Akar Kehidupan Petani

Dirampas Penguasa

Di ladang yang subur, hak petani terkoyak,
Dirampas oleh penguasa, tanpa belas kasihan.
Mereka yang tanam, mereka yang rawat,
Diperlakukan seperti bayangan yang terusir.

Bumi menjadi saksi bisu, diperjualbelikan,
Hak petani, dipermainkan oleh tangan penguasa.
Ladang yang subur menjadi lahan rebutan,
Petani terdiam, dihempas oleh ketidakadilan.

Pada tanah yang subur, hak mereka terpendam,
Petani menjadi pelaku tanpa suara, tanpa panggung.
Penguasa bermain dengan undang-undang dan aturan,
Merampas hak petani, seolah-olah bukan manusia.

Dalam peluh dan kerja keras, mereka bertani,
Namun hak mereka diinjak, diinjak oleh kekuatan.
Mencoba mencatat luka-luka hati,
Hak petani yang dicuri, oleh penguasa yang haus kekuasaan.

Hak petani, bukan sekadar kata,
Tapi sebuah panggilan keadilan yang terus berkobar.
Di balik rumput yang hijau dan padi yang berkibar,
Hak petani adalah akar kehidupan yang tak tergantikan.

Mari bersama, bersuara bagi hak petani,
Menegakkan keadilan di ladang yang subur.
Untuk hak petani yang terus berjuang,
Agar bumi tetap menjadi milik bersama, tanpa perpecahan.




Rakus, Ambil Paksa

Di desa yang damai, rakyat hidup tenteram,
Namun, bayang-bayang kelam mengintai di seberang rimba.
Perusahaan rakus, datang tanpa permisi,
Mengambil paksa lahan warga, tanpa rasa malu.

Ladang-ladang yang subur, dikuasai oleh tangan tak bersahabat,
Pertanian yang subur, direnggut oleh langkah serakah.
Desa yang ramai dengan tawa dan senyum,
Kini terombang-ambing oleh getirnya takdir yang tak adil.

Rakyat kecil, berdiri di bawah langit yang muram,
Menghadapi badai perusahaan yang menjarah.
Rumah-rumah mereka menjadi bangunan bisnis,
Lahan tempat mereka bermain, kini dikuasai oleh mesin penghancur.

Perjuangan rakyat yang terpinggirkan,
Dikubur dalam lapisan beton dan logam.
Ini adalah teriakan hati yang tak terdengar,
Rakyat kecil yang teraniaya, diambil paksa tanpa rasa kemanusiaan.

Namun, dalam bayang-bayang ketidakadilan,
Harapan tetap bersemi di dalam hati.
Menjadi panggilan untuk keadilan,
Melawan ambil paksa lahan, mempertahankan hak yang tak terpisahkan.




Merajalela Mengukir Luka

Di istana kekuasaan, duduk penguasa gelap,
Melahirkan kejahatan, di balik tirai kekuasaan.
Rakyat menjadi saksi, teriakan hati yang tenggelam,
Kejahatan penguasa, merajalela tanpa ampun.

Dalam senyum palsu dan kata-kata manis,
Penguasa menciptakan intrik dan tipu daya.
Ladang kebohongan terus tumbuh subur,
Kejahatan penguasa, meracuni akal sehat.

Uang menjadi tombak, korupsi menjadi pedang,
Penguasa menjalankan kejahatannya tanpa ragu.
Rakyat menjadi korban, dihisap darahnya,
Kejahatan penguasa, mengukir luka dalam sejarah.

Dalam ruang rapat yang tertutup rapat,
Keputusan diambil tanpa melibatkan rakyat.
Penguasa menjelma menjadi diktator modern,
Kejahatan penguasa, merampas suara yang merdeka.

Namun, dalam kegelapan, ada sinar kebenaran,
Ini adalah teriakan hati yang menentang.
Rakyat bersatu, menolak kejahatan penguasa,
Menyongsong masa depan yang terbebas dari belenggu.

Kejahatan penguasa, akan terungkap suatu hari,
Di hadapan kebenaran, takkan ada yang tersembunyi.
Menjadi seruan perlawanan,
Melawan kejahatan penguasa, menuju keadilan yang hakiki.




Menolak Kematian Perlahan

Di lautan biru yang dalam, raksasa diam terbaring,
Namun, bahaya plastik menyusup, tak terlihat oleh mata.
Sampah plastik, iblis yang merayap tak terlihat,
Mengintai lautan, mengancam kehidupan yang tak bersalah.

Begitu indahnya laut, dihiasi warna-warni karang,
Namun, sampah plastik menjadi kematian perlahan.
Ikan-ikan kecil menari di antara ribuan partikel,
Plastik, pembunuh yang tak terhindarkan.

Sampah plastik, tak hanya lautan yang merintih,
Di darat, di udara, bahayanya merajalela.
Pohon-pohon menangis di bawah karat plastik,
Tak bersuara, namun keluhan terasa sampai ke akar.

Dalam angin, serpihan plastik terbang bebas,
Menjadi racun yang mengancam udara yang kita hirup.
Sampah plastik, seperti bayangan menakutkan,
Menghantuinya, menebar ketakutan dan bencana.

Ini adalah seruan perubahan,
Melawan bahaya sampah plastik yang mengancam.
Bersama, kita membebaskan lautan dan daratan,
Dari belenggu plastik yang merusak kehidupan.




Kembalikan Sukacita Mereka

Di pagi yang cerah, di atas perahu kecil,
Nelayan melaut, mencari rezeki yang hilang.
Wajah mereka dipenuhi kelelahan dan kerinduan,
Sukacita nelayan, terombang-ambing di tengah ombak.

Dulu, laut memberikan kehidupan yang berlimpah,
Ikan-ikan melimpah, memenuhi jala nelayan.
Namun, kini, tangisan laut terbawa angin,
Sukacita nelayan, hilang terbawa arus yang tak terduga.

Ombak yang dulu menjadi teman setia,
Kini menjadi musuh yang ganas dan liar.
Nelayan melihat laut dengan tatapan getir,
Sukacita nelayan, seperti hilang ditelan gelombang.

Pada malam yang sunyi, mereka berdoa,
Memohon kembalikan sukacita yang telah pergi.
Agar laut kembali menyapa dengan tawa,
Sukacita nelayan, menjadi lagu bahagia yang terdengar.

Ini menjadi doa dan panggilan,
Kembalikan sukacita nelayan yang t’lah hilang.
Libatkan kita semua, menjaga laut yang indah,
Agar nelayan bisa kembali tersenyum, merayakan kehidupan yang berlimpah.

Bagikan:

Penulis →

Grace Son Nassa

Seorang penulis yang suka berbagi ilmu positif pada generasi muda ataupun lintas generasi melalui berbagai jenis tulisan. Memiliki minat yang kuat pada masalah ekologis dan keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *