Windu



MARNI menghela napas panjang. Tubuhnya lelah sekali, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sudah tiga bulan ibu mertua tinggal di rumahnya.

Joko, suami Marni, adalah anak kedua. Kakak kandungnya bernama Purbo,  meninggal lima tahun yang lalu akibat kecelakaan kereta api. Istri dan anak Purbo menghilang sebulan setelah pria itu dimakamkan. Meninggalkan Windu, ibu kandung Purbo, tanpa pamit.

Selama lima tahun, Windu menempati rumah kontrakan mendiang anaknya. Tentu saja kali ini Joko yang sepenuhnya menanggung biaya kontrak rumah itu beserta biaya hidup sang ibu. Mereka tinggal di kota yang berbeda. Windu di Yogyakarta, sedangkan Joko di Jakarta. Windu merindukan Sundoro, cucu kesayangannya, yang dibawa pergi menantu tercinta.

Sekarang wanita berambut putih itu berumur delapan puluh tahun. Daya ingat dan kondisi kesehatannya menurun. Meskipun Windu masih mampu melakukan pekerjaan rumah tangga ringan seperti menyapu dan mencuci perlengkapan makan, namun anak mana yang tega membiarkan wanita yang melahirkannya hidup sendirian di luar kota?

Cukuplah waktu lima tahun untuk menunggu menantu dan cucu tercinta kembali. Hanya angin sepoi-sepoi yang mengetahui benar betapa besar kerinduan Windu terhadap menantu dan cucunya yang menghilang.

Dan Marni tak sanggup menolak kehendak suaminya membawa sang ibu tinggal bersama mereka. Marni tak pernah berseteru dengan ibu mertuanya. Walaupun perempuan itu tahu Windu lebih menyayangi Dewi, kakak iparnya, karena mampu melanjutkan keturunan keluarga.

Ya, Marni divonis mandul oleh tiga dokter spesialis kandungan yang tersebar di ibukota. Perempuan itu frustasi sekali. Rumah tangganya yang telah berjalan selama enam tahun terasa tak berarti. Untunglah Joko suami yang baik. Pria itu sama sekali tak menyalahkan istrinya. Dia menerima kondisi Marni apa adanya. Bahkan Joko mengajak sang istri untuk mengadopsi anak.

Namun hal itu ditentang oleh Windu. “Memelihara anak orang lain yang tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya itu besar sekali risikonya,” kata wanita tua itu tak setuju. “Kalau dia membawa perilaku yang tidak baik dari orang tua kandungnya, bagaimana? Apa kalian tidak takut menyesal?”

Joko tak mempedulikan ucapan nyelekit ibunya. Tapi Marni merasa lebih baik menuruti perkataan sang ibu mertua. Dia takut kalau nekat mengadopsi anak, kelak Windu akan berat sebelah terhadap cucu angkat dan cucu kandungnya. Lebih kasihan lagi kalau wanita tua itu keceplosan bahwa anak Marni itu hasil adopsi.

Belasan tahun Marni memendam luka hatinya akibat tak dianggap oleh ibu mertua. Setiap kali menemani Joko menjenguk Windu di rumah Purbo di Yogyakarta, batin Marni tersiksa. Secara terang-terangan Windu menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya kepada Dewi dan Sundoro. Marni sama sekali tak dipedulikan.

Lalu setelah dua orang itu pergi meninggalkan Windu selama bertahun-tahun, kenapa kini dirinya yang harus melayani wanita tua itu?

“Aku sudah tak kuat lagi, Mas,” aku Marni pada suaminya. “Keberadaan Ibu di sini membuatku lelah lahir batin. Maksud Ibu mau membantuku mengerjakan urusan rumah tangga. Tapi kenyataannya malah membuatku bekerja dua kali lebih keras! Sapu untuk pekarangan dipakai Ibu untuk menyapu rumah. Lantai jadi tambah kotor. Aku harus menyapu ulang. Sampah dibuang sembarangan di tong sampah milik tetangga. Terus Ibu suka mencabuti rumput liar di depan rumah. Setelah itu masuk ke dalam rumah dan mengambil lauk dalam tudung saji tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Jorok sekali! Dan yang paling parah, aku memergoki Ibu mencuci sapu ijuk pakai spons di tempat cuci piring. Ya ampun, Mas! Aku heran kok bisa si Dewi itu bertahun-tahun tinggal serumah dengan Ibu. Atau karena Ibu sering memberinya uang dengan memakai warisan Ayah? Padahal Dewi bekerja kantoran. Dan setelah Mas Purbo meninggal, uang Ibu habis sehingga Dewi membawa anaknya minggat? Perempuan itu tak mau menanggung biaya hidup Ibu dengan memakai uang hasil kerjanya sendiri!”

“Sudahlah, Marni. Buat apa kamu mengungkit-ungkit soal Dewi dan Sundoro? Mereka sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Apa kamu tidak kasihan sama Ibu? Kamu tahu betapa Ibu sudah banyak berkorban untuk mereka. Uang warisan Ayah banyak dipakainya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mendiang Mas Purbo yang sering kekurangan karena dia sering berganti-ganti pekerjaan. Dan ternyata setelah Mas Purbo meninggal dunia, anak dan istrinya malah pergi meninggalkan Ibu.”

“Kamu kasihan terhadap ibumu. Tapi tidak kasihan padaku, Mas! Kamu ingat betapa Ibu dulu merendahkanku karena tak mampu memberimu keturunan? Dia sering menyindir-nyindirku di depan orang lain, terutama si Dewi dan Sundoro. Sekarang saat Ibu sebatang kara, kok malah aku yang diberi tugas merawatnya?!”

Joko dengan geram menatap istrinya. Marni merasa takut. “Jadi maksudmu siapa yang harus merawat Ibu? Aku? Ok kalau begitu. Mulai besok aku yang akan menemani Ibu di rumah. Kamu pergilah bekerja mencari nafkah.”

Marni terhenyak. Tak disangkanya sang suami akan berkata sefrontal itu. “Aku…aku bekerja, Mas? Mana bisa? Kamu tahu aku berhenti bekerja sejak menikah denganmu.”

“Karena itu lakukanlah tugasmu sebagai istri dan menantu yang baik. Please, Marni. Ibu sekarang sudah delapan puluh tahun. Aku tak tega melihatnya tinggal sendirian di Yogya. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Ibu, seumur hidup penyesalanku takkan terbayar! Apalagi dari ceritamu tadi, aku mengambil kesimpulan Ibu sudah mulai pikun. Sudah tak mampu membedakan mana sapu rumah, mana sapu pekarangan. Juga mencuci sapu pakai spons di tempat cuci piring. Apa kamu tidak kasihan kalau dia tinggal sendirian dalam kondisi seperti itu?”

“Ada cara lain,” sela Marni. Sorot mata wanita itu berkilat-kilat memandang suaminya.

Joko tertegun. Pria itu dapat membaca pikiran sang istri. Joko menggeleng kuat-kuat.

“Aku takkan pernah memasukkan Ibu ke panti jompo, Marni. Aku takut dia akan semakin menderita. Kamu tahu Ibu tidak bisa diam. Suka sekali mengurus rumah tangga. Gerakannya sekarang memang jauh lebih lamban. Di panti jompo, Ibu pasti tidak diizinkan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia bisa tambah pikun nanti.”

“Tapi di tempat itu Ibu bisa punya banyak teman yang seumuran, Mas. Dia akan sibuk ngobrol dan lupa melakukan pekerjaan rumah tangga!”

Joko menatap istrinya lekat-lekat. Marni cemas. Sinar kebencian mulai tampak dari sorot mata laki-laki itu.

“Jangan pernah singgung-singgung lagi tentang tempat itu, Marni. Seandainya yang merepotkanmu di sini ibu kandungmu sendiri, apakah kamu tega memasukkannya ke panti jompo?”

Marni tersentak. Perkataan Joko bagaikan pisau tajam yang mengoyak-ngoyak hatinya. Wanita itu tak mampu berkata-kata lagi. Lidahnya terasa kelu. Kerongkongannya kering. Jadi seumur hidup ini akan diabdikannya untuk mengurusi mertua yang membuat jiwa raganya kelelahan lahir batin Ya, Tuhan!

***

Esok paginya setelah Joko berangkat ke kantor, Marni memulai aktivitasnya membersihkan rumah. Perempuan itu sempat merasa heran ibu mertuanya belum kelihatan pagi ini. Biasanya Windu selalu mengantar Joko sampai di depan pintu rumah.

Setelah menyapu seluruh ruangan, kecuali kamar ibu mertuanya, Marni mencuci tangan di wastafel. Dia lalu masuk ke dalam kamar Windu untuk mengajaknya sarapan.

Ternyata perempuan yang seluruh rambutnya sudah memutih itu sudah bangun. Dia duduk di atas tempat tidur sambil menonton TV dengan volume kecil. Sepertinya Windu hanya menikmati tayangan sinetron pagi itu secara visual saja, tak mempedulikan dialog yang berjalan.

“Selamat pagi, Bu. Tumben belum keluar. Sarapan, yuk,” ajak Marni berbasa-basi. Dipaksakannya bibirnya untuk tersenyum manis.

Windu menoleh. Mata wanita sepuh itu berkaca-kaca. Selanjutnya air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya yang keriput.

Marni kebingungan. Kenapa ibu mertuanya ini menangis? Apakah dia teringat pada Mas Purbo? Jangan-jangan tadi malam Windu bermimpi bertemu anak kesayangannya itu.

“Ibu kenapa menangis?” tanya Marni sembari mendekati ibu mertuanya.

Dia duduk di hadapan Windu. Tak dinyana ibu kandung Joko itu menyentuh tangan sang menantu. Marni merasa tidak enak. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Ibu kemarin mendengar pertengkaranmu dengan Joko….”

Suara lirih Windu bagaikan geledek menyambar telinga Marni. Wajah wanita berambut ikal pendek itu memucat. Perasaan bersalah timbul dalam hatinya.

“Ibu minta maaf sudah membuatmu repot, Marni. Sepertinya Ibu memang sudah mulai pikun. Maksud hati mau meringankan bebanmu melakukan pekerjaan rumah tangga, malah sebaliknya membuatmu semakin susah. Maafkan Ibu ya, Nak.”

Marni menjadi gugup. Dia tak tahu harus berkata apa. Perempuan itu merasa malu.

Kemudian Windu menyodorkan sebuah kotak kecil pada Marni. Pelan dibukanya kotak berwarna merah itu. Mata Marni membulat begitu melihat sepasang cincin emas polos terpampang di hadapannya.

“Ini adalah cincin kawin Ibu dan mendiang Ayah, Marni. Tinggal ini harta Ibu yang tersisa. Lainnya sudah Ibu jual demi membiayai rumah tangga Purbo karena uang warisan Ayah sudah habis. Ibu akui selama ini sudah bersikap tidak adil terhadap dirimu dan Joko. Ibu terlalu pilih kasih terhadap Purbo beserta anak istrinya. Ibu kecewa karena kamu tak sanggup memberi keturunan buat Joko. Ternyata orang-orang yang selama ini Ibu kasihi justru mengkhianati Ibu….”

Windu menangis sesenggukan. Sungguh dia menyesali perbuatannya dulu terhadap Marni, menantu yang dikiranya tak berguna. Ternyata roda kehidupan sungguh berputar. Tuhan membukakan mata Windu betapa menantu yang dulu dijahatinya kini malah berbalik merawat dirinya.

“Ambillah kedua cincin ini, Nak. Sebagai tanda penyesalan Ibu. Tuhan memang adil. Cincin kawin Ibu dan Ayah ini memang sepantasnya menjadi milikmu dan Joko. Anak dan menantu yang berbakti pada Ibu. Terima kasih banyak sudah menerima Ibu di sini, Marni. Ibu memahami keletihanmu. Ibu siap tinggal di panti jompo….”

Air mata Marni menyeruak. Dipeluknya Windu. Perasaan benci itu kini telah meleleh, berubah menjadi kasih dan penerimaan yang tulus. Istri Joko itu bertekad akan merawat ibu mertuanya hingga ajal menjemput. (*)

Bagikan:

Penulis →

Sofia Grace

Sofia Grace adalah nama samaran Syanee Wibisono. Lahir di Surabaya, 11 Juli 1979. Cerpenis dan seorang Ibu rumah tangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *