ROCKY sebal. Seorang pelayan tidak bersikap sopan kepadanya seperti biasanya. Padahal dia pelanggan tetap di restoran Ayah Kanduang: sebuah restoran Padang yang sedari tahun-tahun lampau sudah ada di tengah Kota Anu. Cita rasa serta pelayanan restoran itu, pun sudah terkenal seantero kota.
Presiden, menteri, gubernur, juga selebriti papan atas sering makan siang di sana. Tapi, bukan lantaran itu Rocky jadi ikutan sering makan di restoran Ayah Kanduang. Dia suka makan di sana karena Rocky seorang petualang lidah. Dia bahkan acap berkeliling ke kota-kota yang tersebar di Negara Nua, semata ingin menikmati dan membuktikan makanan serta minuman yang memikat matanya. Ketika berkeliling, dia juga selalu menemukan tempat makan minum yang enak dan sesuai dengan lidahnya, namun tak diketahui oleh orang banyak.
Lidah Rocky sungguh tak pandai berbohong. Apalagi soal mencicipi rasa makanan. Maka, sekalipun harga makanan di restoran Ayah Kanduang nyaris tiga kali lipat dari harga di restoran lain, Rocky tetap setia datang ke restoran itu. Minimal tiga kali seminggu. Bahkan kadang juga bisa setiap hari. Lagi pula restoran itu hanya berjarak 15 meter dari apartemen tempat tinggal Rocky.
Rocky sememang luas dikenal warga Kota Anu. Namanya begitu kesohor sampai ke pelosok Negara Nua. Selain seorang petualang lidah, Rocky sebenarnya seorang akademisi yang kritis serta vokal bersuara mengenai isu-isu kemanusian dan keadilan. Rocky bahkan tidak segan menyindir atau mengkritik langsung pejabat yang kebetulan sedang makan di restoran Ayah Kanduang.
Pernah suatu kali salah seorang menteri (yang sebelumnya kompetitor presiden pertahana) makan dengan para stafnya, terkena muncrat kritik Rocky.
”Anda pernah tidak memikirkan bagaimana nasib para pendukung yang dulu menjadi korban ketika memperjuangkan Anda? Beberapa dari mereka malah rela mati atau menderita di dalam bui. Tapi Anda dengan alasan persatuan bangsa, elok benar melenggang ke istana. Dan kini Anda berencana pula ingin ikut kompetisi lagi.”
Menteri itu tersenyum kecut: antara tidak enak berdebat dengan Rocky di tempat umum atau memang sudah kalah malu. Sang menteri itu pun langsung buru-buru kabur. Untuk menimpali malu yang kadung meluap, ia singgah ke kasir dan membayar semua pesanan pengunjung restoran. Pemilik restoran senyum-senyum saja. Sementara Rocky, sungguh tidak bersedia ditraktir sang menteri. Selesai makan dia tetap membayar tagihannya sendiri. Sejak itu, sang menteri tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya di restoran Ayah Kanduang.
¤ ¤ ¤
Wajah Rocky masih tampak sebal. Nasi juga lauk yang terhidang belum secuil pun dia jamah. Tingkah tak biasa Rocky akhirnya terlihat juga oleh pemilik restoran. Sebagai pembeli setia, pemilik restoran tentu saja mengenal Rocky.
”Hei, Bung, apa sebab makanannya belum disantap? Ada yang belum diletakkan lauk pesanannya?” tanya pemilik restoran menyelidiki.
”Mendadak selera makan saya hilang, Pak Haji. Padahal tadi, lapar seperti meremas lambung saya,” jawab Rocky sambil matanya terus melihat makanan yang terhidang.
”Kenapa bisa begitu, Bung?” tanya pemilik restoran penasaran. Ia ambil kursi, lalu duduk di sebelah Rocky.
Rocky masih memandangi makanannya, seperti sedang menyusun sebuah argumen atas pertanyaan pemilik restoran yang terdengar mendesak dia untuk berkata jujur. Rocky tipe orang yang selalu jujur apa adanya, terlebih pada hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Namun untuk hal-hal yang sifatnya pribadi, dia cenderung menutupinya. Bukan dia tidak mau jujur, tapi dia memang selalu memisahkan apa yang menjadi wilayah privat, dan mana yang menjadi wilayah publik yang boleh diketahui.
”Pak Haji pasti sudah paham kalau selain cita rasa makanan restoran ini yang tiada dua, paling tidak menurut saya, pelayanan restoran kepada pembeli juga nilai lebih yang membuat pembeli datang kembali. Dan hari ini, poin kedua itu tidak saya temukan. Saya khawatir, itu akan berdampak pada rasa makanan yang sedang terhidang di hadapan saya. Bila itu terjadi, saya mungkin tidak akan makan di sini lagi,” Rocky menjelaskan dengan runut.
Pak Haji terkejut. Memang tidak pernah Rocky seperti itu. Biasanya dengan senyum dan tawanya yang khas, Rocky selalu menyapa juga membalas sapaan pembeli lain. Dia tak sungkan menyapa dan mendatangi pembeli yang dia kenal lebih dulu, juga kepada yang pernah bertegur sapa dengannya. Daya ingat Rocky cukup baik, meski hanya sekali-dua bertemu.
”Baik, Bung. Saya terima krtitikan Bung. Siapa pelayan yang menghancurkan selera makan Bung hari ini?”
”Pak Haji ingin memecatnya? Bukan untuk itu saya mengatakan semua tadi.”
”Lantas, hukuman apa yang pantas saya berikan kepada pelayan yang telah membuat pelanggan saya tidak selera makan, Bung?”
”Training! Coba training ulang, dan katakan padanya pelayan yang baik ialah pelayan yang melayani dengan sepenuh hati tanpa melihat siapa yang sedang ia layani. Juga harus mampu mengendalikan perasaanya, sebab jika perasaan di luar pekerjaan dibawa-bawa, akibatnya akan mengganggu profesionalitas pekerjaan.”
“Setuju. Akan saya lakukan dan perbaiki. Sekarang mulailah makan, Bung! Kasihan makanan itu kalau Bung cuekin,” pemilik restoran mencoba mencairkan suasana.
”Tolong bungkuskan, Pak Haji. Biar saya bawa pulang saja,” pinta Rocky sambil berdiri lalu berjalan menuju kasir.
Lain waktu, Rocky pernah juga marah. Sangat marah. Bedanya saat itu bukan Rocky yang mendapatkan perlakuan kurang baik dari pelayan, melainkan pembeli yang ketepatan makan di sebelah Rocky. Pembeli itu seorang pemulung yang mungkin sudah sangat kelaparan.
Bagaimana Rocky tidak tersulut amarah. Saat meletakkan makanan, pelayan seenaknya saja setengah membanting piring plastik ke hadapan si pemulung. Sontak raib selera makan Rocky. Sambil berdiri Rocky berteriak, ”Kau ganti piringnya dengan piring kaca! Dan letakkan dengan sopan, layaknya sebuah ketakziman murid kepada seorang guru. Jika tidak kau lakukan, aku sendiri yang akan memaksa kau melakukannya!”
Pembeli lain kaget. Beberapa saat suasana ricuh. Akhirnya pemilik warung datang, dan memohon maaf ulang berulang kepada Rocky.
”Bahkan meminta maaf saja kalian keliru. Bukan kepadaku kalian minta maaf. Minta maaf pada Bapak itu! Bila dia belum memaafkan, jangan angkat kepala kalian!” keras suara Rocky.
Cepat-cepat si pemilik warung dan pelayan yang tidak sopan tadi minta maaf. Bahkan si pelayan sampai bersujud. Tidak enak atau mungkin merasa tidak pantas diperlakukan seperti itu, si pemulung berdiri merangkul pelayan dan pemilik warung.
”Tidak apa-apa. Makanannya jangan diganti. Saya sudah lapar. Biar itu saja yang saya makan,” kata pemulung itu dengan mulut bergetar.
Begitulah Rocky. Dia tetap akan begitu di mana pun tempat, atau kepada siapapun yang menurutnya secara umum tidak berlaku sopan atau paling tidak berlaku sebagai mana mestinya.
Hari ini Rocky berencana menghadiri sebuah acara diskusi mengenai suksesi kepemimpinan bangsa: dengan tema besar dinasti politik. Dia didaulat sebagai salah satu pembicara. Setengah jam sebelum acara dimulai, Rocky sudah tampak duduk di ruangan acara. Selain tak pandai berbohong, Rocky sejatinya juga tak mahir untuk telat. Dia lebih baik menunggu 30 sampai 60 menit sebelum acara, ketimbang telat meski hanya semenit.
Acara diskusi pun dimulai. Rocky memang acap didaulat menjadi pembicara terakhir. Entah kenapa seperti itu, pun tak pernah pula dia mempersoalkan. Mungkin karena Rocky senang mendengar dan membaca pemikiran orang. Sehingga menjadi pembicara terakhir dapat membuatnya lebih efisien berkomentar.
Pendapat Rocky terhadap sebuah masalah atau peristiwa terkini memang selalu ditunggu nantikan. Bahkan sebuah diskusi publik rasa-rasanya tidak akan menarik bila tanpa kehadiran Rocky.
Setelah semua pembicara sepakat berpendapat menolak dinasti politik, tibalah giliran Rocky yang ditunggu-tunggu berpendapat. Pelan respon Rocky menerima mic dari pembawa acara. Hmm, tidak seperti biasanya yang selalu terlihat semangat ketika gilirannya berbicara. Diperhatikannya dengan saksama sorot mata peserta diskusi. Dia semacam melihat sesuatu. Tapi hanya Rocky yang tahu mengenai apa yang dia lihat. Akhirnya dia pun angkat bicara.
”Tiada yang salah dalam dinasti politik. Hal itu boleh saja; sah-sah saja. Bukankah undang-undang sudah mengatur semua mekanisme dalam proses pemilihan pemimpin? Baik pemimpin daerah, maupun pemimpin negara. Saya rasa kita harus menerima ini semua dengan lapang dada; dengan suka cita. Tidak usah hal sepele seperti ini kita ributkan. Saya rasa begitu saja.”
Semua hening. Seolah tak percaya dengan pendapat Rocky kali ini. Pembawa acara yang semula begitu bersemangat saat memperkenalkan Rocky mendadak bisu bagai batu. Begitu pula semua hadirin yang ada dalam ruangan itu, pun seperti tersihir. Mereka senyata tak mampu bicara apalagi merespon. Kemudian serentak menjadi patung.
Rocky diam, dan kembali memerhatikan. Tak juga mendapat respon, dan karena semua sememang telah menjadi patung. Rocky pun turun dari panggung acara kemudian pergi begitu saja. Pergi entah ke mana.
Setiap jalan yang Rocky lewati, orang-orang melihatnya dengan tatapan heran. Namun setelahnya, orang-orang itu pun seketika berubah menjadi patung. Rocky sama sekali tidak heran atau merasa cemas. Dia malah tersenyum, kemudian berkata, ”Sudah sejak dulu aku katakan bahwa kita semua di negeri ini adalah patung. Sekarang baru kalian rasakan Tuhan sungguh telah mengutuk kalian semua menjadi patung. Maka terimalah semua itu sebagai ganjaran dari kebisuan kalian selama ini mendiami semua keamburadulan dan kesemrawutan hidup bernegara.”
Rocky terus berjalan hingga sampai pada sebuah puncak gunung tertinggi. Dari puncak itu dia pun berteriak.
”Selamat tinggal dunia patung. Tiada guna lagi lidah ini berucap. Sampai bertemu kembali pada kehidupan yang lebih baik.”
Memang tiada guna lagi memberi peringatan kepada patung yang bisu, tuli dan telah pula buta. Maka Rocky pun kemudian duduk. Setelah sempurna duduk (serupa seorang yang sedang semadi) pelan dia pejamkan mata. Sesaat kemudian dia pun menghilang, bagai kabut tersapu angin.
Rocky moksa?
Akasia, 2023