TOK TOK TOK!
Pintu kayu milik bangunan petak 3×3 meter itu diketuk. Seorang laki-laki dengan dandanan setengah perempuan mengintip sedikit dari bilik jendela, memastikan tamu yang mengetuk pintu bukan orang berbahaya. Setelah melihat bahwa Roslam yang mengetuk, baru Pai membukanya lebar.
“Oh kau ternyata, masuklah!” Pai dengan gaya centilnya mempersilahkan lelaki dewasa itu masuk ke dalam kamar kosnya.
Dengan segera Roslam menaruh tas miliknya di atas ranjang, lantas mengganti pakaian santai yang dikenakan. Atasan merah menyala dan rok hitam selutut di ambil dari lemari milik Pai, tak lupa stoking jaring warna gelap serta hak tinggi hitam legam menjadi pelindung kakinya.
Tinggal memasangkan rambut palsu kecokelatan, lengkap sudah riasan Lara, nama samaran Roslam untuk melindungi identitas diri. Kalau sudah menjadi Lara, otomatis cara bicara dan tingkah lakunya diubah sedikit feminin.
“Pai, aku akan lembur hari ini. Jadi kau bisa pulang dahulu.” Ucap Roslam ketika mereka akan keluar kamar.
“Oke, kalau itu maumu. Semangat!” Balas Pai energik.
Mereka berdua akhirnya keluar kos dan berjalan menuju pengkolan angkutan umum. Pai dan Roslam sengaja memilih mengamen di tempat lumayan jauh dari kediaman mereka supaya para tetangga tidak mengetahui pekerjaan mereka sebagai penghibur jalanan dengan penampilan seperti perempuan.
Roslam berjalan ke lampu merah kemudian bernyanyi sambil menggerakkan tubuh lebih lihai dari biduan dangdut panggung, dia juga kerap memperlihatkan aksi lucunya dengan bernyanyi sambil salto atau menggoda manja para pengendara yang lewat. Tak jarang orang memberi uang atau malah mengusirnya.
Sudah genap tiga bulan Roslam mengadu nasib di jalanan bersama Pai, kadang juga ada teman lain bergabung. Dari jalan ke jalan mereka berusaha menghibur orang yang lalu berlalu lalang dengan harapan mendapat uang. Hari ini Roslam akan mengambil lembur, kebutuhan akan sekolah anaknya kian meninggi. Apalagi sang anak berkeinginan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.
“Dasar banci. Pergi sana!” Respon yang sudah biasa Roslam dan Pai terima ketika mendekati salah seorang pengendara di lampu merah. Mereka tetap tegar dan sedikit memberi jarak pada pengemudi yang berkata kasar.
“Ih Banci hihi.” Seorang anak lelaki kecil iseng mencubit pantatnnya, kemudian berlari sambil tertawa terbahak-bahak. Seolah perbuatan tadi hal lucu sedunia. Padahal tidak sopan!
“Aw, sakit tahu.”Roslam mengerang manja, menutupi rasa kesalnya.
“Hai banci main sini yuk.” Seorang pria berbadan besar dengan tampang lusuh menggoda Roslam, dengan keterlaluan dia merangkul bahu, niatnya terlihat jelas ingin merampok uang di tas bahu milik Roslam.
“Lepas. Tolong. Tolong!!!” Roslam memberontak meminta tolong kala preman lusuh tadi sudah mulai menggapit leher dan akan mengeluarkan benda tajam.
Percuma dia berteriak sekuat tenaga, tak akan ada yang mau menolong seorang lelaki separuh perempuan. Bagi masyarakat hal itu pantas didapatkannya. Tak ada cara selain berbalik melawan. Tendangan dan pukulan langsung Roslam layangkan dengan bertubi-tubi guna menyelamatkan diri.
Saat sang preman lengah barulah Roslam memanfaatkannya untuk berlari sejauh mungkin. Keadaan pria yang dihajarnya cukup memilukan, bagian wajahnya lebam, tangan dan kakinya juga tertanda banyak memar.
“Awas kau! Banci sialan.” Desis sang preman penuh amarah.
Sudah biasa dirinya diperlakukan kurang etis oleh beberapa oknum ketika berdandan menjadi Lara. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa pun kerap berbuat jahil. Bagi Roslam yang terpenting ialah keluarganya.
Di tempat lain putra Roslam juga diam-diam bekerja paruh waktu dengan harapan meringankan beban ayahnya. Sanu tahu jika kegiatan kerja secara diam-diam ini pasti mendatangkan murka dari sang ayah, namun dia tetap nekat melakukannya.
“Titip izin ya, Ren,” Pinta Sanu pada Reno.
“Kau kerja lagi, San? Bagaimana jika ayahmu tahu. Bisa saja aku yang kena marah,” Reno mencerca Sanu ketika dia membereskan barang-barangnya.
“Tenang saja, ayahku nanti lembur. Dia tidak akan tahu kecuali kau memberitahunya,” jawab Sanu santai dan menggendong tas ranselnya.
“Aku pergi dulu ya.” Pamit Sanu sembari berjalan keluar kelas.
Terhitung sudah tiga minggu Sanu sering melewatkan kelas bimbingan belajar untuk tes ke perguruan tinggi. Setiap satu minggu ada dua kelas pendalaman yang harus diikuti, Sanu hanya hadir sekali seminggu. Baginya dia masih bisa mengejar ketinggalan materi dengan belajar sendiri.
Langkah Sanu terhenti di sebuah tempat makan ‘Warung Ayam Goreng’. Sengaja Sanu memilih tempat bekerja lumayan jauh dari rumah supaya ayahnya tak dapat melacak. Sekarang jam pulang kerja otomatis warung akan ramai oleh pengunjung. Sang pemilik gerai mulai kewalahan melayani pelanggan yang terus berdatangan.
“Sanu! Akhirnya kau datang juga.” Semringah sang pemilik warung kala melihat Sanu menghampirinya.
“Ada yang harus diantar tidak, Kak?” Tanya Sanu begitu sudah selesai mengganti seragam sekolahnya menjadi setelan kaus polos dan celana santai.
“Untuk yang pesan online nanti saja, sekarang kau antarkan itu ke meja nomor tiga,” titah Kak Jo, sang pemilik warung.
Di sisi lain hari makin petang, Roslam sedang istirahat sejenak sembari meluruskan otot kakinya yang pegal sebab mengenakan sepatu hak tinggi seharian. Perutnya juga ikut keroncongan minta diisi.
Dengan langkah lunglai dia berjalan menuju rumah makan terdekat dari tempatnya duduk barusan. Beberapa pasang mata menatapnya sinis bahkan ada yang terang-terangan menghina keberadaannya. Roslam sudah biasa, dia tidak peduli.
“Mas saya pesan ayam dan nasi satu,” pinta Roslam kala sudah sampai di sebuah rumah makan.
Sambil menunggu pesanannya datang, dirinya memilih tempat duduk di teras kemudian menambahkan polesan bedak pada wajah, serta mempertebal gincu supaya riasannya tak luntur. Setelahnya dia memperbaiki riasan di bagian mata.
“Ini pesanannya,” Sanu mengantarkan pesanannya.
Baru saja Roslam menutup tempat bedaknya, matanya bertemu dengan manik hitam kesayangannya. Tatapan hangat yang biasa dia temui saat pulang ke rumah berubah menjadi kilat kecewa saat menatapnya. Sanu melihatnya ketika Roslam menjadi Lara.
Sanu masih membeku dengan kehadiran sosok yang teramat dikenalnya berdandan layaknya perempuan. Figur ayah yang selama ini dia kagumi sudah tidak keren lagi di matanya. Dadanya begitu sakit sampai bulir matanya ikut turun.
Sama halnya dengan Sanu, Roslam lebih terkejut lagi kalau anaknya bekerja di warung. Rasa marah yang ingin ia tunjukkan harus dikurung dalam-dalam. Tidak mungkin Roslam akan memarahi anaknya tatkala menjadi Lara, bisa-bisa Sanu malu dan membencinya. Bersikap pura-pura tidak kenal ialah pilihan terbaik.
“Sanu, tolong antar ini.” Sampai suara dari dalam warung memanggilnya, meskipun kakinya masih lemas dia tetap memaksa untuk berjalan. Memendam perasaan kecewa terhadap ayahnya.
…
“Makanya kalau dimintai uang itu nurut. Nggak usah belagu! ” Kakinya ditendang kasar, kemudian mereka pergi.
Dengan kaki tertatih dan sisa tenaga yang dimiliki, Roslam berusaha menyempurnakan keseimbangan tubuh. Mengambil rambut palsu yang terlepas, menenteng sepatu hak tinggi di tangan. Merapikan beberapa kosmetik tercecer di jalanan. Kondisi wajah dan tubuhnya sudah babak belur, habis dikeroyok kawanan preman yang tak terima salah seorang kawannya ia buat terkulai lemas tempo lalu.
Dengan kondisi memprihatinkan, Roslam sudah tak peduli pada baju perempuan yang masih ia kenakan. Daun pintu rumah tetap dia dorong, terlihat Sanu tertidur di sofa dengan banyak buku berserakan di sekitarnya.
“Sanu, bangun, Nak. Pindahlah ke kamar.” Dengan lembut Roslam membangunkan buah hatinya dan merapikan buku berserakan di meja.
Sanu masih enggan bersuara meskipun melihat ayahnya pulang dengan kondisi buruk. Di sisi lain hati Sanu terasa sakit dan ingin mengobatinya, namun rasa marah masih mengusai. Dia juga takut terkena marah lantaran diam-diam bekerja untuk meringankan beban sang ayah dan dia masih belum siap mendengar alasan ayahnya berpenampilan seperti perempuan.
“Ayah melakukan ini sudah lama, kalau kau tidak ingin mengakui ayahmu tak apa, itu pilihanmu. Maaf ayah membuatmu kecewa.” Suara Roslam terdengar sendu, dia tak akan menahan diri lagi untuk menyelesaikan masalah dengan anaknya.
“Ayah sudah tiga bulan melakukan ini. Ayah tidak melarangmu bekerja, ayah akan selalu mendukung keputusanmu.” Setelahnya Roslam meninggalkan ruang tamu.
Hati Sanu terenyuh, mau seperti apa pun keadaan ayahnya. Tak mengubah kenyataan bahwa pria itu tetap orang tuanya. Dia juga pernah mengecewakan sang ayah, namun tidak pernah sekalipun dia tidak diakui sebagai anaknya.
“Ayah. Kau hebat.” Sanu beranjak dari sofa, mengejar langkah ayahnya.
Roslam diam membeku, benarkah tadi anaknya yang bicara? Atau hanya bayangannya saja.
“Maafkan aku juga, Ayah.” Itu benar suara Sanu.
Tanpa pikir panjang Roslam berbalik dan mendekap erat putra semata wayangnya. Tak terasa bulir bening air mata mereka sudah membasahi wajah. Mereka sudah berbaikan kembali setelah dua hari saling menghindar. Luka di tubuh Roslam seolah pulih tatkala merasakan pelukan hangat dari putranya
“Mauku obati?” Tawar Sanu setelahnya.
“Tidak perlu, kau adalah obat ayah.”