DI SEBUAH PASAR, di dekat lapak ikan, seorang lelaki tua menjual cerita. Dia tak mematok harga mahal untuk sebuah cerita yang akan diceritakannya. Ember merah kecil di hadapannya boleh diisi uang pecahan berapa pun, sekadar saja. Ember itulah modal satu-satunya lelaki tua itu dalam berjualan cerita, selebihnya hanya kata-kata. Meski pada kenyataannya ember itu lebih sering kosong setiap satu cerita selesai, dia dengan senang hati akan melanjutkan cerita berikutnya.
“Hari ini aku punya cerita baru untuk kalian, mendekatlah.., mendekatlah!”
Beberapa anak-anak kelihatan mendekat. Saban pekan, hanya anak-anaklah pendengar setianya, sebab orang dewasa tak lagi butuh cerita. Harga barang yang terus naik sementara kebutuhan semakin meninggi, sudah jadi cerita tersendiri bagi mereka.
“Ceritanya benar-benar terjadi atau dongeng, Kek?”
“Ini cerita asli, benar-benar nyata pada masa dulu,” ujar lelaki tua itu itu meyakinkan. Kalian nak dengar?”
Gerombolan anak-anak itu mengangguk hampir secara bersamaan. Lelaki tua itu pun mulai bercerita.
“Pada zaman dahulu.., hiduplah seorang lelaki bernama Lurah Mandaki dan Umbut Muda.”
***
Tak ada yang lebih dirisaukan Lurah Mandaki selain belum menikah pada usianya yang telah genap 20 tahun. Di kampungnya, itu pertanda aib yang bukan saja memalukan diri sendiri sehingga dicap tak laku, itu juga bermakna menaburkan abu ke muka keluarga.
Selama ini Lurah Mandaki bukan tak berusaha untuk menikah. Namun tampangnya sangat buruk rupa. Meski sebetulnya, dia terkenal memiliki ketangkasan yang dikagumi orang-orang sampai ke kampung sebelah.
“Penghargaan tinggi seorang lelaki itu salah satunya tergantung karena menikah atau tidaknya dia, Lurah.” Begitu biasanya ibunya yang semakin sepuh mendesaknya. Sejak usia Lurah Mandaki memasuki kepala dua, amak-nya memang orang yang paling khawatir. Maka desakan itu pun semakin menjadi-jadi.
Sementara Lurah Mandaki sudah kehabisan cara, hampir semua perempuan di kampungnya yang sudah layak menikah pernah dikenalkan padanya. Jangankan menerima, mendengar namanya saja sudah membuat para perempuan itu beringsut jauh. Hingga tiba pada titik kebosanan dan kebingungan akut, dia memutuskan pergi mencari jodoh ke negeri luar. Tak tanggung-tanggung, dia mengincar putri cantik di Siak, Umbut Muda. “Aku akan pergi melarung Sungai Jantan. Aku yakin di situlah jodohku berada.”
***
“Mau cari seperti yang mana lagi, Nak?”
Umbut Muda seperti biasa tak menanggapi itu dengan apa-apa. Dia juga tak mampu lagi menghitung entah sudah berapa kali ibunya menanyainya dengan kalimat serupa setiap ada utusan laki-laki yang hendak meminangnya. Umbut Muda lebih memilih membisu, karena memang dia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan itu.
Umbut Muda memang cantik, jadi tak heran banyak laki-laki yang hendak memperistrinya. Bukan main-main, bahkan pernah ada seorang ksatria dari sebuah kerajaan yang menginginkan Umbut Muda untuk jadi simpanannya. Namun dia tetap menolak dengan halus.
Tak pelak, banyak yang menyudutkan Umbut Muda dan menyebutnya sebagai gadis sombong. Padahal, Umbut Muda sendiri merasa belum saatnya saja menikah. Dia tak ingin mendapati lelaki yang salah, lelaki yang hanya tahu selangkangan dan cuma pandai menidurinya di ranjang. Umbut Muda sudah bertekad, hanya akan menikah dengan lelaki yang dipercayainya. Sedangkan selama ini, bagaimana Umbut Muda akan percaya, sebab semua lelaki yang datang meminangnya, selalu melihat dirinya dari tampang.
Karena Umbut Muda seorang yatim, tak heran, emaknya selalu mengutarakan kerisauannya. “Jika nanti rezeki emak di dunia ini tak lagi panjang, emak tidak tega meninggalkanmu sendiri, Nak, jadi menikahlah.”
Jika sudah begitu, Umbut Muda hanya akan menjawab pendek, “Aku akan baik-baik saja, Mak.”
***
Nama Umbut Muda pertama kali didengar oleh Lurah Mandaki saat dia mengawani rombongan awak sampan kajang yang sedang singgah di tepian sungai di kampungnya. Saban pekan, memang ada-ada saja sampan kajang dari kampung seberang yang mengangkut gambir menuju Teratak Buluh: pelabuhan terakhir sebelum barang itu dialirkan ke Selat Malaka. Karena jauhnya perjalanan, mereka memilih beristirahat barang semalam di kampung ini.
Awalnya itu karena keisengan belaka, seorang awak sampan berseru bahwa ada putri cantik yang belum berpunya di sebuah negeri. “Karena di sini kau tak laku-laku, ada baiknya kau mengincar dia, Lurah.” Tentu saja celetukan itu disambut gelak tawa para awak sampan yang lain. Tapi dasar Lurah Mandaki yang tak tahu lagi mana kalimat yang serius, mana yang bercanda, langsung saja membulatkan tekad.
Sejak itu pula, Lurah Mandaki langsung berseru kepada setiap orang yang ditemuinya bahwa sebentar lagi akan segera menjemput jodohnya ke Siak. “Akan kutaklukkan Sungai Jantan, akan kujemput Umbut Muda,” ucapnya berulang-ulang.
Nama Umbut Muda pun serentak jadi buah bibir dan masyhur ke seantero kampung. Setiap orang jadi mencari tahu siapa gerangan perempuan yang diincar Lurah Mandaki itu. Saat cerita itu menyebar dan membentuk satu kesimpulan utuh bahwa dia putri yang sangat cantik, berbondonglah cemoohan merundung hari-hari Lurah Mandaki. “Umbut Muda itu memang cuman dari keluarga biasa. Dia seorang yatim pula setelah dulu ayahnya meninggal dalam Perang Guntung dengan pasukan Belanda, tapi perempuan itu begitu cantik jelita. Mana mungkin lelaki macam Lurah Mandaki akan ditaksirnya.”
Lurah Mandaki tak peduli. Agaknya, orang yang sedang jatuh cinta memang selalu bertingkah sinting. Tak peduli itu menimpa pangeran tampan atau makhluk buruk rupa. Maka, pada hari itu, Lurah Mandaki telah bertekad untuk menumpang sampan kajang hingga Teratak Buluh, guna melanjutkan mengarungi Sungai Jantan.
Lurah Mandaki pun dengan senang hati menjadi anak panca selama perjalanan itu. Sudah jadi kelaziman, siapa pun yang menumpang, akan mendapatkan status semacam itu, yang artinya ia akan bertugas menimba air sampan jika air telah masuk ke lantai sampan, dan memasak bagi para awak sampan sebelum tiba waktu makan. Kasarnya, anak panca itu mau tak mau harus jadi pelayan, karena telah diberi tumpangan gratis.
Tanpa peduli siang atau malam, panas atau hujan, Lurah Mandaki begitu bersemangat. Ketika sampan mereka sampai ke Teratak Buluh, Lurah Mandaki masih kelihatan segar bugar, memang, untuk urusan ketangkasan, dia susah dicari lawannya.
“Kami cuman bisa berdoa untukmu, Lurah. Semoga usahamu menemui hasil.” Para awak sampan membekalinya dengan beberapa makanan dan keperluan yang mungkin dibutuhkan Lurah Mandaki nantinya. Mungkin karena awak sampan merasa kasihan atau bisa jadi semacam imbalan karena Lurah Mandaki begitu rajin selama menjadi anak panca.
“Jangan kalian khawatirkan aku,” jawabnya saat melihat orang-orang yang justru sedih melihat kepergiannya. “Aku akan menaklukkan Sungai Jantan. Aku akan meminang Umbut Muda.” Kepercayaan dirinya masih sama.
“Kau harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, menembus hutan, mengikuti arus Sungai Jantan, lalu mencari letak kampung Umbut Muda. Kau harus menyiapkan tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan saat jadi anak panca.” Itulah pesan terakhir para awak sampan.
Lurah Mandaki menjawabnya dengan anggukan. Tentu itu bukan perkara sulit baginya untuk segara sampai ke Sungai Jantan.
***
Umbut Muda menghadiri pesta seorang saudagar kaya dari kampung sebelah. Ia dan ibunya akan berencana berangkat agak siang, menjelang Zuhur. Meski waktu keberangkatan sekiranya masih cukup jauh, Umbut Muda tetap membereskan segala keperluannya sedari pagi. Ia pilih baju terbaik yang ia punya. Kepada emaknya, ia juga berpetaruh, “Berpakaianlah yang agak patut, Mak, pasti banyak tamu dari jauh yang datang.” Tak ketinggalan, Umbut Muda pun mengeluarkan sedikit perhiasan yang mereka miliki.
Umbut Muda dan emaknya pergi bersampan. Beberapa undangan yang juga menghadiri acara terlihat juga mulai menaiki sampan. Cuaca begitu terik siang itu. Beruntung, tempat orang berhelat berada di hilir, sehingga mereka hanya perlu menyisir tepian sungai yang teduh oleh pepohonan bambu untuk sampai. Tentu beda cerita jika misalnya mereka harus menuju hulu. Tak terbayangkan betapa capeknya terpaksa mendayung sampan ketika hendak tengah hari
Memasuki kampung sebelah, rentetan para undangan terlihat makin banyak. Ada yang baru sampai, ada yang sudah mau pulang. Ada yang muncul dari seberang, ada pula yang menggalah bercucuran peluh.
Umbut Muda dan ibunya yang baru sampai langsung menambatkan sampan pada sebuah akar kayu besar yang menjulur. Ibunya melompat ke daratan, berhasil. Ketika tiba giliran Umbut Muda, sebuah insiden terjadi, tiba-tiba cincin di tangannya yang memang agak longgar terlepas.
“Mak, cincin Umbut terjatuh.” Sontak Umbut Muda panik. Dia tak mampu membayangkan betapa dalamnya Sungai Jantan. Nyaris mustahil menemukan apa yang jatuh di dalamnya. Dia hanya menunjuk-nunjuk tempat di mana cincinnya terjatuh dengan hati yang nelangsa. Hilang sudah warisan ayahnya yang telah tiada. Umbut Muda mulai menangis.
Namun persis pada saat itulah, seseorang menyeburkan diri secepat kilat. Membuat semua orang terpana. Bisik-bisik pun berkeliaran tentang siapa orang yang berbuat. Hitungan detik, sosok itu tak pernah muncul, lebih dua menit, tak ada juga terjadi apa-apa. Beberapa orang, terutama yang tua-tua, mengaitkan sosok itu sebagai makhluk jadi-jadian yang jadi penunggu Sungai Jantan.
Barulah pada menit kelima, sosok itu muncul di tepian. Yang lebih mengejutkan, di tangannya sudah tergenggam cincin emas milik Umbut Muda. “Ini punyamu?”
Umbut Muda yang terpesona seketika merasa ada getaran dalam dadanya yang susah dia terjemahkan. Dia memandangi laki-laki itu sampai hilang dihalang punggung pengunjung lain. Umbut Muda tersenyum, dia merasa seperti baru saja menemukan sesosok pangeran yang diutus langsung oleh Tuhan.
***
Lurah Mandaki memandangi Sungai Jantan dengan tekad yang masih membatu. Malam baru saja jatuh, dan Lurah Mandaki mengabaikan rasa capek yang menderanya untuk beristirahat. Dia terus melangkahkan kaki menembus hutan, mengikuti arus Sungai Jantan agar secepat mungkin memangkas jarak dengan kampung tempat Umbut Muda bermukim.
Rencananya sudah masak, dia hanya akan beristirahat menjelang tengah malam di tempat mana pun tepatnya. Dengan perkiraan semacam itu, Lurah Mandaki yakin akan mampu menembus kampung Umbut Muda keesokan paginya.
Tapi rencana tinggal rencana, ada sesuatu yang tak akan mampu digerakkan manusia, yaitu: takdir. Belum genap hitungan jam Lurah Mandaki memulai, sebuah auman pendek mendadak menghentikan langkahnya. Sepersekian detik kemudian, dua ekor harimau putih langsung hendak menerjang mukanya, jika saja dia tidak memiliki refleks yang cekatan, alamat mukanya pasti telah tercabik-cabik. Belum hilang rasa keterkejutannya, giliran seekor gajah putih yang tiba melambaikan belalainya. Tak cukup sampai di situ, seekor buaya yang juga berwarna putih menganga setelah ke luar dari Sungai Jantan. Lurah Mandaki tak tahu apakah ini makhluk jadi-jadian, atau makhluk penunggu yang lazim ada di setiap sungai dan hutan.
Kini, Lurah Mandaki bersiap dengan kemungkinan terburuk yang bakal diterimanya. Dia sedikit mundur dari tempatnya berdiri. Dia mengambil ancang-ancang, bersiap dengan jurus andalan yang mampu dikuasainya.
Jika harus mati, setidaknya aku bisa sedikit berbangga bahwa mati dalam keadaan mengejar cinta, begitu ucap Lurah Mandaki membesarkan hati.
***
“Kenapa dari tadi kau senyum-senyum sendiri, Nak?”
Umbut Muda tak merasa letih meski sendirian mendayung sampan menuju rumah. Sejak mula kepulangan tadi, dia memang sengaja menyuruh si ibu untuk duduk-duduk saja di sampan. Hatinya kadung berbunga-bunga. Beberapa kali Umbut Muda terlihat salah tingkah saat ibunya kedapatan melihatnya tersenyum tak tentu sebab. Orang yang kasmaran, memang gemar sekali melakukan perbuatan tak masuk akal.
Cinta, dalam banyak kesempatan memang sering kali datang tak tepat waktu. Selama ini telah belasan lelaki yang mengejar cinta Umbut Muda, yang terang-terangan ingin datang merisik ke rumahnya juga tak terhitung jari lagi, tapi cinta belum pernah merasai dadanya. Apalagi, nyaris semua lelaki yang datang itu gagah rupawan, yang memiliki dada bidang dan lengan kokoh yang pastinya siap sedia menampung segala keresahan Umbut Muda. Siapa sangka, saat menemukan lelaki yang menolongnya itu, Umbut Muda mengenal apa itu cinta. Ia baru paham, bahwa perkara cinta urusan yang menyangkut hati, perkara yang lebih sering tak mampu dijelaskan.
“Apa kau memikirkan lelaki tadi?”
Tak ada jawaban, Umbut Muda terlihat gelagapan menyadari ibunya mampu menerka perasaannya. Dia hanya mempercepat kayuhan sampannya.
Sejak hari itu, Umbut Muda menjadi lain. Kebiasaannya sehari-harinya jadi bergeser. Dia kerap merenung saat diajak ibunya mencuci di sungai, sering melamun ketika membantu ibunya memasak. Hingga tiba pada titik kesimpulan, ibunya yang mulai risau mempercayakan kepada beberapa pemuda yang masih kerabat dekatnya untuk mencari tahu siapa gerangan lelaki itu
“Dia hanya pemuda biasa di kampung seberang. Tinggal bersama neneknya sebab kedua orang tuanya telah tiada “ tak menunggu waktu lama, kabar itu sampai kepada si ibu.
“Bisakah kalian menyampaikan perihal Umbut Muda kepada salah satu keluarganya?” pinta si ibu.
“Apa yang harus kami katakan kepada keluarganya?”
“Sampaikan saja, apakah lelaki itu mau memperistri Umbut Muda. Jika bersedia, kirimkan satu utusan dari keluarga mereka untuk datang kemari.”
***
Lurah Mandaki telah banyak terlibat perkelahian sepanjang usianya. Dia pernah ditantang oleh lima orang perampok, mengusir seorang pendekar sok-sokan yang semena-mena menjarah warga di setiap kampung, melawan sepasang babi sebesar anak jawi saat tiba musim perburuan pun pernah, dan dari semua itu, tak ada yang mampu menumbangkannya.
Tapi kali ini dia akan berhadapan dengan sekelompok makhluk yang kelihatannya tak biasa. Dari cara kemunculannya saja sudah beda. Lurah Mandaki menghitung-hitung kemungkinan agar bisa mengalahkan ke semuanya.
Dua harimau jelas memiliki pergerakan paling cepat serta terjangan yang kuat. Gajah bakal susah bergerak tapi jika sampai belalainya melilit badan, alamat remuk pula badan. Buaya pasti lihai menyerang dari bawah karena ia merayap. Dalam kondisi seperti itu Lurah Mandaki mengambil kesimpulan: tak mungkin bertarung dalam jarak dekat. Selain kalah jumlah, semua musuhnya memiliki kemampuan mumpuni untuk menjatuhkannya jika bertarung jarak dekat.
Dia senantiasa menjaga jarak, mencoba menghindar dari serbuan makhluk itu sembari sesekali berusaha mengirim pukulan balasan. Satu tinjunya berhasil masuk ke perut harimau, sebuah tendangan menyusur tanah mampu pula membuat buaya terpelanting, sedangkan gajah memperoleh satu tusukan dari kayu yang digunakan Lurah Mandaki. Namun Lurah Mandaki juga bukan tanpa masalah, berkali-kali cakaran dua harimau yang mengapitnya telah mengoreskan darah segar di pipinya. Sekali libasan ekor buaya juga persis mengenai kakinya, hampir saja dia kehilangan keseimbangan gegara itu. Hanya dari gajah saja Lurah Mandaki tak menerima pukulan atau tendangan. Keikutsertaan gajah dalam pertarungan ini lebih ditujukan untuk pertahanan, saat Lurah Mandaki kelihatan berbahaya menyerang, gajah akan senantiasa jadi tameng bagi kedua harimau dan buaya.
Semua tampak berimbang, berjam-jam setelah pertarungan dimulai. Belum mampu diketahui siapa pemenang dan siapa yang kalah. Baik Lurah Mandaki maupun ketiga jenis makhluk itu sudah mengambil jalan mundur. Dalam pertarungan, itu isyarat agar pertandingan harus disudahi untuk dilanjutkan kapan-kapan.
Tapi malang bagi Lurah Mandaki. Ketiga jenis makhluk itu belum berkehendak untuk beristirahat. Dia diserang setelah menurunkan konsentrasinya. Lurah Mandaki pun tak siap menerima terjangan, cakaran, libasan, dan gigitan pada saat bersamaan. Tak perlu waktu tiga menit sejak penyerbuan berbau curang itu, Lurah Mandaki tak lagi mampu menyelamatkan diri. Dia mati mengenaskan.
***
Pagi itu Umbut Muda mandi di sungai bersama ibunya. Dia begitu riang, sebab setelah sekian tahun, setelah belasan lelaki ditampik dan ditolaknya, akhirnya bulan depan dia akan menikah. Utusan dari keluarga laki-laki yang telah berbilang bulan diimpikannya itu akhirnya datang.
“Jika memang cocok satu sama lain, tentu pinangan resmi dari pihak keluarga akan kami layangkan sekira pekan depan. Tentu perkara baik harus disegerakan.” Umbut Muda kembali tersenyum mengenang saat utusan itu menyambangi rumahnya.
Pengaruh kalimat itu masih dirasakan Umbut Muda sampai pagi ini. Cuaca dingin sehabis hujan menjelang subuh tadi seakan menambah kesejukan pada hati Umbut Muda. Dia tak sabar hari cepat berjalan untuk segera sampai pada hari istimewanya itu.
“Umbut, bersegeralah naik ke tepian, Nak. Sudah hampir setengah jam kamu berendam.”
“Tunggulah barang sekejap lagi, Mak.”
Demi melihat keceriaan Umbut Muda, si ibu pun berlalu terlebih dahulu. Lagi pula, ibunya ikut senang atas keceriaan yang ditampilkan Umbut Muda, dia ingin memberi kesempatan kepada anak itu menikmati kebahagiaannya, sesuatu yang jarang didapat Umbut Muda selama ini.
Namun memang tak ada manusia yang bisa menggerakkan takdir. Keceriaan Umbut Muda menjelma duka dalam hitungan menit. Sungai yang tadinya tenang, tiba-tiba naik dengan cepat. Hujan yang bertandang subuh tadi mungkin jadi penyebab. Baru puluhan depa melangkah dari tepian sungai, si ibu sudah mendengar lolongan. Suara itu timbul tenggelam seperti Umbut Muda yang dipermainkan arus Sungai Jantan.
Maka, tak ada yang lebih memekakkan dan memilukan pagi itu selain suara minta tolong si ibu. Orang-orang berbondong secepat semut mengerubungi gula-gula. Yang pandai berenang langsung terjun ke sungai. Namun semuanya sudah terlambat. Hujan yang kembali turun, seolah turut menyertakan kesedihan atas kematian putri cantik itu malah mempersulit pencarian.
Sore harinya, saat matahari bersinar lemah ditutup awan-awan, barulah beberapa pemuda menemukan mayat Umbut Muda tersangkut pada rumpun bambu. Anehnya, tidak cuma satu, melainkan ada dua mayat yang ditemukan saling berdempetan. Sampai pada waktu yang jauh, tak ada satu pun yang tahu, bahwa itulah mayat Lurah Mandaki.
***
“Lalu, kelanjutannya macam mana, Kek?
“Cuman sampai di situ ceritanya.”
“Ah, mana seru. Ceritanya nanggung.”
“Yang penting itu, amanat dan pesan yang terdapat dalam cerita.”
“Memangnya apa amanatnya?” salah seorang anak bertanya..
“Amanatnya: Bergiat-giatlah mencari jodoh kalau nak kawin. Kapan perlu, kejarlah jodoh sampai ke tanah Siak. Jika pun tidak berjodoh di dunia, maka akan berjodoh di akhirat seperti Lurah Mandaki dan Umbut Muda.”
Meledaklah tawa anak-anak.
“Tapi kata kakek cerita ini asli, kakek dapat cerita ini dari mana?”
“Iya, Kek, apa ceritanya terjadi di kampung kita ini?”
Lelaki tua itu tak lekas menjawab, tak akan. Anak-anak itu tak akan mengerti, bahwa dialah sebetulnya lelaki yang menolong Umbut Muda. Lelaki yang kini mengalami patah hati seumur hidupnya, yang memutuskan berkeliling dari pasar ke pasar, mengisahkan cerita yang sama pada siapa saja yang hendak mendengarnya. (*)
Tanjung, Juli-September 2023