MALAM yang panjang tiba-tiba saja tidak segan-segan menurunkan hujan. Setelah hari-hari yang penuh dengan kekeringan dan aspal berdebu, kini langit memperlihatkan kemurahan hatinya. Dalam sekejap, sisi-sisi jalan terlihat air mengalir deras dan masuk ke saluran. Tidak ada lahan yang tidak dibasahi oleh tetes hujan, bahkan loteng-loteng rumah yang jebol pun juga diturunkannya dengan penuh keberkahan kepada keluarga-keluarga kecil yang bersembunyi di sudut-sudut kota.
Pemandangan jalan raya kota tampak berkabut, lampu-lampu jalan kelihatan temaram, cahayanya hanya menerangi satu meter jarak pandang. Padahal baru pekan lalu dinas perhubungan memasang bola lampu yang baru. Suatu jalan raya yang demikian lengang. Tidak ada yang lalu lalang. Pada salah satu bagian di pinggir jalan, yaitu di sebuah halte merah, tokoh kita sedang duduk dan memeluk tubuhnya selepas berlari lintang pukang ketika dia mendengar dari jauh langit bergemuruh dan hujan datang menyerbu bagian-bagian kota satu persatu.
Saat itu dia sedang duduk menghitung uangnya di trotoar. Uang yang didapatnya setelah sedari sore hingga malam tadi dia memainkan gitarnya dan bernyanyi, berkeliling dari satu perempatan ke perempatan yang lain, dari satu kedai kopi ke kedai kopi yang lain, dari satu keramaian ke keramaian yang lain. Dia belum selesai menghitung pendapatannya ketika dia mendengar hujan bakal datang. Lantas dia bingung hendak lari ke mana. Tidak ada toko-toko yang menyediakan atap kecil di mukanya di pinggiran jalan raya itu, ataupun tak ada daun-daun yang cukup banyak pada batang pohon yang bisa dijadikannya tameng, melainkan hanya sebuah halte yang berwarna cukup mencolok yang baru saja dicat ulang sekalian dengan pemasangan lampu-lampu jalan yang baru. Namun saat dia tiba di tempat pemberhentian bus itu, tubuhnya sudah terlanjur basah, sekaligus dengan gitar murahnya.
Dia duduk menaikkan kakinya ke atas bangku panjang yang terbuat dari besi, dan mencoba memeluk serapat mungkin seluruh tubuh yang dapat dijangkau oleh kedua tangannya. Gitarnya dia tidurkan di samping, butiran-butiran air hujan menempel di setiap sisi. Pada senarnya banyak bintik-bintik bening yang menggantung dan jatuh secara bergantian. Tidak terlintas di pikirannya bahwa gitar itu dua hari yang akan datang, senarnya akan berkarat, dan dia akan susah untuk mendapatkan uang ngamen karena suaranya menjadi sumbang.
Segala yang menjadi soalnya sekarang adalah dia betul-betul kedinginan. Jari-jari pada kedua kakinya sudah mengerut, begitupun dengan jari di tangannya. Bibirnya bergemetar, giginya bergemeletuk, seluruh badannya seperti kejang-kejang. Kepalanya terasa sakit, setiap saraf dan urat yang mengalirkan darah-darah terasa menegang dan mencengkeram keras kepalanya. Terlebih yang begitu menyiksa adalah kedua telinganya seperti ada yang tusuk-tusuk dengan jarum. Dan setiap kali angin bertiup, kian keras pula jarum itu masuk ke dalam lubang pendengarannya itu.
Berulang kali dia memejamkan matanya, kemudian membuka lagi, melihat sekitaran, barangkali ada hal yang bisa dipakai untuk membungkus badannya. Namun dia tidak punya pilihan, selain memeriksa sebuah kotak kardus pada sisi paling ujung halte itu. Dia memaksakan tubuhnya untuk melangkah dengan sedikit berhati-hati agar tidak terpeleset. Ketika dia buka bungkusan kardus itu, yang juga telah basah oleh air hujan, di dalamnya hanya ada setumpukan koran-koran bekas, yang bagian atasnya sudah basah secara keseluruhan. Dia menjulurkan tangannya dan menggali ke dalam-dalam, dan untungnya, koran-koran bagian tengah pada tumpukan itu keadaannya jauh lebih kering. Dengan ganas dia membongkar kotak itu hingga koran-koran banyak yang tercecer ke jalan-jalan, dan kemudian koran-koran yang kering itu dipakai untuk menyelimuti badannya.
Tapi dia mengumpat, segera setelah koran-koran itu menyentuh badannya, segera pula kertas koran itu menyerap air pada tubuhnya. Hingga koran itu tak lagi berguna. Dan tokoh kita kembali duduk seperti semula dengan perasaan pedih yang begitu dalam, dengan sakit kepala yang begitu merangsang seluruh kesadarannya, kemudian mengangkat kakinya, dan memeluk seluruh tubuh serapat mungkin yang dapat dijangkau oleh kedua tangannya.
Di dalam hati, dia mengutuk betul, kenapa dia tidak menghitung uangnya ketika dia sudah sampai di tempat peristirahatannya, yaitu pada sebuah kolong jembatan yang air sungainya sudah mengering. Jaraknya setengah kilometer dari halte merah. Namun karena hujan mengguyur sedemikian deras, kelihatannya menjadi sebuah perjalanan yang jauh lebih panjang dari itu.
Malang sekali, perhitungan pendapatannya bahkan belum selesai, namun tubuhnya sudah terlanjur mengigil. Dan keseluruhan yang dia tahu adalah, uang-uang kecil itu sudah basah karena dia tidak sempat menyelamatkannya ke kantung celana pendeknya itu tatkala ia panik dan buru-buru mencari tempat untuk berlindung. Sekarang, entahlah, bisa jadi beberapa di antara uangnya itu sudah sobek akibat kebasahan dan dimasukkan secara paksa dan kasar ke dalam saku.
Untuk mengusir kemalangannya, ia menatap rembesan air hujan dari loteng halte yang hanya dua meter itu tingginya, yang kemudian jatuh ke genangan yang menjadi arus di mana air-air hujan yang lain terhisap menuju saluran. Rambutnya yang basah kuyup sesekali membuat matanya gatal, dia menyapunya sebentar, dengan cepat, lantas kembali memeluk tubuhnya seerat mungkin.
Kemudian dia menengadahkan kepalanya ke atas, di mana ia melihat butiran-butiran hujan jatuh seperti ekor-ekor komet kecil. Dan mempertanyakan, mengapa kehidupannya begitu malang? Padahal selepas maghrib tadi, ia yakin betul, malam ini ia akan mendapatkan penghasilannya yang paling banyak di antara sekian malam menjadi seorang pengamen jalanan. Justru segala kegembiraan itu menjadi lebur sekarang, persis seperti koran-koran basah yang tercecer menjadi bubur.
Bahkan di tengah-tengah kemurungannya itu, ia juga sempat mengutuk hujan. Ia menyalahkan hujan atas kemalangannya. Tapi semua segera ia tarik kembali selepas tiba-tiba saja ia terbayang almarhum ibunya yang mengatakan bahwa hujan itu berkah, dan sungguh Tuhan itu maha pemurah. Sejatinya, tokoh kita itu adalah seorang hamba yang taat kepada Tuhannya. Meski ketaatan itu didapatkannya melalui sebuah pengembaraan tersesat yang panjang. Dan sebuah pengorbanan, yaitu di hari ibunya mati, di situ ia menemukan Tuhan.
Waktu itu, dia masih seorang remaja tanggung, yang kerjaan hariannya adalah semir sepatu. Malamnya ia mabuk-mabukan di pinggir jalan, ataupun di gubuk-gubuk bersama laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya. Tidak jarang pula dia bersentuhan dengan obat-obatan, hingga ia menjadi seorang ahli dalam menggunakan jarum suntik.
Suatu pagi, sebelum dia hendak berkeliling untuk mencari orang yang ingin sepatunya disemir, dia diminta oleh ibunya untuk duduk di pinggir kasur. Di sana, ibunya yang berbaring dengan keadaan lemah dan wajah pucat, memberikan nasihat-nasihat dengan penuh kasih sayang sambil terbatuk-batuk. Bagi tokoh kita, keadaan ibunya yang seperti itu adalah sehat. Dan tidak ada yang salah, karena ibunya sudah demikian sakit lama sekali sehingga sakitnya pun berganti menjadi suatu kenormalan.
Dengan disinari oleh matahari pagi yang tembus melalui lubang-lubang pada seng di langit-langit, sehingga tampak muka pucat ibu yang terbaring menjadi cerah bersinar, dan suaranya yang lemah terbata-bata itu mengeluarkan kalimat, “apapun yang terjadi, Tuhan akan selalu bersamamu. Ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya, dan sepanjang saat, hanya Dia yang bisa menyelamatkan kita.”
Tapi, kalimat itu tidak dihiraukan benar oleh tokoh kita. Sampai menjelang sore, ketika dia baru saja selesai berkeliling menjajakan tenaganya menyemir sepatu, dia melihat rumahnya yang kumuh itu dikelilingi oleh banyak orang. Dan satu kalimat yang keluar dari seorang nenek berbadan ringkih, yang mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal, seketika membuat pandangannya buyar. Lantas saat ia menemukan ibunya yang terbaring kaku, dengan bibir sedikit tersungging ke atas pada kedua sudutnya, dan mata yang sendu itu terpejam, di sanalah ia seperti melihat sosok Tuhan di dalam wajah ibu, yang sore itu terpancar segaris cahaya senja yang menerobos dari kaca jendela lapuk di sampingnya. Dan ingatannya tentang tadi pagi itu, sedemikian menyala-nyala di matanya, hingga tak terasa ia jatuh pingsan di samping tubuh ibunya.
Semenjak itulah ia menjadi seorang hamba yang taat, dan tak henti-hentinya mengingat Tuhan di dalam hatinya. Bahkan dalam kondisinya yang sekarang, dengan suhu tubuhnya yang hampir menyentuh enam derajat, dia berulang kali menyebut kasihnya kepada Tuhan. Berharap-harap Tuhan mengasihinya kembali. Tapi Tuhan tidak begitu saja melepas orang-orang untuk menyembahnya, Dia mencari sosok yang terbaik. Bahkan kalau mungkin, Ia akan memperlakukan hambanya seperti bijih besi yang ditempa berulang kali, supaya mereka jadi tajam dan tangkas. Malam itu, Tuhan menguji kesetiaan tokoh kita.
Menyebut-nyebut kecintaannya kepada Tuhan dan memohon perlindungan dari-Nya, membuat tokoh kita sedikit merasa lebih baik. Hingga sakit kepalanya terasa berkurang, dan telinga yang ditusuk jarum itu seakan memudar. Terpancar sedikit harapan di dalam dadanya, terutama ketika dia mendengar rintikan hujan yang juga seakan mereda. Tetapi, seketika sekilat garis cahaya menyeruak di permukaan langit kelam, dan tak beberapa lama suara gemuruh menyembur, tiba-tiba hujan menjadi semakin deras kembali. Dan tidak dapat disangka oleh tokoh kita, bahwa yang kali itu, dia tidak dapat menahan dirinya untuk mengumpat. Tubuhnya kian menggigil, sakit kepalanya kian terasa mencekik, dan jarum-jarum itu seperti makin banyak yang menusuk telinganya. Sungguh dia sangat ingin memiliki lengan yang sangat panjang, dan akan lebih baik apabila dia memiliki sepasang sayap yang sangat lebar.
Sekarang, tidak ada hal yang lebih menyenangkan ketimbang mengutuk benda-benda yang ada di sekelilingnya. Dia berpikiran, seandainya saja ia memiliki seorang bapak yang bertanggung jawab, tentunya dia tidak jatuh semalang ini. Seandainya bapak tirinya tidak merebut rumah peninggalan ibu, tentu dia memiliki rumah untuk melepas kesedihannya. Seandainya ibunya tidak jatuh sakit dan masih terus menjahit, tentunya dia bisa sekolah. Seandainya ibunya tidak sakit, dan uang yang didapat dari tokoh kita bekerja paruh waktu terhadap apa saja yang bisa dikerjakannya, tentu bisa ditabung untuk biaya sekolah. Malang betul nasibnya. Tapi dia tahu betul, bahwa Tuhan menjadikan hidupnya demikian sebagai cobaan. Tapi rasa dingin yang membuat tubuhnya menjerit kejang-kejang, yang seketika membawa rasa lapar, membuat selimut tebal dan sepiring nasi warung jauh lebih dahsyat nikmatnya ketimbang surga.
Tapi dia tahu betul, Tuhan tidak kemana-mana. Oleh sebab itu ia bertanya, perihal apa segala hal ini terjadi. Kenapa orang yang malang ini tidak sedetik pun diberikan kebahagiaan, dan terus-menerus ditimpa kesulitan hidup. Dan apabila kekayaan juga adalah cobaan, kenapa justru dia diuji untuk menjadi susah?
Kemudian dia melihat koran-koran yang tersisa, yang sudah lengket pada lantai halte merah. Di artikel-artikel yang ada, semuanya memberitakan tentang kehidupan orang susah. Atau kejahatan yang dilakukan orang susah, atau kebiadaban yang dilakukan orang susah. Sejatinya ia tidak perlu melihat jauh-jauh untuk menjumpai penderitaan yang di alami warga-warga kota yang kurang beruntung, ia cukup menyelami jiwanya saja.
Tapi yang membikin sakit hatinya, adalah ketika salah satu koran yang masih tersimpan di dalam kardus, tiba-tiba terloncat ditiup angin dan jatuh pas di bawah kakinya. Yang menjadi artikel utama hari itu, adalah kejahatan yang dilakukan orang beruntung, orang berjas, orang berpendidikan, orang yang punya kursi, orang yang punya suara. Betapa sakit hatinya ketika mengetahui bahwa betapa bejatnya makhluk beruntung yang satu itu. Sehingga terpikir olehnya, bahwa kejahatan itu murni ada di dalam diri, tanpa diganggu oleh kebutuhan rasa lapar, atau sepotong bantal yang empuk. Sedemikian sakit kepalanya itu kian membuat jiwanya menjerit-jerit, jarum-jarum itu kini tak hanya menusuk telinganya, tapi juga seluruh tubuhnya bagaikan jarum suntik yang sering dipakainya dulu.
Tiba-tiba suhu tubuhnya menjadi nol, dan kepalanya seperti ditekan, seperti mengeras, hingga matanya tidak mampu lagi ia buka. Ia juga tidak mampu lagi menggerakkan kedua tangannya, tubuhnya juga seakan membatu. Dia ingin memeluk gitarnya, yang menjadi teman makannya sehari-hari. Gitar itu adalah tuhan yang menolongnya, tapi dia tidak mampu.
Kenyataannya, segala kepedihan hidup seperti terpampang di bayang-bayang hitam kedua matanya. Di hatinya, dia berulang kali mengucapkan bahwa, Tuhan tidak ke mana-mana, lantas tiba-tiba dia bermimpi menjadi seekor kupu-kupu. Terbang di padang rumput yang menumbuhkan bunga-bunga dandelion, yang di tengah-tengahnya, dia dapat melihat aliran sungai jernih hingga sinar matahari yang cerah dapat tembus ke dalam airnya dan memperlihatkan bebatuan yang bersih-bersih, serta ikan-ikan yang berwarna-warni. Kupu-kupu yang terbang bebas, yang tidak perlu diuji kesetiaannya kepada alam-alam. Kupu-kupu yang menyenandungkan nyanyian dengan merdu kepada musim semi yang bersinar cerah. Ia menjadi seekor kupu-kupu yang tak perlu khawatir, cemas, dan risau. Kupu-kupu yang maha bebas.
Ketika esok hari telah tiba, kau akan melihat pagi muncul dengan begitu cerah. Air-air hujan masih tersisa di batang-batang pohon serta daunnya. Juga di bahu-bahu jalan aspal yang mengilap, aliran air deras masih mengalir menuju saluran. Di sana kau akan menemukan seorang lelaki tua pengumpul sampah, sedang berjalan membawa gerobaknya di pinggir jalan raya itu, yang di dalam baknya ada seorang anak perempuan kecil sedang membaca buku.
Dari kejauhan, lelaki tua itu sudah melihat halte merah. Melintas di hadapannya adalah rutinitasnya sebulan ini. Ketika dilihatnya ada seorang anak muda, yang wajahnya membiru, kaki dan tangannya mengeriput juga membiru, kira-kira apa yang akan diucapkan oleh lelaki tua itu kepada anaknya?
“Semoga Tuhan selalu bersama kita.” Ya, itu saja. Tidak lebih, dan tidak kurang.
2023