Para Buaya dan Kancil

ALIRAN sungai mengalir tenang seperti tidak mencemaskan sesuatu. Bayangan-bayangan pohon memantul dari atas, daun-daun berguguran membuat bayangan itu menjadi samar. Panah cahaya matahari meluas, para buaya berjemur di bawah kehangatan cahaya sambil tertidur.  Seekor buaya mengapung, menggerakkan badannya pada pinggir sungai. Badannya mendesak-desak buaya lain agar bergeser sedikit.

“Siapa mengganggu tidurku?” tanya Buaya Tua mengamati buaya di sampingnya, tatapannya seperti ingin memangsa.

“Bukan saya, buaya di samping saya yang menggeser badan,” Buaya Besar membela diri, melirik sinis buaya yang ada di sampingnya.

Buaya Tua melototi buaya yang berada di sebelah buaya di sampingnya.

“Saya? Bukan kanda, saya disuruh menggeserkan badan oleh buaya di samping saya,” buaya itu tidak berani melihat Buaya Tua.

Buaya Tua lekas menggerakkan keempat kakinya, mendekati buaya yang berada di samping dari samping buaya yang dia kira mengganggunya. “Kamu ya? Yang berani menggangu tidurku?” tanyanya.

“Tentu tidak mungkin. Saya tidak berani mengganggu tidur Buaya Tua yang suci. Saya disuruh geser oleh buaya yang ada di samping saya,” ucap buaya itu melirik buaya di sampingnya. Buaya Tua menatap tajam buaya yang berada di samping buaya itu. Percakapan mereka mulai membuat buaya lain terbangun satu persatu.

“Sudahlah, jangan sampai ada yang berani menggangu tidurku. Kalau ada dan kutemukan, pasti sudah langsung kulahap sampai habis,” seru Buaya Tua. Buaya-buaya lain melirik satu sama lain, lirikannya beruntun hingga tertuju pada buaya yang baru datang ikut berjemur. Buaya Kecil merasakan hal aneh pada lirikan buaya di sampingnya.

“Ada apa?” tanya Buaya Kecil.

“Tidak ada apa-apa,” ucap buaya di sampingnya tak acuh. Kembali memejamkan mata.

Sudah lama Buaya Tua tidak bisa tidur, setiap kali dia memejamkan mata ada saja hal-hal yang membuatnya ketakutan. Kadang dia iri melihat sungai tenang dan suasana yang damai. Baru tadi adalah tidurnya yang paling nyeyak. Mungkin matahari hari ini berbeda, pikirnya.  Setelah kesal dibuat terbangun, dia kembali memejamkan mata. Tiba-tiba dia mendengar sesuatu.

“Buaya oh buaya.”

Suara itu terdengar sangat asing baginya, cara menyampaikan kata yang baru dan terdengar tidak sopan. Siapa yang berani sekali lagi mengganggu tidurnya? Buaya Tua membuka mata, dilihatnya seekor kancil berdiri tegak. Buaya Tua langsung berlari menghampiri kancil itu dengan mulut menganga, bersiap memangsa.

Kancil berlari menjauh, larinya secepat rusa. Buaya Tua berhenti mengejar, napasnya kembang-kempis seperti katak. Kapan terakhir kali aku berlari? tanya Buaya Tua pada dirinya sendiri. Aku lupa kalau aku sudah tua. Buaya Tua kembali pada tempat tadi. Buaya Besar menatap penuh haru.

“Sudah lama saya tidak melihat kanda mengejar mangsa. Padahal tadi saya ingin menangkap kancil itu, tapi ternyata kanda duluan yang menghampirinya,” ucapnya terkagum-kagum.

Buaya Tua melotot. “Bukankah sudah kubilang jangan ganggu aku. Mau kamu kulahap, dengan jenismu sendiri, aku pernah memakan buaya yang lebih besar dibanding kamu!” serunya. Buaya Besar terdiam, badannya sedikit gemetar.

“Buaya oh buaya!” seru Kancil dari jauh, samar-samar para buaya bisa melihat dan mendengar seruannya. Buaya Tua terdiam, dia sudah tak kuat lagi lari, kuku-kuku kakinya terasa ngilu. “Para buaya, tolong jangan makan aku. Aku hanyalah kancil kecil, jika kalian memakanku pasti kalian semua tidak kebagian. Akan ada pesta di bagian sana, nanti aku akan mengajak teman-temanku untuk menemui kalian dan kalian bisa melahap mereka. Oleh kerena itu, bantulah aku untuk menyebrangi sungai ini,” ucap Kancil. Para buaya mendengar suara itu dengan sangat jelas, air liur mereka menetes membayangan hewan-hewan besar yang akan mereka makan.

“Tidak, jangan yang percaya dengan kata-katanya. Aku sudah hidup berpuluhan tahun, kancil hanya memperdayai kita. Aku ingat cerita itu. Kamu akan melewati sungai ini dengan menaiki kami satu persatu sambil berhitung. Hadiah teman-temanmu hanyalah tipu daya, untungnya sekarang kami sudah bisa berhitung sampai seratus, kali ini kami tidak akan mengulang sejarah yang sama,” ucap Buaya Tua tegas.

“Oh ya, saya ingat cerita itu. Tapi mungkin kancil kali ini berkata jujur,” ucap Buaya Kecil.

“Tidak mungkin kancil jujur, aku lebih bangga dengan kita yang semakin cerdas. Lihat, kancil menggunakan pola yang sama seperti cerita lama itu. Itu berarti pikiran kancil tidak berkembang. Pergilah kancil! Carilah jalan lain untuk melewati sungai tenang yang dalam ini, semoga kamu tidak tenggelam. Hahaha!”

Para buaya ikut tertawa, mulut mereka menganga, gigi-gigi tajam mengilap seperti bintang-bintang berkelip di malam hari. Hanya Buaya Kecil yang tidak tertawa, mulutnya tertutup rapat, berpikir tentang cerita lama itu, begitu juga dengan perhitungan. Dia mengingat-ingat  lagi pelajaran berhitung yang diajarkan buaya lain, dia hanya ingat satu, dua, tiga, empat dan seratus.

Buaya Besar di samping Buaya Tua tertawa, namun tawanya sedikit aneh karena tidak seluwes buaya lain, seperti ada sesuatu yang mengganjal mulutnya. Di hatinya yang paling dalam, dia benar-benar tergiur dengan hadiah yang akan diberikan kancil. Dia ingin sekali memakan hewan yang  lebih besar darinya, kancil pasti berteman dengan dengan hewan itu. Dan jika kancil berhasil melewati sungai karenanya, pasti kancil akan membawakan hewan itu padanya.

Kancil berlari menjauh, terlihat semakin kecil, lalu menghilang. Para Buaya masih tertawa, tawa penuh kemenangan. Buaya Tua merasa sangat bangga dengan dirinya sendiri, dia merasa buaya lain juga bangga dengan dirinya.

Panah cahaya matahari meredup, tidak tajam dan tidak menyengat, bayangan pepohonan di permukaan sungai menjadi gelap. Buaya Tua merasa matahari sudah berubah, tidak senyaman matahari saat dia tidur, dia memejamkan matanya, namun dia tak lagi bisa tertidur. Maka dia berjalan menuju sungai, membiarkan air seolah sedang menelan dirinya.

Buaya Kecil berjalan sepanjang pinggir sungai mencari kancil kalau-kalau hendak melewati sungai. Kancil bisa saja meminta pertolongannya. Seekor buaya diam-diam mengikuti Buaya Kecil dari dalam sungai, berenang mengayunkan ekor. Hanya mata berselaputnya yang terlihat, tapi itu dapat terlihat jika mengamati sungai dari dekat.

Buaya Kecil menemukan kancil di antara semak-semak tinggi, berusaha untuk berenang, namun dia sangat ketakutan begitu dirasakannya air begitu dalam seolah hendak menelannya. Buaya Kecil menghampiri kancil.

“Ayo, sini. Kubantu menyebrangi sungai,” ucap Buaya kecil memberi tumpangan. “Naik ke atas punggungku, aku dengar begitu yang ada di cerita tentang buaya dan kancil,” lanjutnya.

“Buaya oh buaya, terima kasih. Kali ini aku akan selalu mengingat jasamu,” ucap kancil sambil menaiki punggung Buaya Kecil. Untung badan kancil tidak terlalu berat,  Buaya Kecil masih dapat menyeimbangkan diri berenang di permukaan. Tiba-tiba Buaya Besar muncul di depan mereka. “Kancil, biarkan aku ikut membantumu,” ucapnya dengan nada tulus. Kancil tersenyum, kedua kaki kirinya berada di punggung Buaya Besar.

Setelah sampai di sisi pinggir sungai yang lain, kancil lekas turun dari punggung kedua buaya itu. “Kapan  hadiah yang kau janjikan akan diberikan?” tanya Buaya Besar.

“Besok pagi, sebelum buaya-buaya lain bangun. Tunggu saja di sini,” bisik kancil kemudian bergegas pergi.

Buaya Besar dan Buaya Kecil kembali berenang dalam kelompok. Buaya Tua mengawasi kedatangan mereka. “Dari mana kalian?” tanyanya.

“Kanda, tenanglah. Kami hanya melihat burung, kami pikir kami bisa memangsa burung, tapi ternyata tidak,” ucap Buaya Besar.

“Apa kalian ini bodoh? Jelas tidak bisa. Burung selalu terbang ketika hendak dimangsa, kecuali kalau sayapnya terluka atau badannya cacat.”

“Nah, tadi kami lihat  burung yang sayapnya terluka. Tapi ternyata burung itu masih bisa terbang,” ucap Buaya Kecil. Buaya Kecil dan Buaya Besar saling melirik satu sama lain, ada sinar seperti bintang jatuh di dalam mata mereka.

“Aku tidak suka buaya yang jauh dari kelompok. Biasanya buaya seperti itu mudah dibodohi,” ucap Buaya Tua  sambil menyelami sungai.

Pagi-pagi sekali, sebelum bintang-bintang akan menghilang, Buaya Besar dan Buaya Kecil sudah berada di tempat perginya kancil. Buaya Besar membayangkan hewan-hewan yang akan masuk dalam mulutnya. Mungkin kelinci, kerbau, jerapah, atau mungkin gajah. Makanan-makanan itu mampu mengenyangkannya selama berhari-hari. Sungguh tak sabar dia menunggu kehadiran kancil. Sedangkan Buaya Kecil tidak memikirkan tentang makanan, dia hanya ingin mengantarkan kancil lagi ke sebrang kalau-kalau kancil membutuhkan bantuannya.

Bintang-bintang mulai menghilang, awan putih mulai berdatangan. Matahari perlahan menampakkan diri. Kancil tidak datang, pikir Buaya Besar. Perlahan-lahan dia menyelam dalam sungai, pergi kembali ke kelompok tanpa diketahui Buaya Kecil.

“Kamu lagi, dari mana kamu?” tanya Buaya Tua ketika melihat Buaya Besar baru berkumpul ikut berjemur di pinggir sungai.

“Maafkan saya, Buaya Tua. Saya ditipu oleh kancil, dia benar-benar licik seperti yang engkau katakan kemarin. Sungguh saya menyesal,” ucap Buaya Besar.

“Aku sudah mencurigaimu dari kemarin.”

Buaya Besar menunggu keberadaan Buaya Kecil di sekitar, namun tak kunjung muncul. Dari kejauhan Buaya Tua masih mengawasinya, sekarang Buaya Besar takut kembali keluar dari kelompok. Dia merasa sangat terancam. Dia membayangkan pasti Buaya Kecil yang memakan hewan-hewan, atau mungkin Buaya Kecil masih menunggu kehadiran hewan licik itu. Mata Buaya Tua yang menusuk, membuat Buaya Besar tak sanggup pergi ke mana-mana.

“Buaya oh buaya!” seru sesuatu jauh di sana. Tanpa waktu yang lama, Buaya Tua dan Buaya Besar tahu itu adalah kancil. Hewan itu mendekat, memperlihatkan keempat kaki runcingnya.

“Pergilah atau aku akan memakanmu. Kami tidak akan tertipu dengan kedatanganmu lagi kali ini,” ucap Buaya Besar.

“Sebelumnya aku pernah ke sini? Aku baru saja akan melewati jalan ini. Mungkin itu adalah kancil lain.”

Mataram, September 2023

Bagikan:

Penulis →

Nuraisah Maulida Adnani 

Lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, baik online mau pun cetak. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *