BAGAIMANA kabarmu, Baba? Sekian tahun berlalu sejak kali terakhir kita duduk dan berbincang bersama. Aku hampir melupakan janjiku menulis surat untukmu kapan pun kebahagiaan menyelinap dalam “hati kecilku”. Aku khawatir surat yang berisi kebahagiaan berisiko takkan pernah dituliskan, jadi biarkan aku menulis tanpa terbebani syarat itu; dan biarkan kepuasan berbicara kepadamu tetap kurasakan saat ini.
Hari ini menandai tujuh tahun sejak hari kau tiada, tapi baru sekarang aku mulai menyadari betapa aku merindukanmu, betapa kepergianmu sebegitu menyakitkan untuk kupikul seorang diri. Keberadaanmu amat kubutuhkan. Satu-satunya hal yang melipur laraku adalah meyakini kalau kaupun merasakan kegundahanku.
Hidup pun menjadi lebih pelik dan menyakitkan ketimbang mendapat nilai bagus dalam pelajaran sejarah, atau bepergian bersama keluarga Bibi Karama. Hidup toh tak pernah sesederhana itu. Apa yang perlu kuceritakan? Gaza membuat frustasi akhir-akhir ini—maksudku beberapa tahun belakangan. Walau setidaknya, situasi itu menjadi latihan kesabaran yang baik. Musim panas kali ini menjadi yang terparah ketimbang musim panas lain yang berlalu tanpamu; menghirup udara bersih telah menjadi kemewahan yang tak selalu bisa kami miliki. Manakala kehampaan mengambil alih, yang kini cukup sering terjadi, aku duduk di kamarku yang dilimpahi cahaya matahari, menatap bekas tembakan kecil dan retakan jelek di dindingnya. Benar, itu retakan sama di dinding yang disebabkan oleh tembakan tentara itu. Benar-benar merusak pemandangan!
Di lain waktu, aku memandanginya sembari coba mengingat seperti apa wujudnya. Ialah sewujud tubuh besar yang menyeretmu dari ranjangku dan tak memberimu kesempatan menyelesaikan dongeng tidurku. Aku tak ingat apa pun selain sepatu hitamnya yang berdebu dan senapannya yang mengerikan. Jadi sering kali, aku coba membayangkan seperti apa wujudnya dan selalu berakhir dengan keyakinan kalau dia tak lebih dari moster tanpa ekspresi. Barangkali tindakanku terlampau jauh, memikirkannya, bahkan tentang kehidupannya, keluarganya, istri yang dicintainya, juga anaknya yang bisa memperoleh nilai bagus di pelajaran matematika, sampai ke tawa dan tangisannya. Baba, apa yang membuat manusia seperti dirinya bersuka cita atas diriku yang menjalani penderitaan tak memiliki ayah, dengan cerita yang belum selesai?
Kala kegelapan menyelimutiku, aku duduk di tepi jendela memandangi semua rumah tanpa listrik itu, kuhidu aroma manis malam Gaza yang tenang, kunikmati udara segar yang menyelusup ke benakku, dan teringat padamu, juga pada diriku, Palestina, retakan, dinding yang kosong, diriku, Mama, dirimu, kelas sejarahku, dirimu, Tuhan, dan Palestina—bagian cerita yang belum usai. Aku senang mengingat suara lembutmu kala menceritakan kisah Thaer. Masih teringat jelas betapa berseri-serinya diriku yang gembira ketika kau memberitahuku kalau Thaer dan diriku memiliki kemiripan, bahwa dia memiliki mataku yang liar, dan aku memiliki senyumnya yang malu-malu. Aku belum tahu siapa dia sebenarnya, atau di mana dia tinggal, tapi aku yakin, aku selalu mempercayai pahlawanmu itu. Aku tidak pernah bisa melupakan betapa matamu yang menawan seketika cerah ketika kau mengingat dirinya yang menanam beberapa bibit zaitun di halaman belakang panti asuhan. Tuhan memberkati senyum di wajahmu. Dan Tuhan memberkati benih di bawah tanah itu. Aku takkan pernah bisa melupakan momen kala kau menatap mataku dan berkata, “Dia anak laki-laki yang ditinggal mati seluruh keluarganya, tapi tak sekalipun ia kehilangan keyakinan dalam hidup. Aku ingin kau sekuat dia.” Baba, apakah kau ingat ketika aku bertanya, apakah dia cukup kuat melawan tentara Israel?
Kau menyeringai—kau kerap melakukan itu—tapi kau tak menjawab pertanyaanku. Kau ingin diriku mencaritahunya sendiri. Kau bilang padaku, dia baru berusia dua belas tahun ketika salah satu gadis panti asuhan, Amal, mulai gemetar, berhalusinasi, dan berkeringat, tapi tak seorang pun di sana yang berani melanggar jam malam militer—atau mereka akan mati. Namun, Thaer pergi memanggil dokter untuk Amal, dan kemudian…. Kemudian tanah ini pun menjadi neraka, Baba. Dan kemudian, kau tiada.
Aku tak ingat sejak kapan aku mulai memperdulikan akhir cerita Thaer, tetapi setiap kali aku memikirkan kemungkinan akhir cerita yang tepat, aku justru kelelahan, dan beban di kepalaku akan bertambah berat. Aku tak bisa melakukannya sendiri. Rasanya, aku harus berpikir dua kali: satu untukku, dan lainnya untukmu. Aku sudah berusaha semampuku, Baba. Namun, melakukannya bukanlah hal mudah. Dari semua orang di sekitarku, kau paling tahu bahwa untuk menyelesaikan sebuah cerita, paling tidak diperlukan dua orang; itu selalu terjadi. Aku membenci kenyataan kalau barangkali aku didorong rasa ingin tahu yang besar dan kecintaan terhadap akhir cerita. Bagiku, Thaer adalah “dirimu” yang lain dalam hidupku, sebagaimana fotomu yang berdiri di atas retakan menjijikkan itu, dan kufiyamu, yang warna hitam pekatnya telah berubah menjadi abu-abu cemerlang. Semua itu bagian kehidupan dalam dirimu. Dan aku yakin, ketakutan akan kehilangan lebih banyak lagi bagian dari ayahkulah yang mendorongku ke titik itu.
Aku pernah berpikir, tentang belahan jiwamu, Mama. Aku mengira-ngira, pasti kau telah menceritakan soal Thaer kepadanya. Aku membayangkan kalian berdua menghabiskan malam-malam untuk mengagumi mata dan senyumnya, sebab terkenang jelas di kepalaku saat kalian berkumpul–yang menjadi momen mewah bagi Mama, pembicaraan kalian seolah tak berujung. Aku pun kadang tenggelam dalam kenangan tertentu. Aku mendengar nada suaramu dan gelak tawa Mama—tawa yang sudah lama hilang. Tapi tak perlu khawatir; kini Mama tetap bisa tersenyum. Aku tahu, seharusnya aku tak mengganggumu, Baba, tapi kau harus tahu kalau hari demi hari, keadaan Mama semakin melemah. Aku kerap bertanya-tanya, “Apa yang dia ketahui dan hal apa yang dia simpan seorang diri, hingga membuatnya terus hidup dalam kesepian yang pahit?” Dia pasti tahu hal banyak, bukan?
Terpikir kalau dia mengenal Thaer, aku pernah menanyainya secara gamblang, “Apa yang terjadi pada Thaer pada akhirnya?” Dia mencuci piring terakhir, mematikan keran, dan menatap wastafel selama beberapa saat. Kukira dia akan memberi jawaban yang menenangkanku. Tapi dia segera berbalik. “Siapa Thaer?” dia bertanya sambil menyipitkan matanya.
“Thaer,” kataku. Kemudian mendapati kegelisahan terlihat di wajahnya, aku mengulanginya, “Thaer. Thaer-nya ayahku!” Dalam setiap gerakan yang dia lakukan dan setiap kata yang tak terucapkan, aku bisa melihat kilatan cerita yang tak terjangkau. Dia menggunakan keheningannya untuk melindungi kekacauan yang kulihat di matanya itu. “Mama! Thaer. Anak kuat yang menanam pohon zaitun di panti asuhan.” Aku terus mencoba mengajaknya bicara.
“Kuat, katamu? Tak peduli seberapa kuat atau seberapa keras kau berpura-pura menjadi kuat, kadang-kadang hidup akan mempengaruhimu dan itu tak membuatmu lemah, sayang. Itu membuatmu menjadi manusia.”
Aku tahu, Baba, kau tak mengenal perempuan ini lagi; aku pun tidak. Aku biasa menyebutnya kebijaksanaan. Sayangnya, ibu menjadi sinis, tetapi dia tetap mendapatkan banyak kebijaksanaan. Percaya jawabannya tak ada hubungannya dengan Thaer-mu, aku bertanya lagi apa dia tahu yang terjadi pada Thaer dan apakah ia kembali ke panti asuhan atau tidak. “Dia sudah kembali ke rumah, kok. Kita semua akan kembali,” bisiknya pelan. Aku menghabiskan malam itu memikirkan rumah Thaer, juga tentang kehidupan yang jauh di mata Mama. Aku terus bertanya-tanya apa yang lebih menyiksa: dengungan mengerikan dari drone di luar sana atau kecamuk pertanyaan yang belum terjawab dalam kepalaku. Kurasa, akhirnya aku pun tertidur tanpa jawaban, berkat suara drone yang tak memberikan kesempatan bagi pikiranku untuk terus berkecamuk.
Dua minggu lalu, Kakek pergi bersama Abu Feras, seorang tetangganya, untuk mengambil kupon makanan UNRWA. Dia meninggalkan rumah dalam keadaan sehat dan kembali dengan keadaan seperti orang gila. Penyebabnya sepele. Abu Feras mengatakan Kakek menunggu tiga jam penuh di bawah terik matahari dalam antrian panjang. Ketika akhirnya dia hendak mendapatkan kupon tersebut, dia bertanya kepada pria di sana, “Apa yang kau tawarkan kepada saya?” Jawabannya sederhana: “Makanan!”
“Dan kapan tepatnya saya akan mendapatkan Jaffa bagian saya dengan kupon ini?” Kakek berteriak. Bisa dibayangkan keributan seperti apa yang terjadi, tapi semuanya menjadi tenang ketika Abu Feras memaksanya kembali ke rumah. Aku tak begitu suka memikirkan kejadian itu. Aku tahu bahwa sejak kepergianmu, hidup Kakek sepenuhnya tenggelam dalam kesedihan mengenang pohon lemon dan putra kesayangannya. Sekarang, dia bukan lagi pria yang sering kuajak mengobrol berjam-jam. Dia tak percaya lagi—tak percaya padaku. Dia berkata, orang-orang berjuang dan mati merebut kembali Palestina kita. Namun, para pejuang kemerdekaan itu tak kembali, begitu pula dengan negara Palestina. Dia bersumpah, kalau kau sekarang berada di Jaffa, duduk di dekat pohon lemon, menikmati matahari yang tenggelam di balik birunya laut kita yang menakjubkan. Ia menambahkan, kau tak akan pernah kembali, sebab siapa yang bisa meninggalkan tempat seindah Jaffa? Sementara diriku, hari demi hari, tenggelam dalam tahun-tahun yang bersemayam di wajah keriputnya, dan merasuk dalam kenangan masa lalu yang menjadi detak jantung lemahnya.
Kau tentu bisa menduga kalau aku menanyai Kakek tentang Thaer. Ia langsung menjawab, “Thaer menolak berbagi udara dengan dunia kotor ini. Dia memilih untuk tumbuh di tempat lain. Jangan beri aku wajah konyol itu. Memang benar, orang mati memang akan bertumbuh, tetapi jangan pernah percaya mereka bertambah tua.” Jawaban ini bahkan lebih membingungkan daripada jawaban Mama.
“Aku tak percaya padamu. Thaer tak akan pernah menganggap kematian sebagai pilihan. Lalu bagaimana dengan Amal? Apakah Thaer sebegitu egoisnya membiarkan dia mati?” Aku terisak.
“Siapa Amal?” Kakek bertanya acuh tak acuh.
Entah mengapa, aku merasa lega. Aku tersenyum dan menjawab, “Temanku yang sudah dewasa. Kakek harus bertemu dengannya suatu saat nanti.” Aku memberitahunya keinginanku mengunjungi Bibi Karama keesokan harinya, dan menanyakan apakah dia ingin ikut. Dia menjawab kalau dia tidak bisa lagi mentolerir anak-anak dan rumah yang sumpek. Aku tak peduli. Aku mencium keningnya. Baunya seperti aroma bunga lemon. Seolah dia menanam kebun lemon di kerutannya yang tebal itu. Baba, beraninya dia bilang Thaer sudah mati? Dia sendiri tak percaya. Aku merayakan setiap momen baru yang ditambahkan dalam hidup Thaer. Aku mesti bersyukur atas keyakinanku, karena kita harus membuat lompatan kepercayaan jika kita ingin melangkah ke depan. Usia seorang barangkali hanya diukur dengan tahun, tetapi keyakinan, tak diragukan lagi, ia akan menyebar lebih luas.
Keesokan harinya, aku bangun lebih dini. Aku, untuk pertama kalinya, menyaksikan matahari terbit. Dengan cahaya redup di sekitarku, dunia terlihat seperti yang kurasakan. Dan saat itulah, aku melihat jauh ke dalam diriku, dan mulai terguncang hebat. Bukan lantaran aku menginginkannya, tapi karena aku tak bisa menghentikannya. Aku mulai merenungkan, apakah hal-hal yang kujalani layak untuk diperjuangkan sampai mati. Aku memikirkan semua yang kumiliki dalam hidup ini. Meskipun diriku mempunyai banyak hal, semua itu seolah tak pernah diperlukan. Tiap kali diriku memikirkan makna hal yang kumiliki, semuanya malah berputar-putar dan hilang begitu saja. Aku tak merasakan jiwamu di sisiku. Kendati aku mencoba memimpikanmu lebih dekat, mimpi itu tetap tampak jauh seperti sebelumnya. Aku sadar, semua itu berkaitan dengan Thaer. Aku takut, ketika aku tertidur lagi, dia akan selalu menjadi cerita tanpa akhir. Dan aku tahu, kita terpisah oleh satu cerita itu. Ya, tinggal satu bagian cerita lagi!
Lantaran tak sabar mengetahui apa yang terjadi pada Thaer, aku mengabaikan matahari yang mengambil tempat favoritnya di langit menakjubkan itu. Memang, cuaca tak bisa dipastikan. Udara sejuk ini bisa menipu, jadi aku mengalungkan kufiya agungmu di leherku, dan keluar tanpa keraguan. Aku berpegang teguh pada takdir hari itu. Kakek mungkin berpikir itu naif, tetapi aku yakin kau tak akan berpikir seperti dia. Salah satu bagian dari hidup toh mempercayai sesuatu hal.
Mereka berkata, “Untuk menemukan sesuatu, entah apa pun itu, kebenaran besar atau kacamata yang hilang, pertama-tama kau harus yakin ada keuntungan yang kau peroleh saat menemukannya.” Dan sungguh suatu keuntungan, Baba! Ketika akhirnya aku sampai di rumah Bibi Karama, aku mengetuk pintunya dengan tak sabar. Lebih dari sepuluh menit aku menunggu di luar. Tapi tak ada yang menjawab ketukanku. Aku hendak kembali ke rumah ketika Bibi membuka pintu. Dia bangun tidur. Bagaimana dia bisa tidur sementara aku tak tahu di mana cerita Thaer berakhir? Dia mempersilakanku masuk, dan meminta menunggu selagi ia mengganti pakaiannya. “Tolong, tak perlu!” Aku buru-buru membalas kata-katanya.
Dia mengangkat alisnya, wajahnya pucat, kemudian berkata, “Ada apa denganmu? Sesuatu yang buruk pasti terjadi pada kakekmu, atau ada hal lain yang membuatmu kemari sepagi ini sekalipun kau tak mengunjungiku selama berbulan-bulan. Ya Tuhan! Apa yang terjadi padanya?”
Aku menenangkannya. “Thaer-lah yang membuatku datang sepagi ini,” kataku. Ya, Baba. Aku bertanya pada Bibi Karama. Aku harus melakukannya, sebab aku tahu, dia teman terdekatmu sejak kau masih kecil; sejak kau tak bisa mengeja “Palestina.” Dia selalu bangga pada kejadian di masa lalu saat dia mengajarimu mengeja dengan benar. Dan kau selalu percaya pada kehebatannya. “P untuk Passion, A untuk Aspiration, L untuk Life, E untuk Existence, S untuk Sanity, T untuk Trust, I untuk You, N untuk Nation, E untuk Exaltation.” Kemudian, kau bisa menuliskannya dengan benar. Kau menuliskannya di mana-mana—di dinding, di meja. Kau mengukir huruf-huruf menakjubkan itu di pepohonan, dan ia berakhir terpatri di hatimu.
“Bagaimana dengan Thaer?” dia dengan blak-blakan menjawab pertanyaanku. Harapan muncul kembali di hatiku demi menyadari kalau Bibi memang mengenal Thaer.
“Maksudku, apa yang terjadi padanya di akhir cerita? Berhasilkah dia kembali ke panti asuhan? Apakah Amal selamat?” Aku bertanya, tapi dia memilih untuk tak memberi jawaban. Sejujurnya, aku kecewa. Seolah kau tak mempercayai hatiku; seakan kau tak menginginkanku lebih dekat dengan ceritamu.
Dia kembali dengan setelan pakaian hitam dan berkata, “Bangunlah, kita akan pergi ke satu tempat yang istimewa.”
Dengan mata berkaca-kaca, aku menatapnya dan berkata, “Memang ada tempat yang istimewa di tanah ini?” Dia marah atas jawabanku dan bilang aku tak layak mengenal Thaer jika aku tak percaya akan keberadaan tempat itu di muka bumi ini. Kau tahu, aku sungguh malu.
Kami akhirnya pergi. Dia membawaku ke tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi. Jalan-jalan kamp yang sempit nan gelap menarik perhatianku. Aku merasakan sensasi pahit-manis itu. Aku merasa kau ada di sana. Aku yakin kau ada di sana. Dalam perjalanan kami menuju “tempat istimewa” itu, Bibi Karama tak berhenti menceritakan tentang setiap keluarga di kamp ini. Kisah-kisah penuh penderitaan nah menyentuh hati menjadi teman perjalanan kami. Aku bertanya padanya bagaimana dia mengetahui semua cerita itu; dia berkata bahwa Nakba sudah menjadi rahasia umum. Kini aku lebih mengaguminya. Di mataku, dia bukanlah guru sejarah yang membosankan. Dan untuk pertama kalinya kuketahui dia menolak dipromosikan lebih dari posisi guru kelas tiga. Dia percaya pada anak-anak. Dia bilang dia tak bisa meninggalkan harapan di hati kecil mereka yang murni.
“Kita sudah sampai,” katanya. Aku amat terkejut. Apakah itu bisa disebut sebuah “tempat”? Aku terdiam. Bibi Karama tampak menikmati gambaran sisa-sisa rumah yang terbakar itu. Aroma yang menyeruak dari bumi menyelimutiku. Aku tidak bisa mengabaikannya. Keheningan yang muncul selagi Bibi tersenyum mulai mencengkram benakku semakin keras. Aku tak lagi mengetahui di mana aku berpijak. Aku tak di mana-mana. Aku ada di mana-mana. Aku di sini.
Suara lembut Bibi akhirnya muncul hingga membuatmu menyangka tak ada keheningan sebelumnya: “Astaga! Tidak bisakah kau merasakannya? Ayahmu menghabiskan seluruh masa mudanya mengajar anak-anak di sini mengeja Palestina. “P untuk Passion, A untuk Aspiration, L untuk Life, E untuk Existence, S untuk Sanity, T untuk Trust, I untuk You, N untuk Nation, E untuk Exaltation.”
Aku, selama beberapa detik, takut kalau Bibi telah gila. “Anak yang mana, Bibi? Tempat istimewamu tidak lebih dari sebuah gurun,” aku akhirnya berbicara. Dia menahan kemarahan yang sepertinya sangat besar. Dia kembali ke reruntuhan itu. Dia tersenyum. Dia tertawa. Dia menangis. Dia terus menghela napas. “Sekarang, apa hubungannya tempat istimewamu ini dengan Thaer dan Amal?” Aku menyela dirinya yang tengah berulang kali mengela napas.
“Kau tahu, Mariam? Kau gagal memahaminya. Namun, aku selalu percaya hidup memberi kesempatan kedua. Kau hampir tak pernah pantas mendapatkannya, tapi pada titik tertentu kita semua membutuhkannya.” Dia dengan lembut membalas kekasaranku. Dia melanjutkan dengan bertanya kepadaku, “Jika kau berdoa memohon keberanian, apakah Tuhan memberimu keberanian begitu saja, atau kesempatan untuk menjadi berani? Jika kau berdoa memohon kebenaran, apakah Tuhan memberikan kebenaran-Nya begitu saja, atau kesempatan untuk membuka matamu?”
“Hidup butuh kerja keras, itu yang kuyakini,” jawabku singkat.
“Kalau begitu buka matamu, sayang. Lihatlah melampaui rumah yang terbakar ini. kau akan menemukan jawabannya sendiri. Aku percaya padamu. Aku percaya pada siapa pun pernah diceritakan kisah Thaer oleh ayahmu,” katanya, tersenyum mendapati mataku yang berkaca-kaca.
Aku tak bisa melihat apa pun, Baba. Hatiku yang tercabik tak menangkap apa-apa. Aku merasa malu. Kau pantas mendapatkan penerus yang lebih baik.
Aku menundukkan kepala menatap tanah ini. Aku tersenyum. Aku tertawa. Aku menangis. Aku terus menghela napas kala melihat pohon zaitun berdiri gagah di ujung rumah yang terbakar; panti asuhan. Benih Thaer tumbuh besar. Tak ada lagi yang tersisa, tapi pohon itu sudah cukup bagiku, bagi Amal, bagi Thaer, dan bagimu, Baba-ku sayang.
Ketika kegelapan mulai menyelimutiku, aku duduk di tepi jendela dan memandangi seluruh rumah tanpa listrik itu, kuhidu aroma manis malam Gaza yang tenang, kunikmati udara segar yang menyelusup ke benakku, dan seketika aku teringat padamu, pada diriku, pada Palestina, panti asuhan, pohon zaitun, dirimu, Amal, Mama, dirimu, kelas sejarahku, Bibi Karama, dirimu, Tuhan, Palestina, dan juga, pada kisah Thaer.