BABI
Terlihat dua orang dewasa dan dua kakak beradik sedang berkumpul di meja makan. Seperti biasa, keluarga kecil itu akan makan malam bersama sambil saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Ritual harian untuk sekadar berbagi, bukan menghakimi.
Kisah pertama dimulai oleh ayah. Ia bercerita kalau minggu depan kantornya akan mengadakan rapat di Bali. Rencananya, ayah akan membawa serta ibu, kakak dan adik karena kegiatan itu diadakan pada akhir pekan saat sekolah libur. Hal itu disambut gembira oleh semua.
Kisah kedua dilanjutkan oleh kakak. Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu bercerita kalau hari ini di kelasnya ada siswi baru yang menurutnya sangat cantik. Ia mengatakan dengan pipi yang bersemu merah tentang betapa bahagianya ia saat Bu Guru meminta siswi baru itu duduk di sebelahnya.
Sambil mengambil telur mata sapi dan memberikannya kepada kakak, kisah ketiga dilanjutkan oleh ibu. Ia bercerita kalau sore tadi menang arisan, sehingga ia membuat puding cokelat karamel kesukaan mereka semua untuk merayakannya.
Hening. Adik terlihat hanya mengaduk-aduk sup wortel di hadapannya dengan wajah suntuk. Biasanya setelah ibu selesai bercerita, ia tidak sabar melanjutkan gilirannya.
“Adik kenapa?” tanya ibu.
Gadis kecil berusia tujuh tahun dengan rambut lurus berponi itu terlihat masih diam.
“Ada cerita apa di sekolah?” tanya ayah juga.
Adik meletakkan sendok di atas mangkuk, lalu mulai bercerita.
Hari ini adalah hari pembagian kelas bakat di sekolah adik. Semua siswa diminta berkumpul di aula. Mesin yang dipersiapkan untuk kegiatan itu sudah mulai dinyalakan. Alat itu berbentuk pipa, namun berukuran besar. Cara kerjanya sangatlah canggih. Siswa hanya perlu masuk ke dalam alat, lalu sensor yang terpasang pada seluruh bagian akan mendeteksi partikel tubuh yang melewatinya. Sehingga saat siswa keluar melalui ujung terowongan, mereka akan berubah menjadi binatang selama satu jam yang secara otomatis masuk ke dalam ruangan tertentu, serupa dengan bakat yang dimiliki. Didampingi oleh guru kelas masing-masing, satu per satu siswa masuk ke dalam alat itu. Kebetulan adik menjadi siswa terakhir. Di sini-lah hal aneh terjadi.
“Aku tersesat,” kata adik.
Ayah, ibu dan kakak menyimak dengan dahi berkerut.
“Aku berada di hutan sendirian. Aku berteriak meminta pertolongan tapi tidak ada seorang pun di sana. Sampai tiba-tiba aku melihat Ibu Peri turun dari langit. Ia membawaku terbang masuk ke ruang pertama. Di sana ada banyak sekali burung. Mereka bernyanyi dengan indah. Namun saat aku ikut menyanyi, mereka semua marah dan mengejarku. Beruntung Ibu Peri segera membawaku keluar.”
Adik menghentikan ceritanya sejenak. Mengambil gelas berisi jus jambu, meminumnya sedikit lalu kembali melanjutkan cerita. “Ibu Peri membawaku terbang dan masuk ke ruang kedua. Ada banyak sekali binatang di sana. Awalnya aku mengikuti rombongan monyet bergelantungan, sayangnya aku selalu terjatuh. Lalu aku ikut berlari bersama para kuda dan cheetah, ternyata aku selalu ketinggalan. Yang terakhir, Ibu Peri memintaku berenang bersama lumba-lumba, tapi kutolak karena aku tidak mau tubuhku basah.”
Ibu terlihat mengambilkan puding untuk adik.
“Ibu Peri kemudian membawaku ke ruang yang terakhir. Aku senang berada di ruang itu. Ada banyak sekali kucing, anjing dan kelinci. Ada seseorang yang membubuhkan make-up di wajahku, memakaikan gaun yang indah, serta sepatu hak tinggi untukku. Aku terlihat sangat cantik. Tapi Ibu Peri jahat!” Tiba-tiba adik menggebrak meja dan memasang wajah sangat marah. Semua dibuat terkejut.
“Sebelum aku tampil bersama dengan yang lain, Ibu Peri malah langsung membawaku keluar dari ruang itu. Lalu menyerahkanku kepada petugas, agar aku dilakukan tes ulang karena menurutnya tidak ada satu pun ruangan yang cocok untukku,” lanjut adik.
“Memangnya kamu berubah menjadi apa, sih?” tanya kakak.
“Babi,” jawab adik polos.
Seketika tawa kakak pecah. Air putih yang sedang diminum ayah pun muncrat karena ikut tertawa. Wajah ibu memerah berusaha menahan diri.
“Kalian jahat!” teriak adik. Seketika tangisnya meledak.
Ibu menghampiri adik untuk menggendongnya, lalu memberikan isyarat kepada kakak dan ayah agar berhenti tertawa.
Ayah bangkit menghampiri adik untuk meminta maaf sembari mengelus rambut panjangnya.
Sedangkan kakak lari ke dalam kamar dan kembali dengan menenteng boneka babi bertaring panjang miliknya yang berukuran sangat besar. Ia kemudian menunjukkannya kepada adik sambil berkata, “Besok kita bawa ini ke sekolahmu. Ibu Peri harus tahu kalau babi juga mempunyai kekuatan super.”
Ayah dan ibu mengangguk semangat tanda setuju.
Adik memperhatikan boneka yang hampir menutupi tubuh kakaknya itu, kemudian memandang bergantian ke arah ayah, ibu dan kakak. Ia tersenyum mengiyakan. Tangisnya pun akhirnya berhenti.***
Ruang Kaca
Nara tampak mematut diri di depan cermin. Hari ini ia memakai gaun putih selutut tanpa lengan. Rambut hitam bergelombang sepinggangnya sengaja dibiarkan tergerai. Hanya bedak tipis dan sedikit pemerah bibir yang menghiasi wajahnya. Ia melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah pukul empat sore, ia sudah tidak sabar berjumpa dengan Nael, cinta pertamanya. Namun sebelum meninggalkan rumah, ia masih sempat mengirim pesan suara kepada Iqbal, pacarnya, bahwa ia akan pulang terlambat, lalu berjanji akan memberi kabar lagi nanti.
***
Aku memasukkan beberapa lembar pakaian ke ransel. Pekerjaanku selesai sesuai rencana, dan menurut kesepakatan sebelumnya dengan bosku, aku diperbolehkan mengambil cuti selama tiga hari. Tiket kereta eksekutif Mutiara Selatan rute Bandung-Yogyakarta dengan jadwal keberangkatan pukul setengah sembilan malam sudah kukantongi. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Nara, pacarku, setelah hampir dua bulan kami hanya bisa melepas rindu di ruang kaca. Ruang bersekat tipis yang menjadi saksi tebalnya jarak di antara kami.
Selama di kereta aku tidak bisa tidur, jadi aku menghabiskan waktu dengan bermain game. Kalau sudah bosan, aku akan membuka aplikasi whatsapp dan mendengarkan ulang beberapa pesan audio yang sempat Nara kirimkan. Jadwal pekerjaanku memang tidak selalu sejalan dengan kesibukan kuliahnya. Terkadang aku baru pulang kantor pukul sebelas malam, lalu kembali bekerja keesokan paginya. Jangankan untuk menelepon atau video call, sekadar mengirim chat pun tidak selalu bisa. Sejauh yang paling efektif memang hanya pesan audio. Aku bahkan sudah candu dengan suaranya. Nara memang kekanakan, tapi aku suka. Pernah suatu ketika ia hanya mengirim suaranya saat menyanyikan lagu Ruang Rindu milik Letto, atau bercerita panjang lebar saat bertengkar dengan adiknya. Entahlah, aku selalu punya cara untuk terus mengaguminya. Seperti saat ini, aku tidak bisa berpaling dari foto profilnya. Nara memakai kaus lengan panjang berwarna biru sambil menggendong kucing abu miliknya yang diberi nama Pando. Rambut panjang bergelombangnya tertiup angin sehingga sedikit menutupi matanya. Lesung pipit di pipi kirinya tersembul saat ia tersenyum lebar, memperlihatkan juga gigi gingsul yang menambah kesan manis di wajahnya. Aku benar-benar terpesona.
Sesampainya di Stasiun Tugu, Erwan, adikku, sudah menunggu di atas sepeda motor RX King kebanggaannya. Ia sengaja parkir di seberang stasiun. Semalaman tidak tidur membuat mataku terasa berat, jadi aku memutuskan untuk beristirahat dulu di rumah, lalu menemui Nara pada malam harinya.
***
Mobil Honda Brio berwarna merah berhenti tepat di depan rumah Nara.
“Hari ini aku sangat bahagia,” ucap Nara semringah sambil menatap Nael.
“Aku juga,” balas Nael singkat. Ia meraih tangan Nara, lalu diletakkan di paha kirinya. “Maaf dulu aku kurang peka, sekarang aku terlambat sehingga kini kamu sudah menjadi milik orang lain. Tetapi kalau kamu mau, aku tidak keberatan menjalin hubungan seperti ini,” lanjutnya.
Nara tersipu. Nael, cinta pertamanya menyatakan cinta. Ia seperti bermimpi. Pernyataan yang dulu sangat ia idam-idamkan, jauh sebelum bertemu Iqbal, sekarang terlontar dari mulut Nael sendiri. “Ya,” balasnya kemudian.
Nael sempat mengecup kening Nara sebelum akhirnya mereka berpisah.
Nara bergegas memasuki halaman rumah. Ia terkejut saat melihat Iqbal duduk di teras menunggunya. Selama beberapa saat Nara terlihat salah tingkah, namun kemudian meneriakkan nama Iqbal dan menghambur di pelukannya. “Aku merindukanmu,” kata Nara sambil mengeratkan pelukan.
Sementara, pikir Iqbal dirinya akan gembira mendengar langsung suara Nara, melihat lagi wajah manisnya, dan merasakan kembali pelukannya. Namun sejak mobil merah itu berlalu, semua perasaannya terhadap Nara lenyap. Hilang tak bersisa. Bahkan tiba-tiba ia ingin segera balik ke Bandung.***