HIDUPKU teramat tenang dan bahagia sebelum kerak kapur itu datang menyerang. Awalnya, Bapak mengeluh nyeri pada perut bagian bawahnya. Lalu saat buang air kecil, rasa nyeri itu semakin tak terkira. Karena tak punya cukup uang, akhirnya penyakit susah kencing yang dialami Bapak hanya diobati dengan obat seadanya dari mantri desa. Pun tak lupa perut Bapak diseka dengan air hangat yang ditaruh Ibu dalam botol bekas sirup lebaran bertahun-tahun lalu yang Ibu anggap sebagai barang berharga. Karena tak mendapat penanganan yang layak, akhirnya beberapa bulan kemudian Bapak tutup usia.
Selidik punya selidik, Bapak mengidap penyakit kencing batu. Penyakit itu merembet menjadi gagal ginjal. Kami gagal mengobatinya karena keterbatasan dana. Kata anak Pak Rahman, kemungkinan penyakit itu disebabkan oleh kerak kapur dari air sumur kami. Pak Rahman meninggal beberapa tahun lalu dengan kondisi persis seperti Bapak. Menurutnya, kerak-kerak itu menggumpal dan menjadi satu membentuk batu kristal yang akhirnya menyumbat saluran kencing. Lagi-lagi, kami tidak tahu pasti karena kami belum pernah memeriksakan Bapak ke rumah sakit. Tapi yang pasti, selepas kepergian Bapak, kami pusing.
Lantas dengan uang kami yang semakin terbatas, kami harus membeli air murni yang tidak mengandung kerak kapur. Ibu menangis karena kami harus membayar air yang semula gratis. Namun semua itu harus kami lakukan demi keselamatan keluarga, demi keberlangsungan hidup yang tenang dan bahagia. Akan tetapi ketenangan dan kebahagiaan itu seperti tak ingin berlama-lama. Air yang berbayar itu ternyata juga tak mampu menyelamatkan Ibu. Pun Ibu menderita penyakit kencing batu yang menjelma gagal ginjal, sama seperti Bapak. Dan semua sudah terlambat. Nyawa Ibu tak luput oleh kerak kapur yang telah membatu.
“Aku benci kerak.” Aku mengucapkan kalimat itu di atas pusara Ibu. Saat itu aku masih berusia dua puluh dan bingung harus bagaimana melanjutkan hidup tanpa kedua orang tuaku.
***
Hidupku teramat tenang dan bahagia sebelum kerak-kerak itu datang menjelma. Saat itu aku berusia dua puluh enam. Aku mempunyai seorang suami dan anak lelaki yang begitu berharga. Kupastikan mereka makan makanan sehat, tidur di kamar yang nyaman, dan tentunya minum dari air galon bermerek yang terjamin kemurniannya.
Saat itu tabungan kami sudah cukup untuk membuat rumah baru. Kami sangat tenang dan bahagia berada di rumah yang kami impikan sedari dulu. Namun seperti yang sudah-sudah, ketenangan dan kebahagiaan itu seperti tak betah berlama-lama. Ia ingin segera pergi, tepat pada waktu kerak-kerak mengampiri rumah baru kami.
Kerak kapur itu sangat ganas melahap perabotan kami. Baru beberapa bulan saja, keramik kamar mandi kami semua berlapis kerak dan bodohnya aku terlambat menyadarinya. Aku menggosoknya dengan cairan pembersih rupa-rupa. Tapi hanya sedikit kerak yang berhasil terkelupas. Mereka masih merajai dinding dan sudut-sudut keramik kamar mandi.
Kerak-kerak itu juga hinggap di peralatan dapurku. Piring, gelas, sendok, penggorengan, panci, tak ada yang selamat. Tak ada satupun peralatanku yang masih mengilat kecuali perabotan-perabotan baru yang belum pernah terkena sapuan air kapur itu. Sebenarnya, suamiku tak apa. Namun ibu mertuaku yang tak baik-baik saja saat berkunjung ke rumah.
“Cuci piring dan gelas saja tak becus!” begitulah kata-kata yang sepertinya ingin beliau lontarkan. Aku memang hanya menebak. Tapi tatapan matanya saat memandang piring dan gelas yang ada di dapur sepertinya memang sama dengan yang aku pikirkan. Hal itu terbukti pada kunjungan berikutnya, beliau membawa selusin barang pecah belah.
“Ini, gelas dan piring khusus untuk menjamu tamu.” Ucap ibu mertua. Itu berarti jangan sekali-kali kami menggunakannya untuk makan atau minum sehari-hari. Karena semakin sering perabotan itu terkena air kapur di rumah kami, perabotan itu tak akan terselamatkan. Endapan-endapan kerak berwarna putih akan menjelma menutupi tiap lapisannya.
“Pakailah filter!” ujar seorang temanku saat sedang berkunjung. Ia menghampiriku yang sedang jongkok di sudut kamar mandi. Kedatangannya yang mendadak membuatku melarangnya masuk ke kamar mandi sebelum aku selesai membersihkannya.
Saran dari temanku untuk memakai filter atau penyaring air memang masuk akal. Jadi filter itu akan dipasang di tandon sehingga air yang mengalir melalui keran-keran sudah bersih tanpa kerak. Aku menyodorkan saran itu kepada suamiku dan ia bergegas mencari tahu. Harganya bisa dibilang mahal, bisa pula dibilang murah. Namun bagi kami yang tabungannya sudah habis terkuras untuk membangun rumah, tentu kami butuh waktu berbulan-bulan untuk mendapatkannya.
***
Hidupku teramat tenang dan bahagia sebelum kerak-kerak itu menjelma bak hantu. Ia tak terlihat, namun tiba-tiba saja bermukim di hati dan pikiranku. Saat itu aku berusia tiga lima. Kerak-kerak itu seperti tak mau pergi walau sudah kuusir dengan penyaring air maupun dengan cairan rupa-rupa. Namun ini bukan tentang kerak yang kubicarakan sebelumnya.
Mungkin aku memang tak pandai merawat diri. Badanku melebar, wajahku kusam, tumitku pecah-pecah, dan rambutku bak benang kusut yang sulit terurai karena sisir yang jarang mampir di kepala. Dengan keadaanku yang seperti itu aku malah sibuk bergunjing dengan tetangga, membicarakan satu dan lainnya.
Aku menuduh A selingkuh dengan teman kantornya. Aku mengamini bahwa B menelantarkan anaknya. Bahkan aku membuat berita bahwa C punya hutang dimana-mana. Aku tak memedulikan suami dan anakku. Aku tak ingin bersolek di depan suamiku karena aku tak menganggap penting hal itu. Toh kami sudah lama menikah dan hubungan kami masih baik-baik saja. Anakkupun sudah besar. Ia tak perlu kuurusi karena sudah bisa melakukan semuanya sendiri.
Suamiku jelas melarangku untuk tak sering-sering keluar rumah dan bicara yang tidak perlu. Namun aku beralasan, hanya inilah hiburan murah untuk ibu-ibu sepertiku. Lagipula aku sudah memasak, mencuci dan menyapu. Sejak saat itu, suamiku jadi sering telat pulang dari kantor. Aku tak menaruh curiga karena ia berkata kerjaan di kantor memang sedang banyak-banyaknya. Akupun semakin gencar berbincang dengan tetangga. Semakin sering aku keluar rumah, semakin banyak berita yang kudapat.
Enam bulan kemudian, berita buruk datang. Suamiku ketahuan selingkuh dengan teman kantornya, makanya dia kerap pulang terlambat. Ia juga punya hutang dimana-mana akibat membelikan selingkuhannya benda rupa-rupa yang mahal harganya. Anakku yang jarang kuurusi prestasinya melorot tajam karena dia hanya bermain game semalaman, padahal kukira sedang sibuk belajar.
Semua tuduhan yang kulontarkan kepada A, B dan C ternyata berbalik pada diriku sendiri. Semua bersatu menyerangku seperti kerak yang menyumbat saluran kencing Bapak dan Ibu. Seperti kerak yang menempel di perabotan maupun keramik kamar mandiku.
Aku tak menyangka kerak-kerak yang semula berada di keramik kamar mandi dan peralatan dapurku itu bisa menelusup ke dalam hati dan pikiranku. Membuat pikiranku tak pernah jernih. Membuat hatiku selalu keruh dalam menilai sesuatu.
“Masih bisakah kita bersama? Setidaknya, demi anak kita.” Aku berlutut di hadapan suamiku. Setelah melalui perdebatan yang panjang, ia memutuskan untuk berpisah denganku. Aku tahu dia yang berselingkuh, namun setidaknya aku tahu diri, mungkin itu semua akibat aku sering mengabaikannya.
“Aku belum tahu pasti.” Ia menghela napas berat. Hanya itu yang ia ucapkan, lantas beranjak pergi.
Selepas suamiku pergi entah kemana, aku berkucur di bawah keran kamar mandi. Kulihat cairan rupa-rupa yang tergeletak begitu saja di salah satu sudut. Aku putus asa melihat kerak yang masih saja menempel di dinding walau sudah kubersihkan dengan cairan rupa-rupa. Aku mengambil salah satu cairan itu. Lantas terbayang jika aku menelannya, apakah kerak yang menempel di hatiku akan mudah terkelupas?
—- selesai —-