Seharga Apa Nyawa Manusia?



Hari Berkabung

maut menyelinap di antara reruntuhan,
dan menjanjikan kisah tandus

dalam bahasa jernih puing-puing

di Oslo 1993, sebetulnya kita tak pernah berhasil
mengunjungi masa depan

kemudian, jalur itu, jalur Gaza
banjir darah dan jeritan

agaknya, peperangan setua dunia
puluhan ribu tahun.

dan orang-orang bergelimpang
senantiasa bernyanyi

untuk mencintai hari esok dari paras orang mati

*juga langit, legam itu,
tercipta dari serbuk-serbuk daging terpanggang

yang kini berkirim pesan pendek
pada dunia

seharga apa nyawa manusia?

Yogyakarta, 2023

*Imaji yang digunakan Goenawan Muhammad dalam sajak, “Marcopolo”




Di Gaza, Gaza

di Gaza, Gaza
kami menolak segala macam kesedihan

tetapi terkepung suara aneh
dari maut

yang mengekor pada celah lubang senapan
serdadu-serdadu sebrang

dan gedung-gedung berhambur.
dan orang-orang berhambur.

kami menatap pada luas langit
bercampur bara api itu,

apa yang tak akan pernah dipahami manusia lain

dan mencoba menebak detik berapa nanti,
nyawa terlepas dari tubuh

tujuh anak luka-luka,
ribuan hilang nyawa akhirnya

sungguh, pada arah mana sebetulnya,
dunia bekerja

hingga tanah ini,
hanya jadi semacam film pendek dokumenter?

di Gaza, Gaza
pada agresi mereka-mereka
kami selalu dilarang berbahagia

Yogyakarta, 2023




Kabut Kota

aneh memang, kita berdebat panjang,
di kota ini apa yang sedang menyelimuti

kabut atau asap tubuh kawan sendiri

(dengan perayaan, tentu saja,
kembang api yang dapat meruntuhkan apapun)

kau berucap sengit, kota ini, kota suci
telah tiba puluhan utusan menjaga

dengan bangga menerawang masa silam

tetapi sungguh,
dari upacara massal terakhir hanya ada
sedu tangis yang meletihkan

kau mungkin lupa, kataku setengah tenang,
setiap kota yang tercipta dari ledakan
hanya menghasilkan sejarah kesedihan

(kami diam, ledakan terdengar lagi,
suara rintih orang-orang bersahutan)

tapi kota ini tumbuh dari doa-doa
yang setiap awal tahun masehi tiba

melahirkan benih-benih usia, katamu
tetapi bagiku, kataku, benih usia hanya
mampu kita percaya, bukan itu yang ada

kami seketika diam dan berusaha melepas
puluhan dendam

pada tanah sebrang
pada tanah sebrang

Yogyakarta, 2023




Cerita Kecil

-untuk Mohammed Al-Akhras

pria itu sekali lagi memotong putih kain
dari hembus nafas sendiri. pada selatan,
istri dan anaknya mangkat. di sebuah masa
depan, yang ia pun menolaknya.

2023




Epilog Dunia

dari balik meja kerja,
seorang pengarang mengirimkan
puisi-puisi yang ia percaya
sebagai doa paling murni
manusia

2023

Bagikan:

Penulis →

M. Rifdal Ais Annafis

Pengarsip dan bakul buku di Yayasan Kutub Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Memenangi beberapa sayembara penulisan seperti Payakumbuh Poetry Festival 2021. Tulisannya terpublikasi dipelbagai media seperti: Koran Kompas, Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, Harian Merapi, dan lainnya. Buku sajaknya yang telah terbit, Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Ia pernah aktif di Ponpes Annuqayah Sumenep.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *