Gemuruh Takbir dalam Debu


SUARA deru langkah kaki terdengar timbul tenggelam dari flat atas ke bawah. Gemuruh orang-orang berlari terdengar melewati kamar kami dan hilang di ujung lorong. Beberapa diantara mereka mengetuk pintu rumahku sambil berteriak dan kemudian hilang lalu.

“Ayo, Mahdi, cepatlah mengungsi dengan Abamu.” Kata-kata itu datang silih berganti dan muncul tenggelam bersama deru langkah mereka yang berentetan seperti suara dentuman roket yang menghantam gedung-gedung dan tembakan senjata yang bertubi-tubi.

Aku tidak menghiraukan suara-suara itu. Itu hal biasa bagi kami. Namun memang keadaan kami setahun ini setelah negeri zionis berdiri semakin runyam. Semuanya tidak lagi biasa-biasa saja. Aba tahu itu dan semua anak-anak remaja di kota ini tahu. Namun kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali terus bertahan dan hidup.

“Mahdi! Cepatlah mengungsi dengan Aba-mu.”

Suara itu terdengar lagi dari tetangga-tetangga kami yang berada di flat atas. Kami tinggal di sebuah gedung lantai sepuluh yang berisi sepuluh keluarga. Setiap lantai adalah rumah milik satu keluarga. Aku dan Aba tinggal di lantai dua. Gedung lantai ini bukan milik keluarga kami. Kami hanya diberi tumpangan oleh Tuan Mahfud di sebuah ruangan kosong depan tangga penghubung yang menghubungkan setiap lantai di gedung ini yang berada pada satu jalur. Ruangan itu biasanya digunakan sebagai gudang penyimpanan barang yang kemudian disulap oleh Tuan Mahfud sebagai rumah kami. Hanya ada tiga ruangan di sini yaitu ruang tamu yang kecil sekaligus sebagai ruang keluarga. Ruang tamu itu juga sebagai tempat tidurku yaitu di sofa. Sebuah kamar tidur untuk ayah dan dapur dan kamar mandi. Tinggal di ruangan kecil ini kami sudah sangat bersyukur. Banyak orang-orang di luar sana tidak memiliki rumah dan tinggal di jalanan. Beberapa anak remaja yang tinggal di jalanan itu berteman denganku. Aku biasa mengajak mereka kemari untuk bermalam.

Aku masih duduk terpaku di depan Aba yang terbaring lemah. Aku menyuapinya dengan bubur gandum yang sering diberi oleh Tuan Mahfud. Iya, beruntunglah kami karena mengenal tuan kami itu. Selama ini dia telah membantu banyak hal. Namun kadang aku malu sendiri. Aku adalah seorang remaja yang kuat. Dengan tenagaku aku bisa mencari makan untuk kami berdua. Walaupun kini jaman susah. Pihak zionis membangun pagar besi untuk menutup Gaza dari dunia luar. Semakin hari stok makanan kami menipis, pekerjaan semakin sulit dan orang-orang hanya bersabar dan melepas senyum.

Aku menyuapi bubur dengan perlahan ke mulut Aba. Dia menerimanya dengan perlahan pula dan berusaha mencerna makanan halus itu dalam mulutnya. Aba menderita penyakit stroke dan gula. Kedua kakinya yang terluka cukup lama telah diamputasi dan ia hanya terbaring di tempat tidur. Sesekali kalau ia mau melihat cahaya dan menghirup udara Gaza, aku menggendongnya ke kursi roda dan mendorongnya ke tepi jendela. Dengan tatapan senjanya ia melihat matahari terbit dan tenggelam dengan wajah yang teduh. Namun sorotan mata itu terasa dalam dan sendu hingga kadang aku melihat ada mata air yang timbul di situ. Aku tahu dia merindukan ummi. Ummi yang tidak pernah aku lihat wajahnya kecuali sebuah potret yang tergantung di dinding kamar dekat tempat tidur Aba. Di atas pembaringannya ia selalu berkiblat pada potret itu dan bibirnya komat kamit. Dia sedang berbicara dengan kekasihnya dan berpuisi. Kadang dia menoleh padaku seolah-olah ia bercerita bahwa anak yang karena melahirkannya merenggut cintanya itu kini telah tumbuh menjadi remaja yang mewarisi keindahan wajah dan senyumnya. Begitulah kadang Aba bercerita tentang ummi. Ummi yang memiliki wajah sepertiku. Untungnya aku seorang lelaki. Kalau aku seorang gadis pasti wajah kami sama.

“Tuk, tuk, tuk, Mahdi…!” Terdengar suara ketukan pintu dan panggilan dari luar sana. Aku pergi membuka pintu dan kudapati Tuan Mahfud telah berdiri di depan pintu. Ia lalu bergegas masuk dan berjalan menuju kamar menemui Aba.

“Kita harus meninggalkan gedung ini. Pihak zionis akan mengebom kota ini dan mereka memberi peringatan agar kita mengosongkan setiap gedung dan mengungsi,” kata Tuan Mahfud di telinga Aba.

“Aku akan membantumu bersama Mahdi mengangkatmu keluar,” kata Tuan Mahfud sambil menatapku. Namun tangan Aba seketika bergerak dan mencengkeram pergelangan tangan Tuan Mahfud. Seperti ingin berbicara, Tuan Mahfud merapatkan telinganya ke bibir Aba.

“Tinggalkan aku dan Mahdi di sini. Pergilah, dan selamatkan keluargamu,” kata Aba terbata-bata.

“Ini sangat berbahaya. Kau juga harus pergi,” kata Tuan Mahfud mendesak.

“Per-gi-lahhh…” Kata Aba dengan mencengkeram tangan Tuan Mahfud. Terlihat tangannya bergetar. Tuan Mahfud akhirnya menoleh kepadaku dan memintaku untuk menjaga Aba baik-baik. Ia lalu bergegas pergi dan suara langkah kaki mereka hilang di ujung tangga. Aku kembali ke pembaringan Aba dan duduk di dekatnya.

“A a aku- ingin -melihat -cahaya,” kata Aba terbata-bata. Aku segera berusaha menggendongnya dan menaikannya ke kursi roda. Aku lalu mendorongnya menuju tepi jendela. Dari lantai dua ini cukup tinggi untuk melihat sebagian kota Gaza. Aba melepas pandangan yang jauh hingga entah ke mana. Biasanya aku berusaha menerka-nerka pandangan itu. Dari jauh sana kembali terdengar suara dentuman dan beberapa rentetan tembakan. Suara yang sudah biasa dan membosankan. Aba menolek ke arahku dan mengajakku duduk di sampingnya. Akupun duduk di dekatnya dan melepas pandangan ke arah suara dentuman di sana.

“Kau… kau harus tahu bahwa leluhur kita sejak dulu kala telah hidup yatim piatu,” kata Aba dengan bibir bergetar.

“Kakek dan nenekmu meninggal saat Aba berusia delapan tahun. Usia yatim piatu yang lebih tua dua tahun dari nabi kita Muhammad, salam dan salawat untuknya. Walaupun usia delapan tahun namun Aba masih mengingat saat-saat bersama mereka terakhir kalinya. Aba ingat saat tentara zionis menyerbu rumah kita dan menembaki kakek dan nenekmu dengan membabi buta. Yang Aba tahu setelah itu pihak zionis merilis daftar kakek dan nenekmu sebagai kelompok jihad garis keras yang menentang pendudukan zionis atas tanah Palestina. Entahlah. Aba tidak tahu itu. Yang Aba ingat saat tentara israel memberondong kakek dan nenekmu dengan peluru tajam, mereka menyembunyikan Aba di dalam lemari dan di kunci. Aba masih ingat kata-kata terakhir mereka padaku, “Pergilah bersama debu. Ikutilah dimana suara takbir bersahut-sahutan. Di sana kau bisa mendapat roti dan air.”

Setelah semuanya berakhir, Aba kemudian ditemukan oleh pamanku beberapa jam setelah kejadian itu. Pamanku memiliki keluarga kecil yang tinggal di kamp pengungsian. Masa kecilku kuhabiskan bersama paman dan keluarganya hingga suatu saat sebuah rudal datang dan menghabisi kamp pengungsian itu dan merenggut semua orang yang bersama selama ini. Semua orang tewas saat itu kecuali Aba dan anak pamanku yang bernama Maryam. Dia adalah ibumu di kemudian hari setelah kami sama-sama dewasa dan jatuh cinta. Kamu tahu saat rudal itu menghapus semua apa yang menjadi milik kami. Waktu itu kami masih remaja. Kami hidup di jalanan seperti gelandangan. Berlari bersama orang-orang yang bertakbir diantara debu-debu dan reruntuhan puing-puing gedung. Di mana ada gerombolan orang bertakbir dan berkumpul, kami ada di situ. Kami memilih batu-batu dan melempar kenderaan lapis baja Israel dan bala tentaranya. Di gerombolan orang-orang itu pula kami mendapat roti dan air. Lalu saat malam kami beristirahat bersama orang terakhir yang kami ikuti. Kebanyakan mereka tidur di emperan gedung, masjid dan lorong-lorong. Ada juga yang nongkrong sampai pagi. Begitulah terus sampai kami menikah dan bertemu dengan Tuan Mahfud. Dia adalah orang terakhir yang kami ikuti saat massa membubarkan diri secara perlahan. Gerombolan orang-orang itu seperti berjalan berpencar. Entah mereka akan kemana. Apakah mereka memiliki rumah? Kami mengikuti kelompok yang lebih besar menyusuri jalan umum sepanjang kota. Sebagian mereka satu-satu menghilang entah kemana. Lalu ketika langkah semakin menjauh tinggallah Aba dan Ummi yang berjalan mengikuti Tuan Mahfud hingga ke gedung ini. Kami berhenti saat Tuan Mahfud masuk ke dalam gedung dan menghilang. Di depan sana ada sebuah tembok penahan air. Di tembok itulah kami beristirahat malam itu dan malam-malam kemudian yang kemudian menarik perhatian Tuan Mahfud untuk menegur kami. Saat itu Gaza kembali dikepung rudal dan kami semua berkumpul untuk melawan. Teriakan takbir menggema mendatangkan semua orang dari penjuru kota. Aba, Ummi dan Tuan Mahfud berada di tengah kekisruhan hingga reda. Saat semuanya pulang dan menghilang tinggallah kami bertiga yang berlabuh di tempat yang sama. Setelah memperhatikan kami beberapa kali tidur di emperan penembokan itu, Tuan Mahfud memberi kami rumah ini.”

Aba terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam dan seperti baru saja mengalami sejarah hidupnya yang penuh makna itu terulang lagi. Di luar sana suara dentuman rudal yang menghantam gedung-gedung terdengar menyebar ke segenap penjuru dan mendekat. Sahut menyahut rentetan tembakan membuat bising suasana.

”Mahdi! Dengarkan Aba baik-baik! Sejak dahulu kala leluhur kita tidak mewarisi apa-apa. Mereka hanya memberi pesan-pesan terakhirnya. Pergilah bersama debu dan dengarlah suara takbir. Di sana kamu akan mendapatkan roti dan air.

”Mahdi! Dengarkah kau suara adzan itu? Pergilah bila mendengar suara itu. Hayati kalimat-kalimatnya satu-satu. Dengarlah takbirnya dan syahadatnya. Itulah panggilan untuk bertauhid dan berserah diri. Dengarlah perintah dan janji-janjinya. Ikutilah dan dia akan memberimu roti dan air.

”Mahdi! Dunia ini tempat berperang. Walaupun zionis berusaha mengubur kita dalam debu namun tetaplah bertahan dan ikuti suara orang-orang yang bertakbir. Di sana kau tidak akan sendiri dan yatim piatu. Di sana semua roti dan air akan dibagi rata.”

Suara Aba terhenti bersamaan dengan sebuah ledakan besar tidak jauh dari gedung kami. Terlihat sebuah gedung rubuh dan diselimuti asap dan debu. Aba memintaku untuk mengantarnya ke tempat tidur. Saat tubuhnya terbaring, Aba memegang tanganku erat dan gemetaran.

“Mahdi, setelah ibumu tiada, Aba menabung sejumlah uang di lemari. Ambillah semua dan belikan Aba sebotol air dan kurma. Aba ingin memakannya dan mengenang apa yang Aba dan Ummi makan sewaktu masih muda di jalanan.”

Aku pergi mengambil uang di lemari persembunyiannya dan mendapat setumpuk uang kertas yang sangat banyak.

“Ambillah semua dan simpan di sakumu. Pergilah cepat di ujung gang dan beli dan kembalilah sebelum mereka menutup tokonya.”

Aku lalu memasukkan uang itu kedalam saku celanaku yang memiliki kantung yang besar.

“Cepatlah….” desak Aba dengan suara yang berat. Tanpa menoleh ke arahnya akupun berlari keluar dan menuruni tangga demi tangga menuju lantai bawah. Kembali terdengar suara dentuman di belakang gedung. Langkahku terhenti di jalanan. Orang-orang berhamburan keluar memenuhi jalan. Beberapa teman-teman yang kukenal datang menghampiriku. Aku mengajak mereka berlari ke ujung jalan. Di sana ada toko Tuan Ishak. Semoga dia masih ada di tempatnya. Ketika langkah kami mendekati toko Tuan Ishak sebuah ledakan besar terdengar di belakang kami. Aku mengingat Aba tiba-tiba. Aku menoleh ke belakang dan melihat gedung lantai sepuluh kami itu telah roboh ke tanah meninggalkan asap dan debu yang berterbangan. Aku berdiri mematung. Sebuah ledakan kembali terdengar. Ledakan terjadi di kiri kananku. Aku merasa ada yang menggenang di mataku. Aba… Aba… Aba… Aku melihat orang-orang berlari ke sana kemari. Aku melihat tangan teman-temanku menarikku untuk lari, tapi aku seperti tuli. Aku seperti tidak merasa hidup. Aku hanya melihat gerakan tubuh mereka melambat dan gerak bibir mereka yang tidak jelas. Aku hanya mengingat Aba… Aba… Aba… Seketika air mataku membanjir. Aku tersungkur di tanah dan meratap kehilangan tenaga. Aku lemah tak berdaya. Aku bersujud di tanah di dalam kepungan debu yang membuat buta. Hingga samar-samar aku mendengar suara takbir dari dalam debu-debu itu. Takbir yang terus bersahut-sahutan. Aku mendengar Aba berkata, ”Pergilah bersama debu dan ikuti suara takbir yang bergemuruh. Di sana kau akan mendapatkan roti dan air.”

Aku bangun dari sujud dan menyeka airmataku. Aku berjalan masuk menembus debu dan berkumpul dengan orang banyak yang terus mengumandangkan takbir.

“Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”

Bagikan:

Penulis →

Hadi Amasae

Seorang penulis kelahiran Alor, NTT, yang merasa senang menulis sejak masih sekolah dasar. Cerpen-cerpennya terbit di magrib id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *