PENULIS AS Garrison Keillor pernah menyatakan dengan candaan, bahwa jika kehadiran seseorang di gereja bisa membuat Anda menjadi seorang Kristen, maka secara analogi, kehadiran seseorang di garasi bisa membuat Anda menjadi mobil. Metafora ini menyiratkan bahwa menjadi seorang ahli ibadah belum tentu menjamin seseorang sebagai representasi yang sempurna dari pemeluk agama, atau secara otentik menjadikan dirinya dan orang lain menjadi lebih saleh.
Hal ini dikarenakan seringkali agama dijadikan sebagai alat oleh pemeluknya, entah untuk sekadar memperoleh legitimasi atau kepentingan yang bertentangan dengan esensi sebenarnya dari ajaran agama tersebut. Objektifikasi agama bukanlah hal yang hanya dilakukan oleh politisi atau cendekiawan yang ambisius terhadap kekuasaan, melainkan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali.
Ada kutipan terkenal dari guru sufi Jalaluddin Rumi yang menyatakan, “Agamaku adalah hidup dengan cinta.” Rumi juga pernah mengungkapkan bahwa dalam setiap agama terdapat cinta, namun cinta tidak terbatas oleh batasan agama. Oleh karena itu, agama seharusnya menyebarkan kasih dan mengubah pemeluknya menjadi pribadi yang penuh dengan kasih sayang.
Agama sebagai Topeng dan Alat Penyaluran Emosi
Seseorang yang masih terbelenggu oleh luka-luka emosional, namun tidak mengatasinya melainkan malah berpaling ke agama atau tiba-tiba menjadi religius, rentan untuk mengeksploitasi agama. Sebaliknya, agama seharusnya menjadi sarana untuk menyembuhkan luka, namun seringkali agama dijadikan sebagai topeng, pelarian mirip candu, atau alat untuk memenuhi kebutuhan yang mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh individu tersebut.
Seseorang yang dalam hatinya dipenuhi oleh kemarahan terhadap situasi kehidupan (baik itu keluarga, pasangan, situasi sosial, ekonomi, dan lain sebagainya), kemudian mendadak mendekatkan diri kepada agama, tidak menjamin bahwa kedekatannya dengan agama akan menyembuhkan luka emosional yang dia alami. Bahkan, mungkin sebaliknya, individu tersebut dapat menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan atau menyalurkan kemarahan yang sebelumnya tertahan dan membalas dendam.
Dalam tangan individu seperti ini, agama akan tampak sebagai alat yang keras dan penuh dengan hukuman terhadap orang lain, serta kehilangan kemampuan untuk berpikir rasional (karena dalam keadaan marah, seseorang biasanya tidak menggunakan akal sehat). Individu yang memeluk agama dengan cara ini cenderung memilih fatwa-fatwa yang keras dan mungkin memicu konflik (sebagai pengganti dari rasa kemarahan yang dialaminya tetapi tidak pernah mendapat kesempatan untuk diekspresikan).
Jika diberi kesempatan, agama bisa diarahkan untuk menghancurkan segala hal yang tidak disukainya, sebagai bentuk balas dendam atas keadaan sebelumnya. Individu ini mungkin akan menggunakan agama sebagai alat untuk menyebarkan teror.
Namun, apa yang diyakini oleh jiwa yang terluka itu belum tentu merupakan kebenaran esensial, dan penggunaan fatwa yang ekstrem tidak selalu merupakan solusi yang tepat dalam beragama. Agama yang sehat dan berfungsi dengan baik adalah yang moderat dan seimbang, sesuai dengan konsep wasatiyah. Sejauh ini, apa yang sering disebut sebagai “agama” oleh sebagian orang lebih sering merupakan produk dari interpretasi atau persepsi terhadap agama, yang sulit untuk dianggap sebagai kebenaran yang absolut, namun sayangnya seringkali dianggap sebagai kebenaran yang mutlak oleh individu tersebut.
Menggunakan Agama sebagai Penutup dan Kompensasi
Dalam kasus individu yang merasa terbeban oleh dosa-dosa yang membuatnya merasa kotor dan kesedihan yang tak kunjung sembuh, agama sering kali dijadikan sebagai topeng dan penyamaran. Aib yang dimaksud di sini berbeda dengan perasaan malu yang sehat, di mana seseorang merasa malu jika melanggar aturan, mengakui kesalahannya, dan melakukan tobat.
Individu yang merasa terhimpit oleh aibnya sendiri hingga merasa kotor akan melihat dirinya sebagai suatu kesalahan. Contohnya, seperti anak yang dibesarkan dengan cacian, seseorang yang sebelumnya hidup dalam dosa dan tidak memahami agama, atau individu yang hidupnya dipenuhi dengan penderitaan dan penindasan.
Orang-orang ini seringkali merasa tidak berharga, kotor, dan bodoh. Ketika mereka berusaha untuk mencari perlindungan dalam agama, cenderung akan menjadi pengikut tren agama, yaitu beragama dengan menggunakan logika yang sedang populer—yang baru dan berbeda dari yang umum dianggap menarik dan dianggap benar. Karena agama dijadikan sebagai penutup dan kompensasi atas aib mereka, mereka juga cenderung memilih ajaran atau fatwa yang ekstrem, dengan harapan hal tersebut akan lebih cepat dan efektif menghilangkan perasaan bersalah mereka.
Tidak hanya itu, mereka juga cenderung mencari-cari kesalahan pada kelompok lain sebagai bentuk kompensasi atas situasi yang selama ini membuat mereka menyalahkan diri sendiri.
Mengobjektifikasi Agama
Ya, benar. Agama tidak selalu menjadi pedoman menuju Tuhan atau kendali atas hawa nafsu karena para pengikutnya mungkin tidak membuka hati dan pikiran mereka sepenuhnya saat menerima ajaran agama. Mereka yang menutup hati dan pikiran mereka terhadap cinta sebagai esensi dari agama hanya akan menggunakan agama sebagai alat dan justifikasi untuk memenuhi berbagai keinginan yang sudah ada dalam diri mereka.
Siapa pun yang mendadak menjadikan agama sebagai pelarian, belajar atau menjalankan agama karena tekanan (misalnya untuk menjaga reputasi keluarga), mengikuti kegiatan keagamaan karena menjadi tren, atau bergabung dengan kelompok agama karena merasa terhina dan ingin membalas dendam kepada kelompok sebelumnya, dan berdekatan dengan agama karena terpengaruh oleh kepentingan material atau kondisi yang tidak normal lainnya, sebaiknya melakukan introspeksi. Mungkin kita sebenarnya hanya mengobjektifikasi agama, sebagai hasil dari jiwa yang selama ini dijadikan objek oleh pihak lain di luar diri kita.