Sastra Pesantren dan Arah Kesusastraan Indonesia Mendatang*

(Lewat telaah sejarah Sastra Pesantren di Yogyakarta)


Saat Ni Made Purnama Sari membuka acara bertajuk “Sastra Bentara: Menyoal Sastra Pesantren di Yogyakarta” pada Minggu malam 10 September 2023, di Bentara Budaya Yogyakarta itu, sebetulnya ada yang hendak meledak dari ruangan tersebut. Meskipun pada akhirnya, hanya berupa kehendak rasa iba sebab di Yogyakarta sendiri, sebagai basis berkumpulnya kebudayaan tanah air, sastra pesantren nyaris tenggelam. Di luar persoalan tersebut, nampaknya sastra pesantren yang dipahami khalayak terasa cukup problematis.

Kegiatan yang diinisiasi Bentara Budaya Yogyakarta tersebut, adalah rangkaian acara rutinan  Pasar Yakopan, Setu Pon. Acara budaya yang sedianya dilaksanakan setiap bulan sekali. Dan kali ini, Bentara Budaya Yogyakarta mengundang Komunitas Kutub untuk berbincang hangat di Sastra Bentara. Menariknya, kegiatan yang di buka sekitar pukul 18.30 WIB tersebut cukup meriah. Sebab bukan hanya diskusi yang digelar, tetapi juga ada “Open Mic” bagi peserta yang hadir untuk membacakan puisi, serta pameran kerja kreatif dan produk budaya di beberapa sisi ruangan.

Muhammad Ali Fakih, salah seorang penyair yang menjadi narasumber dalam bincang-bincang tentang sastra pesantren tersebut, terasa sangat antusias. Sebab sastra pesantren, baginya, telah mengalami keluwesan makna yang mengaburkan khalayak. Ia dengan bahasa santai dan sederhana, melacak sastra pesantren dari awal mula hadir di Nusantara. Sedangkan saya, hanya melempar dua-tiga kalimat mengenai sastra pesantren di Yogyakarta.

Sastra Pesantren

Wacana pemaknaan sastra pesantren, hangat kembali diperbincangkan oleh beberapa kalangan di Yogyakarta baru-baru ini. Saya sendiri mendengar pemaknaan ini ketika hadir di acara bedah buku puisi Maftuhah Jakfar dengan judul buku, “Surat Jibril” di Sekolah Xebon, Sleman, Yogyakarta pada Kamis 17 Agustus 2023. Acara tersebut dipandu oleh Joni Ariadinata dengan menghadirkan sosok idola saya, Jamal D. Rahman sebagai pembicara.

Di tengah pembahasan mengenai buku puisi Maftuhah Jakfar, dengan penuh harap Jamal D. Rahman menyinggung untuk beberapa tahun mendatang, sastra pesantren akan menguat di belantara sastra Indonesia. Jamal D. Rahman sendiri memberikan pemaknaan bahwa sastra pesantren, adalah sastra yang ditulis oleh orang pesantren meski dengan tema bebas, sastra yang ditulis oleh orang luar pesantren tetapi membahas tentang pesantren, dan sastra yang ditulis oleh orang pesantren yang membahas tentang pesantren. Tetapi upaya tersebut bagi kami, terlalu longgar.

Muhammad Ali Fakih menyebut dalam perbincangan hangat, bahwa sastra pesantren sebetulnya adalah karya sastra yang ditulis baik santri atau bukan, dengan bahasa Indonesia atau bukan, dengan corak yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam sebagaimana yang dianut oleh komunitas pesantren, yaitu Islam tradisi. “Pesantren” yang dirujuk dalam definisi ini adalah pesantren para wali songo yang masih orisinil. Nilai-nilai Islam tradisi yaitu tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), tawasuth (moderat), ta’addul (adil), dan amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak berbuat baik, menjauhi yang buruk).

Dalam pembacaannya, Muhammad Ali Fakih menambahkan, bahwa teks terikat erat baik dengan penulis maupun pembaca karena tujuan akhir dari sastra pesantren adalah terciptanya ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dalam ikatan agama Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan), dan terakhir ukhuwah basyariyah (persaudaraan dalam ikatan kemanusiaan). Dan dari penguraian tersebut, ia menyebut bahwa seharusnya sastra pesantren berdialektika dengan poin-poin tersebut.

Gerakan sastra pesantren sebetulnya, telah hadir sejak tahun 1474, ketika Demak Bintoro–kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh santrinya Sunan Ampel, Raden Patah–membentuk organisasi  Bayangkare Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan) dengan tujuan utama ntuk memperkuat usaha pendidikan, pengajaran, dan penyebaran Islam dengan metode: islamisasi tradisi, dan pribumisasi Islam. Dari langkah yang diinisiasi tersebut, sastra pesantren lahir dan berkembang sebagai salah satu basis untuk mendudukkan ‘sastra’ sebagai salah satu upaya mengenalkan masyarakat tentang nilai-nilai Islam.

Sedangkan di Yogyakarta sendiri, gerakan sastra pesantren tersebut dipelopori oleh aktivis Islam kultural dengan menerbitkan majalah Fadilah dari kelompok penerbit Navila. Ideologi tentang sastra pesantren seperti yang sudah didefinisikan tadi digerakkan, salah-satunya oleh Sholeh UG, KH. M. Munif, KH. Ahmad Toha, KH. Zainal Arifin Toha, Musthafa W. Hasyim dan lain-lain. Selanjutnya, estafet pergerakan sastra pesantren diteruskan oleh LKiS dengan Komunitas Mata Pena dan Jurnal Kinanah.

Dalam upaya pengembangan sastra pesantren tersebut, dikembangkan dengan gaya dan upaya yang menarik oleh beberapa kalangan. Terutama, mereka yang merasa mengemban tanggungjawab terhadap pendudukan sastra sebagai cara menyampaikan nilai-nilai Islam. Katakanlah seperti yang diupayakan Kuntowijoyo dengan judulnya, Makrifat Daun Makrifat (1995). Tetapi meski Kuntowijoyo sendiri tidak memberikan tekanan dan klaim bahwa karya sastranya merupakan kategori sastra pesantren, tetapi bagi saya, karya sastra yang dimuali dari seperti dalam judul, “Sajak-sajak yang dimulai dengan bait Al-Barzanji” mencitrakan Islam seperti pemahaman orang-orang Pesantren.

Sebab berbagai semangat tersebut, saya sepakat tentang yang disampaikan Jamal D. Rahman, bahwa sastra pesantren akan memiliki tempat tersendiri dalam belantara sastra tanah air beberapa tahun kedepan. Saya kira, apa yang diangankan Jamal, tidak terlalu rumit. Atau bisa jadi, ramalan tersebut akan menjadi kenyataan dengan beberapa alasan. Misalnya, dalam ingatan saya, terbentuknya Lesbumi dalam khazanah kelompok sastra tanah air juga atas sebab skema politik yang ketika itu antara masyarakat sastra realism magis serta realism sosialis. Dan Lesbumi hadir, untuk hadir mengetengahi dua paham itu.

Atau dalam ingatan lain, hadirnya sastra pesantren di Yogyakarta oleh gerakan aktivis Islam kultural juga atas sebab maraknya penerbitan bahan literasi yang dipandang terlalu vulgar sehingga nanti akan mencemari kredibelitas pola pikir anak muda seperti Djenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, atau lainnya. Maraknya tulisan-tulisan tersebut dipandang akan merusak citra Islam yang dibangun oleh pendidikan-pendidikan kultural seperti pesantren. Maka demi mengimbangi bacaan tersebut, mereka (baca: aktivis Islam kultural Yogyakarta) menerbitkan novel-novel bergenre teenlit tetapi memiliki semangat Islam menurut pemahaman orang-orang pesantren.

Kendati demikian, sebetulnya apa pemicu bangkitnya kembali sastra pesantren dalam belantara sastra tanah air?

Kebangkitan Sastra Pesantren

Saya menduga banyak hal dari persoalan ini. Sebab sebuah paham akan bangkit jika ada sesuatu yang memantik. Seperti apa yang saya gambarkan tentang lahirnya sastra pesantren di Yogyakarta. Dan untuk Indonesia secara umum, apa yang dapat memantik sastra pesantren hadir dan lahir terlepas dari pendefinisian Jamal D. Rahman yang menyebut bahwa sastra pesantren adalah karya sastra yang ditulis oleh orang pesantren meskipun dengan tema bebas itu?

Saya akan mengajukan dua hal. Pertama, mengenai bangkitnya sastra industrial. Bagi saya, sastra industrial adalah salah satu penyebab mengapa sastra pesantren akan menjadi salah satu sastra yang dapat berbicara banyak. Sebab dalam kaca mata saya, sastra industrial adalah sastra yang lahir atas kegelisahan para pekerja industri yang sudah lelah dan capai terhadap kehidupan yang digelutinya. Mereka sadar atau tidak, akan merindukan kehidupan yang menentramkan. Dan sastra pesantren hadir dan memiliki porsi pada sudut ini. sebab sastra pesantren memiliki muatan amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak berbuat baik, menjauhi yang buruk).

Semisal, apa yang diupayakan Aguk Irawan MN dalam novel biografi KH. Hasyim Asy’ari dan juga telah diadaptasi menjadi film layar lebar. Upaya semacam yang digaungkan oleh Aguk Irawan MN ini turut berpartisipasi aktif dalam menentramkan masyarakat, terutama yang telah membaca sastra industrial, sebab kegelisahan yang telah timbul. Seperti halnya, antitesa dari persoalan yang mengerubungi masyarakat milenial yang notabenenya bersinggungan dengan dunia industri.

Kedua, masyarakat mental health. Persoalan kedua ini lebih sederhana daripada persoalan pertama. Akan tetapi, sebab persoalan kedua ini, sastra tanah air dalam dua tahun terakhir (dan mungkin kedepannya) akan dipandang lebih berguna secara praktis di masyarakat kita. Secara harfiah, apa yang saya sebut masyarakat mental health ini adalah kaum-kaum muda yang merasa memiliki tekanan mental dari berbagai persoalan yang hadir padanya. Dan mereka, memiliki kecenderungan mengkonsumsi buku-buku sastra tentang psikologi.

Tetapi bagi saya, sastra pesantren bisa juga hadir untuk mengisi posisi-posisi mengenai upaya menenangkan jiwa manusia. Karena sastra pesantren, berjalin-erat dengan nilai-nilai Islam tradisi yang disusupkan pada setiap karangannya. Katakanlah nilai-nilai seperti tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), tawasuth (moderat), ta’addul (adil), yang dalam pengaplikasiannya terhadap karangan, mampu memberikan pemahaman terbaik atas jiwa-jiwa yang dilanda persoalan psikis.

Saya mencoba menghadirkan buku puisi Raedu Basha misalnya, dengan judul Hadrah Kiai (2017). Raedu dalam buku tersebut, memberikan penggambaran tentang teladan-teladan dari kiai-kiai Nusantara, baik itu sudah mangkat atau masih hidup. Itu bagi pandangan saya, menjadi obat paling mujarab untuk perbaikan mental masyarakat milenial. Atau beberapa bentuk sastra pesantren lain seperti karangan KH. Mustafa Bisri yang tercermin dalam cerpen-cerpennya.

Upaya semacam ini, akhirnya akan mengkultuskan arah sastra Indonesia kedepan dengan tunggangan sastra pesantren yang syarat akan muatan. Persoalannya, sejauh mana para penggiat dapat membawa sastra pesantren menjadi salah satu aliran sastra tanah air yang cukup pragmatik terhadap masyarakat Indonesia, khususnya, pembaca buku serta dua hal yang saya sebut di awal.

Kegembiraan Lain

Bagi saya, acara yang diadakan oleh Bentara Budaya Yogyakarta tersebut memberikan kegembiraan tersendiri, baik terhadap gerakan sastra pesantren ataupun khalayak luas. Dalam beberapa waktu, nyaris perkembangan kesenian di Yogyakarta bertumpu pada pertunjukan tari, musik, juga tetater.  Dan sastra sendiri, seakan hanya menjadi pelengkap bagi gerak kebudayaan tanah Yogyakarta.

Padahal dalam catatan saya, kesenian yang saya sebut tadi harusnya saling melengkapi dan mendapat sorotan sama dari khalayak, atau bahkan Dinas Kebudayaan setempat. Adanya “Open Mic” pembacaan puisi yang dilaksanakan oleh Bentara Budaya Yogyakarta memberikan harapan tersendiri bagi mekarnya kembali sastra Yogyakarta. Setiak-tidaknya.

Yogyakarta, 14 Sep 2023.




*Materi yang disampaikan Muhammad Ali Fakih dan M. Rifdal Ais Annafis yang telah disarikan serta dibenturkan dengan banyak hal tentang pembacaan sastra pesantren, pada acara “Sastra Bentara: Menyoal Sastra Pesantren di Yogyakarta” pada Minggu malam 10 September 2023, di Bentara Budaya Yogyakarta

Bagikan:

Penulis →

M. Rifdal Ais Annafis

Pengarsip dan bakul buku di TBM Kutub Yogyakarta. Memenangi beberapa sayembara penulisan seperti Payakumbuh Poetry Festival 2021. Tulisannya terpublikasi dipelbagai media seperti: Koran Kompas, Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, Harian Merapi, dan lainnya. Buku sajaknya yang telah terbit, Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Ia pernah aktif di Ponpes Annuqayah Sumenep.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *