafas, “Ya sudah jika tidak mau berkenalan. Lagian aku disini kau mengantarkan pakaian kotor, tak sengaja saja bertemu denganmu.”

“Ya sudah sana, kenapa terus berdiri di sini, laundry di dalam bukan di sini,” Dia menjawabnya dengan ketua lagi. Lalu, dia pun segera menaiki motor yang berisi pakaian di kantong plastik tadi. “Aku ingin berbicara padamu soal Ibu Iriana. Tenang saja, aku tak akan menghakimi mu, aku hanya ingin tau. Jika kau bisa menceritakan hal tersebut, kau bisa datang di Upnormal Taman Solo, aku akan menunggumu jam 7 malam.” Dia tak menghiraukan dan langsung menghidupkan motor setelah itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Aku hanya menghela nafas dan berharap ia datang.

*

Aku sudah sampai di Upnormal jam 7 malam. Sengaja aku duduk di depan pintu masuk agar dia tak repot-repot mencariku nanti. Aku sudah memesan dua kopi agar mengobrolnya lebih nyaman. Dua jam berlalu, kini sudah pukul 9 malam, ia tak kunjung tiba, toko pun sudah mau tutup. “Mbak, gak bisa tunggu satu jam lagi? Teman saya masih terjebak macet,” Aku menegosiasi bersama waiters di sana yang sudah menyuruhku pulang berkali-kali. “Maaf, Kak, untuk hari ini memang tutup lebih awal karena ada meeting penting, mohon pengertiannya ya, Kak,” Aku tidak bisa apa-apa lagi, aku pun langsung keluar setelah membayar kopi yang kupesan.

“Haaah… Sia-sia aku ke sini. Memang seharusnya aku tau bahwa dia pasti tidak datang.” Aku mengacak-acak rambutku kasar. Setelah beberapa detik melepaskan amarahku, aku pun beranjak pergi menuju parkiran, tiba-tiba lampu motor menyorot ke arahku. Ternyata itu Hana dengan pakaian serba hitam serta helm-nya yang kebesaran.

“Maaf telat. Soalnya baru pulang kerja. Ayok, katanya mau ngomong di Upnormal kenapa masih di sini?”

“Udah telat. Kau lihat, udah sepi, mereka tutup lebih awal karena ada meeting dadakan.” Aku menjawabnya dengan nada sebal. Ia terkekeh, “Ya, maaf. Terus mau dimana?”

“Nggak tau,” Aku menjawab singkat. “Ya udah, ikut aku saja, aku tau tempat enak dimana kita mengobrol.”

“Ikut saja, ayok.” Aku pun menuruti kata Hana. Ternyata, ia mengajakku makan jagung bakar dipinggir jalan. “Kenapa harus di sini? Kenapa tidak di cafe yang lebih nyaman. Tenang saja, aku akan membayarnya.”

“Bukan itu. Sengaja aku telat datang ke Upnormal agar kau makan di sini.”

“Jadi kau sengaja!” Aku pun langsung melotot padanya. Ia hanya tertawa kecil melihatku. “Bukan tanpa alasan aku mengajakmu di sini. Ada alasannya kok.”

“Apa memangnya?” Aku melipat dahiku. “Di tempat ini, aku pertama kalinya diceritakan tentang masa lalu ibuku oleh ibuku sendiri. Saat itu aku berusia delapan tahun. Masih dini untuk mengerti percakapan ibuku. Namun, sekarang sudah mengerti sepenuhnya.”

“Kenapa ibumu bercerita? Pasti ada alasannya.” Aku bertanya sambil mengambil jagung bakar dan duduk di bangku cokelat panjang yang diikuti Hana. “Entahlah. Aku tak tau. Aku pun tak berniat bertanya padanya. Tapi jika diingat-ingat, semisal aku dulu mengerti perkataan ibuku, mungkin aku akan memeluknya seerat mungkin dan berusaha menenangkannya. Sungguh menyesal waktu itu aku hanya menatapnya penuh bingung. Padahal kuyakin, ia pasti butuh sandaran untuk menangis.” Aku memperhatikannya, terlihat matanya yang berkaca-kaca.

“Dulu ibumu bercerita apa saat itu? Kau masih ingat?”

“Ingat. Aku sangat ingat sekali sampai membekas di pikirkanku. Entah kenapa cerita itu tidak bisa dihilangkan dari pikiranku.”

“Kau boleh bercerita? Eh, tapi jika tidak bisa tidak apa-apa, aku tak memaksa,” Ia terkekeh sebentar. “Tak apa, aku bisa menceritakannya. Dulu, sehabis pulang kerja ibu mengajakku makan jagung bakar di sini. Awalnya memang hanya memakan jagung bakar, tapi setelah itu ibuku langsung mencurahkan isi hatinya.

Sepuluh tahun lalu.

“Hana, kau mau mendengarkan cerita ibu tidak?”

“Mau, Bu.”

“Dengarkan baik-baik ya. Dahulu kala, hiduplah seorang perempuan miskin yang bekerja di istana kerajaan. Ia ditugaskan di sana sebagai pengasuh, karena sang ratu sedang sakit dan tidak bisa mengurus pangeran yang masih kecil. Kata orang-orang di kerajaan, perempuan itu sangat cantik. Saking cantiknya, wanita itu disenangi oleh sang raja. Perempuan miskin itu tahu sang raja menyukainya, karena ia sering digoda oleh sang raja. Ia ingin sekali mengadu pada sang ratu, tapi mengingat sang ratu masih sakit, ia akhirnya membiarkannya. Hari demi hari, sang raja masih menggodanya. Hingga suatu hari, si perempuan miskin itu dilecehkan oleh sang raja. Perempuan miskin itu menangis, tak bisa berbuat apa-apa. Tapi akhirnya, ia mengadu pada sang ratu. Sang ratu mengamuk hingga ingin berpisah pada sang raja. Setelah itu, perempuan itu dipanggil di suruh menghadap ibu dari sang raja. Kau tahu Hana, dia dihakimi. Dia di cemooh. Ia di buang. Ia dikucilkan. Diinjak harga dirinya, Hana. Tapi dia tak bisa apa-apa, dia hanyalah orang miskin, Hana. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain bersujud meminta maaf padahal Ia tak salah. Namun tetap saja, ia dibuang dan ditelantarkan begitu saja. Ia ingin mencari keadilan untuk dirinya, namun, dia miskin. Sangat miskin bangga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya terus menangis, dan menangis dengan keadaannya sekarang.”

“Sampai saat ini bu?”

“Iya, sayang, sampai saat ini dan sampai akhir hidupnya.”

“Ibuku pun langsung menangis. Aku hanya diam, masih mencerna perkataan ibuku. Keesokan harinya, ibuku meninggal, karena sakit parah yang aku tidak tau. Yang akhirnya, aku diurus oleh sahabat tanteku, dan di situlah aku tau cerita sebenarnya.” Hana mulai menangis. Mungkin sudah tidak tahan mengingat masa itu. “Juna, kau jangan seperti ayahmu, ya. Aku tau kau orang baik. Dan jangan juga membenci ayahmu, bagaimanapun ia tetap ayahmu, Juna. Aku pamit sekarang, ya. Jangan mencariku lagi, aku sudah bisa menjalani hidupku sendiri.”

Ia pun langsung menaiki motornya, sejenak menatapku, dan pergi. Aku tidak ingin menahannya tapi aku juga tidak berharap itu adalah pertemuan terakhirku dengannya.

Bagikan:

Penulis →

Jihan Fairuz.

Lahir di Jakarta, 9 Desember 2007. Aku masih duduk di bangku kelas 10 SMK dengan jurusan Manajemen Perkantoran dan Layanan Bisnis atau disingkat dengan MPLB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *