Cuw’ak

SEKUMPULAN burung manyar tampak riang bernyanyi di dahan kelapa yang berayun pelan ditiup angin bersama dinginnya hawa pagi. Kilau cahaya mentari perlahan menyusup menembusi celah-celah daun kelapa yang masih berembun. Di sebuah gubuk kecil berdinding tepas beratap rumbia berukuran tak lebih dari dua puluh meter persegi, seorang laki-laki paruh baya berkulit legam tampak keluar dari pintu depan. Dia mengambil sepeda jenki yang tersandar di dinding gubuk sebelah timur dan lalu mendorongnya ke halaman depan. Diletakkannya kotak kayu warna hitam di sadel belakang dan lalu diikatnya dengan karet dari ban bekas yang juga berwarna hitam.

Seorang anak kecil berusia tiga tahun tampak berlari memeluk kaki laki-laki itu sambil menangis. Dari arah belakang seorang perempuan—juga berkulit legam mencoba merayu gadis kecilnya untuk kembali masuk ke dalam gubuk. “Ayah cari uang dulu!” bisik perempuan itu sambil menggendong gadis kecil yang sedari tadi merajuk. Di ambang pintu—yang juga terbuat dari tepas, lima anak kecil dengan ragam usia—paling tua dua belas tahun—juga berdiri sembari menatap sayu ayah mereka yang mulai mengayuh sepeda jenki menuju mulut lorong yang dipenuhi rumput.

Namanya Ramdas—nama yang sama sekali asing di kampung itu. Sudah dua puluh tahun dia menetap di kampung Matang. Dia datang ke kampung itu bersama istrinya, Deeba. Keduanya keturunan India keling yang lahir dan tumbuh di Madras. Setelah memeluk Islam Ramdas menjadi Anwar dan Deeba menjelma sebagai Fatimah. Namun, nama Anwar segera saja menjadi Nuw`ek setelah dimodifikasi orang-orang kampung. Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu, orang-orang akan dipanggil dengan nama hasil modifikasi; Sulaiman menjadi Leman, Ismail menjadi Ma`e, Abdul Kahar menjadi Dokaha. Begitu seterusnya.

Nuw`ek terus mengayuh sepeda melewati jalan yang baru diaspal sebulan lalu. Dia berhenti di beberapa rumah di kampung itu; mengantar jamu untuk langganannya yang telah menunggu. Keahlian membuat jamu diperoleh dari ibunya yang masih bermukim di Madras. Nuw`ek juga memiliki keahlian meramu obat-obatan tradisional dari rempah-rempah dan beberapa jenis tumbuhan di hutan. Dengan keahlian itulah dia menghidupi istri dan enam anaknya yang masih kecil. Di kampung itu dia tidak memiliki tanah. Sebagai seorang muallaf, kepala kampung mengizinkan Nuw`ek membangun gubuk di tanah wakaf.

Dia terus mengayuh menuju jalan raya dan lalu berbelok ke arah timur, ke arah kota, tempat biasa dia menggelar karpet kecil dan menyusun jamu-jamunya di sana. Kadang-kadang dia harus berbalik pulang ketika tiba-tiba senapan meletus atau ketika pemberontak menyergap tentara di jalanan, atau pada saat saat tentara memasuki kampung dengan muka sangar. Namun, kondisi jalan hari itu terlihat ramai, tidak ada tanda-tanda perang. Langit pun tampak cerah.

Nuw`ek terus berpacu bersama sepeda jengki yang dibelinya setahun lalu. Sesekali dia menyeka keringat yang mengucur deras di keningnya. Hari itu, laki-laki bertubuh gempal tersebut menggunakan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam lengkap dengan sepatu dan kaus kaki. Untuk menyamarkan rambutnya yang keriting dia memakai topi kodok warna abu-abu. Dengan penampilan demikian, Nuw`ek tidak terlihat seperti orang miskin. “Kalau rapi begini, pastinya orang-orang tidak bisa menebak isi dompet kita. Ini strategi,” katanya suatu hari.

Matahari mulai terik. Butuh satu jam lagi untuk sampai ke kota. Nuw`ek terus mengayuh sembari sesekali mengatur napas. Kendaraan yang lalu-lalang terkadang membuatnya harus menyingkir ke bahu jalan. Suara klakson truk-truk besar sering kali membuat ia terkejut dan tak jarang pula sepedanya terempas oleh angin dari mobil yang melintas cepat, seolah jalan itu milik nenek mereka.

“Jamu! Jamu!”

Terdengar seseorang berteriak dari kanan jalan. Nuw`ek menoleh ke arah pos tentara yang di depannya dipenuhi benteng dari karung-karung pasir dan beberapa drum dari plat besi yang tersusun rapi. Pos itu dikelilingi kawat duri yang tampak bergulung-gulung. Sewaktu mengayuh sepeda, dia sengaja tidak melihat ke sana agar mereka tidak lagi memanggilnya. Sudah beberapa kali dia diingatkan utusan pemberontak agar tidak lagi memasuki pos tentara. Namun, dia tidak punya pilihan; mengabaikan panggilan tentara adalah mati. Dia akan terkapar dengan punggung penuh lubang.

Nuw`ek membelokkan setang sepeda dan lalu memasuki bekas gudang perusahaan listrik yang sudah tidak lagi beroperasi itu, tempat paling sangar di masa perang. Ramai orang kampung yang dituduh sebagai pemberontak dikurung di sana, di sebuah gudang pengap tanpa jendela. Di kemudian hari, para tahanan di sana akan keluar dengan dua cara: Sebagai mayat atau sebagai makhluk mengerikan yang penuh luka dan ceceran darah yang hanya mampu bertahan hidup untuk beberapa hari.

“Bagi dulu jamunya!” perintah seorang tentara berkaus loreng dengan suara keras.

Nuw`ek turun dari sepeda dan menuangkan jamu dari jeriken warna putih ke dalam beberapa gelas kecil yang diambilnya dari dalam kotak kayu. Jeriken yang tadinya masih penuh cairan berwarna coklat sekarang isinya tinggal setengah. “Enak jamunya! Terima kasih, ya,” ujar seorang tentara yang sedang mengapit senapan di ketiaknya. Mendengar kata-kata itu, Nuw`ek hanya bisa tersenyum, meskipun terasa berat. Dia tahu, itu adalah aba-aba bahwa dia sudah boleh meninggalkan tempat itu. Setelah mengangguk dua kali, laki-laki berkulit legam itu kembali menaiki sepedanya, melanjutkan perjalanan ke kota.

Dia kembali menginjak pedal dengan sepatunya yang mengilap sembari menarik napas panjang. Setiap memasuki pos tentara atau pos polisi, kesempatannya untuk mendapat uang dari jamu yang dibuatnya dengan susah payah selalu saja pupus; mereka tidak pernah membayar. Di negeri yang sedang dilanda perang, kejadian semacam itu tidaklah aneh. “Anggap saja sebagai jaminan keamanan,” demikian celoteh beberapa tentara ketika pertama sekali dia memasuki pos lima bulan lalu. “Untuk keparat-keparat Tiro itu kamu kasih, masa untuk kami tidak.”

Hari semakin panas, Nuw`ek baru saja tiba di kota. Segera saja dia menuju terminal yang terlihat kumuh bersama puluhan bus, labi-labi dan becak mesin yang mengeluarkan suara nyaring. Dia mengayuh sepeda ke pojok terminal, mencari-cari lapak kosong untuk menggelar karpet. Baru saja dia memarkir sepeda, terdengar suara ledakan dari arah utara. Bom meledak lagi, gumamnya dalam hati. Dia segera mengeluarkan jamu dan obat-obatan tradisional dan lalu duduk bersila menunggu pelanggan yang datang. Dalam hati dia berdoa agar perang tidak meletus di tengah kota.

Dia masih terkenang kejadian setahun lalu ketika pemberontak mengadang truk tentara di jalanan kota. Setelah terdesak, gerombolan pemberontak itu berlarian bersembunyi dalam kerumunan orang-orang. Bala tentara yang menyaksikan teman-temannya bergelimpangan di jalan langsung saja menyerbu kerumunan orang-orang tak berdosa dan lalu memukuli mereka tanpa ampun. Bangunan toko yang berdiri sunyi dan tak tahu-menahu soal perang seketika saja menjadi abu setelah dilalap api yang dinyalakan para serdadu yang diamuk amarah. Kalau sudah begitu, Nuw`ek dan orang-orang di sana hanya bisa pasrah sembari memanggil-manggil nama Tuhan, berharap bisa hidup hingga esok hari.

*

 Kumandang azan Asar di pucuk menara seolah memberi aba-aba kepada Nuw`ek untuk segera berkemas-kemas. Dia memasukkan kembali jamu dan botol-botol berisi obat ke dalam kotak kayu yang dibawanya pagi tadi. Setelah menaiki sepeda, laki-laki berkulit legam dengan topi kodok itu menyusuri pasar untuk membeli telur, beras dan sedikit ikan asin. Digantungnya barang-barang itu di setang sepeda sehingga dia harus berhati-hati saat berbelok agar tidak terjatuh. Namun, suara klakson selalu saja membuat ia terkejut dan lalu terseok-seok di tepi jalan.

Nuw`ek terus mengayuh membawa tubuhnya yang semakin lelah. Kemeja putih yang dikenakannya kian basah dengan keringat. Ingatannya terbang jauh ke masa lalu, ketika dia pertama sekali menapakkan kaki di kampung Matang. Orang-orang di sana menyambutnya dengan ramah. Bahkan untuk beberapa bulan dia tidak perlu bekerja. Orang-orang kampung mengantarkan beras, sayur dan ikan. Namun, seiring waktu berjalan keadaan berubah perlahan. Tidak mungkin selamanya dia bergantung dari belas kasihan orang. Sejak saat itulah dia berpikir untuk berjualan jamu dan membuat obat-obatan.

Roda sepeda itu terus berputar bersama lalu-lalang kendaraan yang kian padat. Satu jam lagi, sebelum senja mengukir senyum di kaki kaki langit, dia sudah harus tiba di rumah. Dalam suasana perang, berjalan dalam kegelapan bukanlah pilihan bijak, sebab peluru-peluru asing bisa menyasar jidat siapa saja.

Sejenak dia terkenang Pak Zakaria, imam kampung Matang yang membimbingnya masuk Islam dua puluh tahun lalu. Orang tua malang itu harus mati di tangan bangsanya sendiri hanya karena menantunya seorang polisi. Perang memang sadis, pikir Nuw`ek sambil terus mengayuh bersama cahaya matahari yang mulai remang.

*

Belum sampai satu jam dia merebahkan diri melepas penat setelah seharian mengayuh sepeda, tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan gubuk. Deeba, perempuan kurus berkulit legam itu menggoyang-goyang bahu suaminya yang masih lelap di dipan kayu. Hatinya gelisah tak menentu. Sekumpulan orang yang berkumpul di depan gubuk membuat anak-anak mereka meringkuk ketakutan. Nuw`ek bangkit dan duduk sembari matanya mengedar kebingungan.

“Ada apa?” tanya laki-laki itu sambil menguap lebar.

Belum lagi pertanyaan itu sempat dijawab, terdengar suara gedoran dari arah pintu. Deeba menatap wajah suaminya dengan raut cemas. “Coba kamu lihat, siapa?” Dengan langkah berat sembari menggendong gadis kecilnya—perlahan Deeba membuka pintu tepas berbingkai kayu itu. Dia terkesiap menyaksikan orang-orang bersenapan berdiri berpencaran di depan gubuk.

“Mana suamimu?” dengus seorang pemuda dengan wajah garang.

“Ada apa, Teungku?” Suara Deeba tampak bergetar.

“Panggil suamimu. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan!” perintah pemuda itu.

Deeba menoleh ke belakang, menatap suaminya yang masih duduk di dipan kayu. Melihat tatapan istrinya, Nuw`ek melangkah ke arah pintu dan lalu memandangi sekumpulan orang yang sama sekali asing di matanya. Tidak ada seorang pun yang dia kenal. Namun, dari cara mereka bicara, dia tahu mereka adalah kelompok pemberontak.

“Keluarlah. Kita bicara di luar!” teriak laki-laki bertubuh tegap yang kedua tangannya memeluk Ak-47. Suasana di luar terlihat sangat gelap. Gadis yang digendong Deeba tiba-tiba saja menangis. Keraaas sekali. Tangisan gadis kecil itu membuat lima anaknya yang lain berlarian ke arah pintu. Mereka berlindung di belakang tubuh Nuw`ek yang masih terlihat bingung.

“Hai asee! Cepat keluar!”

Tangisan anak-anak Nuw`ek kian bergema. Deeba mencoba menenangkan keenam anaknya agar tidak lagi menangis sehingga membuat orang-orang di luar sana semakin marah. Dengan kondisi tubuh yang masih letih, Nuw`ek memilih ke luar menuju pekarangan. Dia berdiri membelakangi pohon kelapa yang di beberapa dahannya tergantung sarang-sarang burung manyar yang bernyanyi riang pagi tadi.

“Sudah lama kami ingatkan kamu jangan lagi jadi cuw’ak, tapi kamu keras kepala!”

“Sumpah saya tidak pernah jadi cuw’ak. Sehari-hari saya hanya berjualan mencari makan untuk anak-anak.”

“Beberapa teman kami ditangkap siang tadi. Siapa juga yang melapor kalau bukan kamu, hah?”

“Saya tidak tahu. Tadi saya berjualan di kota.”

“Alah. Kamu tadi ke pos tentara. Ya, kan?”

Mendengar pertanyaan itu Nuw`ek terlihat semakin bingung. Dia menoleh ke arah gubuk, menatap istri dan anak-anaknya yang berdiri ketakutan di sana. Kenapa di antara mereka tidak ada Teungku Bakri. Nuw`ek membatin dengan mata mengerjap. Andai Teungku Bakri ada di sana, mungkin dia bisa menjelaskan semuanya. Lagi pula dia selalu taat membayar pajak nanggroe kepada Teungku Bakri, sebagai bukti dukungannya kepada perjuangan. Tapi kenapa orang-orang ini yang datang? Orang-orang yang sama sekali tidak aku kenal. Apa mungkin Teungku Bakri sengaja mengutus mereka agar dia tetap menjadi pahlawan?

Pikiran Nuw`ek terus bergelayut. Dia teringat kejadian yang menimpa Pak Zakaria. Saat itu, dia juga dibunuh oleh orang-orang bersenapan yang didatangkan dari wilayah lain sehingga Teungku Bakri bisa berkilah saat orang-orang kampung menudingnya sebagai pembunuh. “Mereka bukan anak buah saya. Saya tidak kenal mereka.” Demikian kata Teungku Bakri saat tokoh-tokoh kampung mendatangi rumahnya.

“Dor! Dor! Dor!”

Letusan senjata yang terdengar tiba-tiba membuat tubuh Nuw`ek tersungkur ke tanah. Punggungnya dipenuhi lubang menganga. Kulit legam yang membalut tubuh membuatnya seolah menyatu dengan kegelapan. Tangisan Deeba dan anak-anaknya semakin kencang. Suara itu terbang dan hinggap di sarang-sarang burung manyar yang bergelantungan di dahan kelapa.

Bireuen, 23 April 2023

Catatan:

Asee (bahasa Aceh): Anjing

Cuw’ak: informan pemerintah (mata-mata)

Pajak Nanggroe: Pajak Negara (pajak yang harus dibayar kepada pemberontak)

Labi-labi: angkutan umum sejenis Sudako

Bagikan:

Penulis →

Tin Miswary

Pemulung buku tua. Berdomisili di Bireuen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *