1. Batu
Eropa mempunyai hutang tak terhingga kepada orang Yahudi, yang bahkan belum mulai dibayar oleh Eropa. Sebagai gantinya, sebuah bangsa yang tidak bersalah dipaksa untuk membayarnya, yaitu Palestina.
Israel dibangun oleh Zionis dari genosida di masa lalu mereka dan kengerian Eropa yang tak terlupakan. Menggunakan penderitaan bangsa lain dan menggunakan batu-batu dari bangsa tersebut. Irgun diberi label sebagai organisasi teroris tidak semata karena mereka meledakkan lingkungan sekitar Inggris, tetapi juga karena mereka menghancurkan desa-desa dan membunuh orang-orang tak bersalah.
Amerika telah menghasilkan miliaran dollar dari semua kejadian ini. Kita harus percaya bahwa negara Israel didirikan di tanah kosong yang menunggu kembalinya bangsa Ibrani kuno selama berabad-abad. Hantu-hantu beberapa bangsa Arab yang berada di sekitar mereka, yang menjaga batu-batu itu secara mendalam, berasal dari luar. Rakyat Palestina yang terbuang dan terlupakan dipanggil untuk mengakui hak Israel untuk eksis, sementara Israel terus menerus menyangkal keberadaan mereka.
Sejak awal, rakyat Palestina telah mengobarkan sendiri perang yang terus berlanjut hingga hari ini untuk membela tanah air mereka, batu-batu mereka, dan cara hidup mereka. Tak seorangpun yang menyebut tentang perang pertama ini, karena perang ini sangat penting untuk membuat orang percaya bahwa Palestina adalah orang Arab dari tempat lain, dan mereka bisa kembali. Siapa yang menguraikan semua orang Yordania ini? Siapa yang angkat bicara jika terdapat hubungan yang kuat antara Palestina dengan tetangga Arab mereka, namun tidak lebih kuat dari hubungan antara dua negara Eropa? Dan apa yang bisa Palestina lupakan tentang apa yang mereka derita di tangan tetangga Arab mereka sendiri, belum lagi oleh Israel? Apa inti dari hutang baru ini? Rakyat Palestina yang terusir dari tanah mereka, telah menetap di tempat dimana mereka bisa setidaknya menjaga tanah air ini dan melestarikan visi mereka terhadapnya sebagai kontak terakhir dengan khayalan tentang keberadaan mereka. Israel takkan pernah bisa mengusir atau menghapus mereka lalu menutupi mereka dengan malam pengabaian.
Desa yang dihancurkan, rumah yang diledakkan, pengusiran, dan pembunuhan, sebuah sejarah kengerian dimulai kembali sekali lagi di punggung orang-orang tak bersalah. Mereka mengatakan bahwa dinas rahasia Israel adalah kebanggaan dunia. Namun, Apakah itu demokrasi jika politiknya tidak dapat dibedakan dari tindakan dinas rahasianya? ”Mereka semua bernama Abu” tegas pejabat Israel setelah pembunuhan Abu Jihad. Apakah ia ingat suar-suar mengerikan yang berkata “Mereka semua bernama Levy…”?
Bagaimana Israel akan berhasil dengan tanah yang dianeksasi, wilayah yang diduduki dengan para pendatang dan pemukiman mereka, juga dengan para rabi yang kehilangan akalnya? Dengan pendudukan tanpa akhir: Hujan batu menerjang mereka dari sisi dalam yang datang dari rakyat Palestina, untuk mengingatkan kita bahwa ada tempat di dunia, tidak peduli seberapa sempitnya, dimana hutang telah dibalik. Batu-batu yang dilemparkan oleh rakyat Palestina yang berasal dari mereka sendiri, batu-batu hidup dari tanah mereka. Sebuah hutang yang tak bisa dibayar dengan satu, dua, tiga, tujuh, bahkan sepuluh pembunuhan per hari, dan tidak pula bisa dibayar dengan perjanjian pihak ketiga. Pihak ketiga pada akhirnya tak bisa ditemukan di manapun, setiap kematian memanggil tiap-tiap yang hidup, dan rakyat Palestina telah menjadi bagian dari jiwa Israel. Rakyat Palestina menggali ke kedalaman jiwa itu dan menyiksanya dengan batu-batu tajam mereka.
2. Keagungan Yasser Arafat
Masalah Palestina pada dasarnya adalah serangkaian ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang ini secara terus-menerus. Ketidakadilan ini tak hanya tindakan kekerasan semata, namun juga ketidaklogisan, penalaran yang salah, jaminan-jaminan palsu yang mengklaim untuk memberikan kompensasi dan membenarkan mereka. Arafat hanya membutuhkan satu kata untuk menggambarkan janji-janji yang dilanggar, kesepakatan yang dilanggar saat terjadinya pembantaian di Sabra dan Shatila: memalukan, memalukan.1
Dikatakan bahwa ini bukanlah genosida. Namun, ini adalah kisah yang terdiri dari banyak Oradours sejak awal.2 Terorisme Zionis tidak semata-mata hanya ditujukan kepada orang Inggris. Namun juga desa-desa Arab yang harus lenyap; Irgun sangat aktif dalam hal ini(Deir Yasin).3 Sejak awal hingga akhir, terorisme Zionis melibatkan tindakan yang seolah-olah rakyat palestina tak hanya tak boleh ada, tetapi juga tak pernah ada.
Para penakluknya adalah mereka yang telah mengalami genosida terbesar dalam sejarah. Genosida ini mengubah Zionis menjadi kejahatan mutlak. Namun transformasi dari korban genosida terbesar dalam sejarah menjadi kejahatan mutlak bukanlah visi historis, melainkan visi religius dan mistik. Itu tidak menghentikan kejahatan; melainkan sebaliknya, menyebarkan kejahatan dan membuatnya jatuh sekali lagi pada orang-orang tak berdosa lainnya, menuntut ganti rugi yang dialami oleh orang Yahudi membuat rakyat Palestina menderita separuh dari apa yang diderita oleh orang Yahudi(pengusiran, pembatasan di ghetto, penghilangan identitas sebagai bangsa). Dengan cara yang lebih “dingin” dari genosida namun dengan hasil akhir yang sama.
Amerika Serikat dan Eropa berhutang ganti rugi kepada orang Yahudi. Dan mereka membuat sebuah bangsa yang dapat dikatakan bahwa mereka polos, tak pernah ikut andil dalam holokaus manapun dan bahkan tak pernah mendengarnya sama sekali, untuk membayar ganti rugi ini. Disinilah keanehan muncul, begitu juga dengan kekerasan. Zionisme, lalu negara Israel menuntut agar rakyat Palestina mengakui haknya (droit). Namun negara Israel tidak pernah berhenti untuk menyangkal keberadaan rakyat Palestina. Mereka tidak pernah berbicara tentang bangsa Palestina, namun sebagai bangsa Arab-Palestina, layaknya mereka menemukannya secara kebetulan atau suatu kesalahan. Selanjutnya, mereka akan bertindak seolah-olah bahwa rakyat Palestina yang diusir berasal dari luar, mereka tak akan pernah berbicara tentang perang perlawanan pertama yang dikobarkan oleh rakyat Palestina sendirian. Karena mereka tidak mengakui hak israel, mereka dianggap sebagai keturunan Hitler. Namun Israel menyimpan hak untuk menyangkal keberadaan mereka dalam kenyataan. Disinilah dimulainya fiksi yang harus meregang lebih jauh dan lebih jauh lagi, dan memberatkan semua orang yang membela kasus Palestina. Taruhan fiksi Israel ini, adalah untuk membuat para penentang kondisi de facto dantindakan negara Zionis sebagai anti-Semit. Operasi ini berasal dari politik dingin Israel terhadap Palestina.
Sejak awal Israel memang tak pernah menyembunyikan tujuannya: untuk mengosongkan wilayah Palestina. Dan bahkan lebih baik lagi, mereka bertindak seolah-olah wilayah palestina itu kosong dan selalu ditujukan untuk Zionis. Ini jelas merupakan masalah kolonialisasi, tetapi bukan dalam arti Eropa abad ke sembilan belas: penduduk setempat tidak dieksploitasi, mereka akan dipaksa pergi. Mereka yang tetap tinggal tidak dijadikan sebagai tenaga kerja dengan wilayah dependensi, melainkan menjadi tenaga kerja yang berpindah-pindah dan terpisah, layaknya mereka adalah imigran yang ditempatkan di ghetto. Sejak awal, tanah dibeli dengan syarat harus kosong dari penghuninya, atau dikosongkan paksa. Ini adalah genosida, dimana pemusnahan fisik tetap bergantung pada penyingkiran secara geografis, yaitu dengan hanya menjadi orang Arab pada umumnya, rakyat Palestina yang selamat harus bergabung dengan orang Arab lainnya. Pemusnahan fisik sudah pasti ada, entah itu diserahkan pada tentara bayaran atau tidak. Namun ini bukan genosida kata mereka, karena ini bukanlah “tujuan akhir”: kenyataannya, ini hanyalah salah satu cara diantara yang lainnya.
Keterlibatan Amerika Serikat dengan Israel tidak semata berasal dari lobi Zionis. Elias Sanbar menunjukkan dengan jelas bagaimana Amerika Serikat menemukan kembali sebuah aspek sejarahnya sendiri di Israel: Pemusnahan orang Indian, yang disana juga terdapat sebagian kecil aspek fisik secara langsung. Semata hanya pengosongan, layaknya tak pernah ada orang Indian kecuali di ghetto yang dibuat untuk mereka sebagai imigran dari dalam. Dalam banyak hal, Palestina adalah Indian baru, orang Indian di Israel. Analisis Marxisme mengungkapkan dua gerakan kapitalisme yang saling melengkapi: terus menerus memaksakan batasan, dimana di dalamnya ia mengembangkan dan mengeksploitasi sistemnya sendiri; dan selalu mendorong batasan ini lebih jauh ke belakang, melampauinya untuk memulai pembentukannya sekali lagi dengan skala yang lebih besar dan intens. Mendorong kembali batasan adalah tindakan kapitalisme Amerika Serikat, Impian Amerika Serikat, yang di kemudian hari diadopsi oleh Israel dan Impian Israel Raya di wilayah Arab, dibalik punggung orang Arab.
Bagaimana rakyat Palestina belajar untuk melawan dan terus melawan; bagaimana sebuah bangsa dengan garis keturunan kuno menjadi bangsa yang mengangkat senjata; bagaimana mereka memberi diri mereka tubuh yang tidak hanya mewakili mereka namun juga menggambarkan mereka, diluar teritori mereka dan tanpa sebuah negara: semua peristiwa ini menuntut karakter sejarah yang besar, yang dari sudut pandang budaya barat seolah-olah muncul keluar dari karya Shakespeare, ialah Arafat. Ini bukanlah hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah (orang Perancis dapat berpikir tentang Perancis Merdeka, kecuali pada fakta bahwa ini mempunyai basis populer yang lebih kecil di awal).4 Dan semua kesempatan dimana solusi atau elemen solusi mungkin terjadi, kesempatan-kesempatan yang dengan sengaja dan secara sadar dihancurkan oleh Israel, juga tidak terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah. Orang Israel mempertahankan posisi religius mereka yang tak hanya menyangkal hak-hak Palestina, tetapi juga fakta Palestina. Mereka membersihkan diri dari terorisme mereka sendiri dengan memperlakukan orang Palestina sebagai teroris dari luar, dan justru karena rakyat Palestina tidak seperti itu, melainkan suatu kelompok rakyat spesifik yang berbeda dari Arab lainnya sama seperti rakyat Eropa yang berbeda satu sama lain, mereka hanya bisa mengharapkan bantuan yang tidak jelas dari negara-negara Arab sendiri, bantuan yang kadang-kadang berubah menjadi permusuhan dan pemusnahan ketika model Palestina menjadi berbahaya bagi mereka. Rakyat Palestina telah melalui semua siklus neraka sejarah: kegagalan solusi stiap kali solusi itu dimungkinkan, pembalikan aliansi terburuk dan mereka yang harus menanggung akibatnya, janji-janji paling khidmat yang tidak ditepati. Dan dari semua ini, perlawanan mereka adalah harus memelihara diri mereka sendiri.
Mungkin salah satu tujuan dari pembantaian Sabra dan Shatila adalah untuk mendiskreditkan Arafat. Ia hanya menyetujui keberangkatan para pejuang, yang kekuatannya tetap utuh, dengan syarat bahwa keamanan keluarga mereka benar-benar dijaga oleh Amerika Serikat dan bahkan oleh Israel. Setelah pembantaian terjadi, ia tak punya kata selain “memalukan”. Jika krisis yang dihasilkan oleh PLO adalah sebuah integrasi ke dalam sebuah negara Arab, atau pembubaran menjadi fundamentalisme muslim dalam jangka menengah atau panjang, maka bisa dipastikan bahwa rakyat Palestina secara efektif telah lenyap. Tetapi hal ini terjadi dalam kondisi dimana dunia, Amerika Serikat, dan bahkan Israel tidak akan menyesali kesempatan-kesempatan yang terlewat, termasuk kesempatan-kesempatan yang masih ada sampai saat ini. Terhadap arogansi Israel “kami bukan bangsa seperti bangsa lain”, rakyat Palestina tidak berhenti menjawab dengan seruan yang ada dalam edisi pertama Revue d’etudes palestiniennes: “kami adalah bangsa yang sama seperti bangsa lain, kami hanya ingin seperti itu…”
Dengan memimpin perang teroris di Lebanon, Israel percaya bahwa mereka dapat menekan PLO dan mencabut dukungan rakyat Palestina yang telah dirampas tanahnya. Dan mungkin itu berhasil, karena di Tripoli yang terkepung, tidak ada yang lain kecuali kehadiran fisik Arafat diantara orang-orangnya sendiri, dalam semacam kesendirian yang agung. Tetapi rakyat Palestina tidak akan kehilangan identitas mereka tanpa menciptakan terorisme ganda, terorisme atas negara dan agama, yang akan mendapatkan keuntungan dari kehilangan mereka dan membuat tidak mungkin adanya penyelesaian secara damai dengan Israel. Dari perang Lebanon, Israel sendiri tidak akan lepas dari hanya terpecahnya moral dan ketidakteraturan ekonomi, tetapi juga akan dihadapkan pada bayangan cermin ketidaktoleransian mereka sendiri. Sebuah solusi politik, sebuah penyelesaian damai, hanya mungkin dicapai dengan independensi PLO yang tidak akan lenyap ke dalam negara yang sudah ada dan tak akan hilang diantara gerakan islam yang beragam. Hilangnya PLO hanya akan menjadi kemenangan bagi kekuatan-kekuatan perang yang membabi buta, yang tidak peduli dengan keberlangsungan hidup rakyat Palestina.
Catatan Penerjemah untuk bahasa Inggris
1 Pembantaian Sabra dan Shatila: Pembantaian rakyat Palestina pada tahun 1982 di kamp pengungsian di Lebanon selatan, dilakukan oleh kaum Falangis Lebanon dan dibantu oleh tentara Israel.
2 Oradour: Desa di Perancis yang dihancurkan oleh pasukan pendudukan Nazi sebagai pembalasan atas aktivitas perlawanan warga setempat tak lama setelah dimulainya invasi Normandia.
3 Irgun: Organisasi sayap-kanan Zionis yang menggunakan taktik teroris pada pasukan Inggris dan lainnya di Palestina pasca-perang.
Catatan Penerjemah untuk bahasa Indonesia
4 Perancis Merdeka adalah sebuah entitas politik yang diklaim sebagai pemerintah perancis yang sah setelah bubarnya Republik Perancis Ketiga.
Keterangan sumber:
”Batu” diterjemahkan dari “Two Regimes of Madness, Revised Edition”(terjemahan bahasa Inggris dikerjakan oleh Ames Hodges dan Mike Taormina dan dipublikasikan oleh penerbit Semiotext(e) pada 28 September 2007, Esai original ditulis oleh Gilles Deleuze dan dipubikasikan di jurnal Al-Karmel, no 29, 1988, pp 27-28. Esai ini ditulis atas permintaan direktur jurnal Al-Karmel sesaat setelah dimulainya Intifada Pertama pada Desember 1987.
”Keagungan Yasser Arafat” diterjemahkan dari “The Grandeur of Yasser Arafat”(terjemahan bahasa Inggris dikerjakan oleh Timothy S. Murphy dan dipublikasikan di jurnal Discourse, Vol. 20, No. 3, Gilles Deleuze: A reason to Believe in this World (Fall 1998), pp. 30-33), esai original ditulis oleh Gilles Deleuze dengan judul “Grandeur de Yasser Arafat” dan dipubikasikan di Revue d’etudes palestiniennes pada tahun 1983.