Selimut Bulu Sebatang Bambu



ADA satu rumput, tetapi ia tumbuh terlalu tinggi untuk disebut rumput, bahkan sangat tinggi. Dan walaupun tinggi, ia bukanlah pohon. Lehermu akan sakit kalau kau berdiri di bawahnya lalu berusaha melihat ke puncak. Tubuhnya lurus saja, nyaris membosankan jika tak ada daun-daun rimbun berujung runcing melekat di ranting-rantingnya. Bisa kau tebak bahwa rumput yang dimaksud itu tak lain adalah sebatang bambu.

Dendrocalamus asper, begitulah ia diberi nama. Ia tidak menyukai namanya dan berharap tidak perlu menggunakan nama itu, setidaknya ‘Dendrocalamus’. Terdengar sangat asing dan rumit. Sama sekali bukan salahmu kalau kau agak kesulitan mengucapkannya dengan benar. Tapi karena ia Dendrocalamus asper yang tumbuh di hutan Amaknahaf, ia mengizinkanmu memanggilnya Ala.

Saat Ala masih kecil, ia selalu memakai selimut berbulu. Ia memakainya sepanjang waktu, tak peduli cuaca kering atau basah, langit cerah atau teduh, bahkan meski udara sangat panas hingga tubuhnya berkeringat. Ia merasa akan terus terbungkus oleh selimut tipis berwarna coklat kehitaman itu sepanjang hidupnya.

Dari balik selimut, ia mengintip. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, anggrek tanah mekar menyembulkan bunga yang terlihat menonjol di antara daun hijau segar yang berkilat diterpa cahaya siang. Kupu-kupu mendarat di mahkota ungu, tergoda wangi manis madu. Ala menengadah, bertanya kepada ibunya, “Kenapa kita tidak punya bunga indah seperti anggrek tanah itu?”

Penuh kasih sayang, ibunya menggugurkan satu daun dan berkata, “Ala, kau akan punya bunga, hanya saja butuh waktu yang sangat lama untuk bisa melihatnya. Akan tetapi, sekalipun kau tidak memiliki bunga, kau akan baik-baik saja.”

Hari berikutnya, Ala mengamati pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Beberapa buah matang setengah tergigit bertebaran di sekitar batang.

“Andai aku juga punya buah yang bisa kuberikan,” Ala menggumam.

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” kata ibunya.

Ala menyahut, “Sepertinya menyenangkan sekali kalau aku bisa berpesta dengan para kelelawar.”

“Kau ini ada-ada saja. Lagi pula, kau tidak harus memiliki buah untuk bergembira bersama penghuni hutan ini.” Dua daun gugur mengelus lembut pucuk si bambu muda.

Apa yang Ala dengar hanya membuatnya semakin rajin menjelajahi hutan dengan matanya. Ia pun memperhatikan bahwa sebagian pohon, sejauh yang bisa ia lihat, memiliki batang besar dan puluhan dahan yang juga besar-besar. Ia kecewa menyadari bahwa ibu, ayah, kakek-nenek, sepupu, dan semua kerabatnya di rumpun itu tak memliki dahan yang menjadi tempat burung-burung membuat sarang, bersiul-siul mencari pasangan, bergembira menyaksikan telur menetas, memberi makan anak-anak, atau tidur sesuka hati.

Ala mendesah. “Apakah suatu saat aku juga akan punya dahan?”

Ibunya menggugurkan tiga daun dan berkata, “Lebih baik kau puas dengan dirimu. Meskipun kau tidak memiliki apa-apa, kau tetap yang terpenting bagiku.”

Bambu muda itu khawatir ibunya akan kehilangan seluruh daun, karena itulah ia kini memilih diam saja meski pertanyaan meluap-luap di benaknya. Ia sungguh terpikat pada dunia. Semua tampak mengesankan kecuali dirinya sendiri.

“Aku tidak cukup indah, kuat, atau hebat untuk menjadi bagian hutan ini. Aku hanya akan tumbuh begini-begini saja, dan tidak menjadi yang lainnya.” Ia merapatkan selimut. Selimut yang menyelamatkannya dari perasaan tak berguna.

***

ALA tak mendapati banyak hal yang bisa ia lakukan. Setiap hari kerjanya hanya menyerap sedikit air, sedikit cahaya matahari, juga sedikit makanan dari dalam tanah. Diam-diam ia masih berharap sebuah keajaiban akan datang mengubah nasibnya. Setelah sekian lama, keajaiban yang ia tunggu tak pernah tiba. Ala disentak perasaan kecewa sekali lagi. Meski kecewa, ia tak punya pilihan kecuali menjalani waktu-waktu menjemukan diselingi ritual hariannya: menyerap sedikit air, sedikit cahaya matahari, juga sedikit makanan dari dalam tanah.

Tanpa ia sadari, segala yang sedikit itu perlahan membentuk dirinya. Akarnya semakin dalam mencengkeram bumi, menjalar sejauh yang ia bisa, berjalinan dengan akar sesama penghuni rumpun, membentuk serabut yang sukar diurai. Hari demi hari, ia tumbuh seperti menara kecil yang terus meninggi. Terus meninggi. Bertambah tinggi. Semakin tinggi. Sampai ia memutuskan untuk berhenti. Bagi sesuatu yang pada dasarnya adalah rumput, bisa setinggi itu adalah sesuatu yang luar biasa. Selimut bulunya masih melekat, tapi tak dapat lagi menutupi seluruh tubuhnya.

Ia kini bisa melihat lebih jauh, lebih banyak kehidupan, dan jarak antara langit dengan dirinya terasa lebih dekat.

***

MUSIM hujan tiba di hutan Amaknahaf. Awan-awan kelabu tebal beringsut ke puncak angkasa, mencuri kehangatan matahari yang dirasakan setiap jengkal kulit. Tak lama kemudian, tetesan pertama jatuh menyentuh tanah, meninggalkan bintik coklat yang segera lenyap diserap oleh tanah yang haus. Tetesan pertama itu segera disusul oleh beribu tetes lainnya.

Suatu malam, hujan deras berubah menjadi badai. Angin berdesau mengerikan disertai guntur dan halilintar menyambar-nyambar. Seluruh penghuni hutan cemas dan ketakutan. Angin kencang merontokkan daun-daun, membawa mereka melayang tak tentu arah sebelum mengempaskannya ke tanah gelap dan basah. Itu adalah badai pertama dalam hidup Ala. Ia khawatir akan tercerabut dari tempatnya berpijak. Namun, di bawah tanah, akar-akar Ala dan keluarganya berpegangan seolah telah disiapkan untuk menghadapi saat-saat buruk seperti ini. Batang mereka berayun mengikuti arah tiupan angin. Betapa lenturnya!

Ketika malam itu berlalu, apa-apa yang dulu ia lihat dan membuatnya takjub dan sangat ia dambakan untuk dimiliki, kini hanya tertinggal sisa-sisa. Dahan-dahan patah berserakan, buah-buah muda berguguran tanpa sempat dinikmati binatang manapun, dan si anggrek tanah rebah tertimbun lumpur pekat.

“Berapa lamakah waktu yang diperlukan untuk pulih dari semua kemalangan ini?” pikir Ala.

***

PADA suatu hari segerombolan penebang kayu memasuki hutan. Ketika itu musim telah berganti kemarau. Sinar matahari terasa lebih menyengat. Daun-daun hijau yang tak kuat menahan panas berubah menjadi kecoklatan. Akar-akar harus menembus lebih jauh ke dalam tanah agar dapat mengisap air.

Bagi para penebang kayu, itu adalah waktu yang tepat untuk meletakkan gigi gergaji pada batang pohon. Mereka datang ke sana mencari kayu paling kuat dan dihargai paling mahal. Demikianlah, mereka melangkah di antara semak belukar kering yang berderak saat terinjak sepatu. Seorang di antaranya, bertubuh kecil tapi paling jemawa, berjalan paling depan lalu berhenti di depan sebuah pohon meranti besar. Tampaknya lelaki itulah pemimpin kawanan. Ia berputar dua kali sambil meraba batang meranti. Di bibirnya tersungging senyum puas setelah ia melakukan perhitungan sederhana berapa lembar papan dan balok yang bisa mereka hasilkan.

Mereka berencana menebang selama dua minggu hingga cukup banyak kayu ditumbangkan sebelum semuanya diseret ke sungai. Arus akan menghanyutkan kayu-kayu itu lebih dekat ke tempat pengolahan sehingga mereka tak repot mengangkutnya satu per satu. Meranti itu akan menjadi korban pertama.

Si lelaki kecil memberi tanda kepada anak buahnya. Tanpa perlu diperintah, anggota kawanan itu mengerjakan tugas masing-masing. Sambil membetulkan letak topinya, lelaki itu menjauh beberapa langkah. Ia pemimpin, tak perlulah mengotori tangan sendiri. Namun, hanya berdiri mengawasi anak buah bekerja adalah hal menjemukan. Demi menghibur diri, ia menyulut sebatang rokok, mengisapnya dengan nikmat sambil mengoceh tentang betapa cerdasnya mereka dapat mengibuli petugas pengawas hutan.

Ala tak pernah melihat gergaji, tapi suara mesin yang meraung-raung mengerikan memberitahu bahwa ada bahaya yang mendekat. Ia menoleh pada tetangganya. Meranti itu berdiri kaku, terlalu terkejut untuk menanggapi serangan. Ala segera berkirim pesan kepada seluruh keluarga bambunya. Mereka memutuskan membuat gangguan yang akan sulit dilupakan. Dengan bantuan angin, mereka menghujani para penebang kayu itu dengan daun-daun yang gatal.

“Pergi kalian!” Ala memberi peringatan. Dan ia sangat marah. Tentu saja manusia tak mengerti bahasa tumbuhan. Namun, mereka bisa menafsirkannya dari serbuan hujan daun, berpusar seperti badai singkat yang membuat mereka terhuyung-huyung. Mereka terperanjat dan saling pandang penuh rasa khawatir. Tak pernah ada peristiwa seperti ini sebelumnya. Anak buah yang memegang gergaji mematikan mesin lalu berkata, “Barangkali bagian hutan ini ada penunggunya.”

Si pemimpin tak peduli. “Kau masih percaya dongeng?”

“Tapi daun-daun tadi itu…” kata anak buah yang lain sembari menggaruk-garuk tangannya. “Kau lihat sendiri, kan?”

“Kebetulan saja, kukira.”

“Soalnya…”

“Kau terlalu cerewet. Kalaupun makhluk halus itu ada, memang dia bisa apa?”

“Lebih baik kita hati-hati. Semoga saja kita tidak mendapat celaka.”

“Kupastikan kau yang akan celaka kalau urusan ini tak lekas dibereskan.”

Di bawah tatapan garang si pemimpin, mesin itu kembali meraung. Belum lagi gigi gergaji menyentuh pohon, para penebang kayu mendengar suara aneh mengiringi batang bambu yang merunduk seolah hendak menerkam mereka. Pelepah penuh bulu beterbangan dan ranting-ranting kurus menggapai dari udara seperti tangan sihir yang siap mencakar.

Anggota kawanan tunggang-langgang meninggalkan seorang lelaki yang berteriak murka. Lelaki itu tak takut pada penunggu hutan, hantu, tuhan, roh, atau apapun yang tak terlihat. Tapi ia tak mungkin mengerjakan segalanya sendiri. Ia meludah dengan kasar lalu melemparkan puntung rokok yang ujungnya masih membara, beranjak ke arah anak buahnya menghilang.

Pada mulanya hanya setitik bara. Dan setitik bara akan padam sendiri jika tak ada angin yang mengipasinya menjadi nyala kecil. Lalu tak butuh waktu lama bagi nyala kecil menjadi kobaran tak terkendali, membakar apa saja yang ia sentuh. Api, semak kering, dan angin kencang adalah resep sempurna untuk melenyapkan sebuah hutan.

Sementara hewan-hewan berusaha kabur dari malapetaka, tetumbuhan hanya bisa menunggu putusan nasib. Mereka tidak bisa lari, terbang, merayap, atau merangkak menghindari api.

Ala tidak ingin hidupnya direnggut begitu saja, tapi apa yang bisa ia lakukan? Aku bahkan tak tahu cara menolong diri sendiri, pikirnya dengan pahit. Ia tiba-tiba rindu pada selimut bulu yang telah ia lepaskan. Ia ingin bersembunyi di balik selimutnya seperti saat ia kecil. Namun, akankah selimut itu cukup untuk berlindung dari bahaya? Dan jika benar begitu, alangkah kejam jika ia hanya memikirkan keselamatannya sendiri sementara hutan digulung api.

Ia tahu, semua yang berakar di hutan saling terhubung satu sama lain. Mereka berbagi ketakutan yang sama, keputusasaan yang sama, dan juga keinginan yang sama untuk tetap hidup. Apapun yang terjadi, hutan Amaknahaf harus tetap ada. Ala berdoa. Seluruh tumbuhan berdoa, menadahkan daun-daun ke langit.

“Setidaknya, jalan menuju kematian ini terang benderang,” Ala berusaha menghibur diri.

Ia mendengar suara letupan saat api dengan tak sabar menjalari tubuhnya. Untuk pertama kali, ia merasa berguna karena menunda kepunahan pohon di belakangnya meski hanya sekejap.

Kayu-kayu kering meretih dipeluk panas api. Bau hangus menyebar di udara, membaur bersama jerit kehidupan yang musnah.  Asap tebal mengangkat serpih-serpih hitam, menyembur dari pucuk-pucuk pohon, terbawa angin ke segala penjuru, dan mengaburkan pandangan.

Sebelum hutan Amaknahaf menghela napas terakhir, sepasukan manusia berseragam jingga mengulurkan pipa-pipa panjang penuh air. Mereka tak datang tepat waktu untuk menenangkan api. Namun, siapa lagi yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan hutan agar tak hancur habis-habisan?

Sepetak hutan itu, tempat di mana kehidupan pernah bersemi, berubah menjadi hamparan tanah penuh arang bertabur abu sebagai saksi atas kerja api yang agung sekaligus tak berbelas kasih.

***

Delapan belas minggu kemudian, hujan datang mematuhi perputaran musim, menetes seperti janji yang digenapi. Segala yang nyaris putus asa dikuatkan kembali. Tunas rumput, perdu, dan semak-semak bangkit merayakan kesempatan kedua. Di bagian hutan yang tak sempat tersentuh api, bunga-bunga mekar berayun di tangkainya mengikuti tarian angin. Pada beberapa pohon, bunga yang mereka miliki akan berubah menjadi buah. Bagaimanapun juga, berbunga atau berbuah bukanlah satu-satunya cara agar kehidupan bisa terus berlanjut di muka bumi.

Ala telah melebur menjadi bagian dari dunia yang lebih besar meski ia masih di situ-situ juga. Sejengkal pun, tak terlihat si bambu yang dulu sering mempertanyakan diri. Tapi di bawah tanah, sisa akarnya diam-diam sedang mengumpulkan kesabaran. Kelak, ia akan muncul berlipat ganda ke permukaan sebagai bambu-bambu kecil. Mereka harus bertahan agar dapat tumbuh dewasa dan mampu melepaskan selimut bulu yang menutupi tubuhnya.

Setelah kebakaran itu, hutan Amaknahaf tak akan pernah sama lagi. Namun, pada tahun ketujuh, kau akan menjumpai bermacam-macam tumbuhan ada di sana: yang merambat maupun yang tegak, yang sederhana maupun yang berduri, yang berumpun maupun yang berdiri sendiri-sendiri.

Di hutan itu juga, ada serumpun rumput yang tumbuh terlalu tinggi untuk disebut rumput, bahkan sangat tinggi. Dan walaupun tinggi, mereka bukanlah pohon. Mereka adalah rumput yang terlahir dari bencana, lalu dengan rendah hati membungkuk ke arah takdir sebagai penerus hutan Amaknahaf.

***

Bagikan:

Penulis →

Mariati Atkah

Mengikuti program residensi yang diadakan oleh Rumata’ ArtSpace bekerja sama dengan British Council Indonesia pada tahun 2019. Dari program ini, terbit buku anak berjudul Tenri dan Kisah Jari-Jari. Buku puisi tunggalnya berjudul Selama Laut Masih Bergelombang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *