Di Jalan Koningsplein Veld

SUDAH tiga hari, bulan Ramadan tiba di Jakarta. Lantunan doa-doa, arak-arakan kaki menuju shalat tarawih, dan kemeriahan petasan yang tiba-tiba saja menghantarkan teriakan. Ramadan merubah suasana Jakarta. Mungkin suasana seperti ini sampai seluruh Indonesia.

Negara ini belum genap tiga tahun. Ia baru saja usai belajar berjalan. Namun, sebagai sebuah negara yang berlebih memiliki perbekalan. Ia tampak seperti daging yang perlu dicoba, lalu mengundang untuk dikunyah bersama-sama.

Istriku mengetuk-ngetuk ruang kerjaku, “Mas, bangun sudah waktunya sahur.” Ketukan itu mengetuk hingga terdengar ke hatiku. Seorang wanita yang sudah ku bawa dua puluh tahun. Cantiknya permanen. Sering kali, di sudut bibirnya saat tersenyum, aku sering menggantungkan rindu. Aku terbangun masih di atas meja kerjaku. Lampu petromaks mengurai-urai kegelapan ruangan. Kertasnya bercerai berantakan.

Waktu beriringan maju. Anak-anak masih bertamasya dengan mimpi-mimpinya. Saat sahur tadi pun, mereka masih sulit menyuap kantuknya.

“Mas, kalau sudah selesai pekerjaan langsung pulang. Inget tanggal 21.”

Aku tersenyum, mengangguk setuju.

Matahari masih megap-megap naik. Ia tampak berarak dengan sinarnya. Keberangkatanku lebih banyak dihiasi gelap yang menuju pagi. Sekitar jam lima dini hari.

Jakarta begitu ramai hari ini. Pesawat-pesawat lalu-lalang. Seingatku, peperangan sudah sangat sedikit ada di Jakarta. Walau di luar sana daerah-daerah lain masih berperang. Di Jakarta sendiri, aku yakin Ibukota tidak ada.

Mobil terus berjalan menuju jalan Koningsplein Veld. Jalan yang dibangun pada era Gubernur Marsekal Daendels. Istana Soekarno dan Hatta, tidak jauh dari tempatku bekerja. Jalan lengang, sepi. Hanya ada aku sendirian. Aneh.

Saat melihat-lihat sekitar, suara ledakan terdengar, lolongan tembakan. Ia melambai-lambai mengarahkanku untuk berhenti. TNI menyetop kendaraan.

“Selamat Pagi, Pak. Jalan ini tidak bisa dilalui… Belanda menyerang.”

“Tapi saya harus bertemu seseorang di sana, Pak.” Aku menunjuk gedung yang sudah dekat beberapa meter dari sini.

“Tetap tidak bisa, Pak. Ini serangan dadakan.”

“Sebentar saja, Pak.”

“Tidak bisa, Pak.”

Mobil lainnya datang, TNI kembali memberhentikannya. Format pertanyaannya sama. Aku melihat ke kanan dan ke kiri melihat situasi. TNI seluruhnya lenggang melihatku. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kendaraanku melesat menuju gedung itu.

Aku berlari menuju pintu utama gedung tersebut, memastikan arca-arca masih ada pada tempatnya. Orang sering menyebut tempat kerjaku adalah Museum Gajah. Cukup butuh beberapa detik untuk sampai ke pintu utama. Terlihat. Di sana, ia tampak masih tertutup rapat.

“Belanda, oh Belanda. Tidak lelah-lelahnya ingin menjajah.” Dengan segera aku membuka pintu itu. Aku berlarian ke seluruh ruangan. Memastikan hiasan tetap aman dan terlindungi. Menutup rapat-rapat pintu yang masih terbuka.

Tembakan terdengar semakin mendekat. Arahnya dari Bandara Kemayoran. Perasaanku, Belanda sedang mengincar tempat-tempat strategis untuk dikuasai. Apakah tempat ini akan dikuasainya? Bandara Kemayoran tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin setelah mereka berhasil merebut. Akan ke sini dengan segera.

Suara kucing terdengar. Nah, itu yang sedang kucari. Kucing untuk anakku. Ia di sana. Aku buru-buru ke luar. Mengunci seluruh pintu. Suara tembak menembak terdengar di depan sana. Betul. Mereka juga mengincar Museum gajah. Mataku jelalatan melihat sekitar. Dalam penglihatanku saat ini, diriku aman.

Tunggang langgang aku berlari membawa kucing masuk ke dalam mobil. Dengan cepat kilat aku nyalakan dan menuju ke luar. Sial, beberapa tentara Belanda melihat mobil ini. Yang berisi seorang totok pribumi, dengan kulit kecoklat-coklatan. Mereka menembaki dengan hasrat membunuh. Aku berkelok-kelok menghindar. Walaupun di mobil ini selalu ada pistol untuk berjaga-jaga. Namun tetap saja, salah satu diantara mereka bisa lebih dahulu mengirimku ke surga.

Aku bisa ke luar. tidak jauh dari tempat itu, ada TNI bersenjata lengkap sedang bersiap-siap. Ia memberhentikan.

“Pak, tolong langsung pulang ke rumah. Kunci semua pintu. Belanda kembali. Amankan semua keluarga Bapak.” Ia lalu membiarkanku lewat.

Mobil ini terus menuju rumah. berbagai macam jalan aku lewati, yang pasti menuju rumah dengan cepat.

Sampailah aku di rumah. Pintu dengan sigap ku ketuk-ketuk, “Mah… Kamu di dalam? Dek, lagi apa?” hordeng terurai. Mata mengintip dari bilik. Istriku.

“Masuk, Mas. Radio tadi pagi menyiarkan. Jakarta telah diincar oleh Belanda. Ia mulai merangsek masuk kembali. Bandara Kemayoran berhasil mereka ambil, Ibukota lumpuh, sedang dipindahkan sementara ke Yogyakarta.” Istriku berbicara tergopoh-gopoh, sambil memegangi kedua pergelanganku. Kucing langsung aku berikan kepadanya.

“Aku akan kunci semua pintu. Mah, anak-anak kamu terus awasi. Jangan sampai ke mana-mana.” Aku ke luar dengan hati-hati. Rumah ini tidak terlalu jauh dari pertempuran Belanda dan TNI tadi. Secepatnya aku harus bersiap dengan apa yang terjadi.

Aku ke luar lagi dari rumah itu menuju markas BPRI. Di sana sudah ada beberapa temanku.

“Mo, datang juga sampeyan. Sudah ditunggu-tunggu sama yang lain. Kalau tidak ada sampeyan, kita tidak akan mulai maju.” Ia lugas menyampaikan, sambil mengusap-usap persenjataan.

“Semuanya, mari ke sini.” Aku mengumpulkan mereka ke dalam. Kami berdiskusi soal strategi. Aku minta informasi terbaru apa yang terjadi. Sekitar ada lima orang yang berkumpul dalam ruangan ini. Mereka adalah orang-orang yang menjadi bawahanku. Dan membantu setiap perjuangan Indonesia.

“Setelah pencarian informasi kami, Pak. Belanda memulai penyerangan di Bandara Kemayoran. Saat ini, sudah menguasai beberapa titik terdekat. Termasuk tempat Bapak bekerja.”

Aku menggebrak meja. Benar saja. Untung aku segera ke luar dari sana. Mereka lihai melihatku langsung, “Maaf, lanjutkan.”

“Belanda kemarin mengatakan sudah tidak terikat pada perjanjian Linggarjati. Belanda tahu, bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Islam. Ia menganggap, saat kita berpuasa. Kita dengan mudah dikalahkan. Mereka memanfaatkan situasi tersebut.”

Aku mengangguk memahami. laporan-laporan lainnya terus disampaikan secara bergiliran. Aku menyusun laporan-laporan itu menjadi sebuah strategi. Aku sampaikan kepada mereka.

Strategi itu membuat mereka yakin. Lalu aku sampaikan kembali bahwa, “Puasa, tidak menghalangi seseorang untuk berjuang. Karena itu sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah.”

Kami membagi menjadi lima regu. Setiap regu terdiri sepuluh orang. Kami berpencar sesuai target dan tujuan yang aku sampaikan. dua regu kuarahkan untuk pertahanan bergerak dengan menyerang secara tiba-tiba, dua lainnya gangguan dan pengacauan.

Sembilan orang yang ikut denganku. Mereka tahu cara kerjaku. Kami menuju ke daerah tempatku bekerja. Di sana, dalam informasi yang kami dapatkan masih terjadi peperangan dan butuh bantuan.

Sore hari, menyelinap, merayap, secara perlahan merangsek masuk ke medan pertempuran. suara terdengar sayup-sayup. Sudah dekat. Kami mencari posisi yang mendukung. Aku melihat para TNI. Jalan besar ini pengap dengan asap. Peluru terus mencari inangnya.

“Semuanya ikuti. Aku memimpin. Tembakan pertamaku menandai, mereka harus sigap mengikuti strategi yang sudah disepakati. Mereka menyebar membantu beberapa TNI lainnya yang kewalahan. Ada laskar-laskar masyarakat lainnya.

Aku melawan dua orang sekaligus. Bermodalkan senjata organisasi yang tidak perlu aku sebutkan dari mana asalnya. Aku mengundang dua Belanda fokus padaku. Tembakan demi tembakan melesat. Sangat hati-hati sekali aku lakukan. Aku perlu hidup. Demi apapun yang aku cintai.

Setelah tembakan kesekian, peluruku berhasil memecahkan bola matanya. Teriakannya nyaring sekali. Sepertinya ia sedang bertemu dengan malaikat.

“Pak, bantu kami!” Ia berteriak ke arahku. Aku melihat ke arahnya.

Aku berlari dengan segera ke arahnya. Peluru terus aku lontarkan ke beberapa titik para pasukan Belanda. Dengan sigap, aku sudah sampai di tempat mereka.

Mereka pasukan laskar. Hanya bermodalkan tekad yang kuat.

“Kalian dari mana?” dalam sela-selaan peperangan yang sengit aku bertanya kepada mereka.

“Laskar Hizbul…” Peluru lebih dahulu bersemayam sebelum ia menyelesaikan ucapan.

“Laskar Hizbullah, Pak.” Ia yang masih hidup melanjutkan.

Ia meminggirkan temannya. Di sana, ada beberapa Belanda mengintai. Menembaki kami secara membabi-buta. Tidak ada henti-hentinya. Aku melempar persediaan granat untuk mengelabuhi.

Aku mengarahkan dia untuk lari, “Tinggalkan saja.” Aku perlu menanti anak buahku berhasil. Mataku merayap dengan cepat untuk membunuh pasukan Belanda lainnya. Matahari terus tenggelam. Senja menusuk-nusuk siluet pasukan Belanda. Ini menguntungkan bagiku.

Ledakan besar berbunyi dari arah Bandara Kemayoran. Disusul dua kali ledakan, “Itu anak buahku.” Diriku bergembira. Mengepal-ngepal tangan. Aku mendekat ke beberapa anak buahku di sana.

Pasukan Belanda mengintip dari sela dahan. Aku menembaknya beberapa kali. Ia mengintip. Peluruku tepat masuk ke dada kanannya yang lapang.

Aku berlari menuju pasukan. Tenagaku tersisa sedikit. Langkahku sudah tertatih-tatih, “sedikit lagi.”

Tembakan mengarah kepadaku. Aku melihatnya, lalu membalas. Aku tidak menghentikan lari, terus saja. Salah satu tembakan dari pasukan Belanda mengenai kaki kananku. Diriku terperanjat kesakitan.

Lariku agak lambat. Beberapa langkah lagi diriku sampai. Pasukanku membantu. Ia menembaki pasukan Belanda. Salah satunya berusaha berlari ke arahku.

“Jangan ke sini. Biar aku yang ke sana. Ini perintah!” tersengal-sengal aku melangkah. Darah sudah bermuara di kulit kakiku. Aku harus terus bertahan demi apa yang aku cintai.

Mereka menurut. terus saja membantu menghalangi para pasukan Belanda yang mengincarku menembak target yang sudah lunglai ini.

Tembakan melesat ke salah satu pasukanku. Ia terkapar. “Hartono!” Aku kesal. Diriku berputar mencari tempat berlindung terdekat. Senjata api ini tidak henti-hentinya menembak ke arah pasukan Belanda.

Terus saja senjata api ini memuntahkan peluru. Aku tidak tahu ciri orang yang menembak Hartono. Setiap gerakan, aku tembak. Setiap bayangan, aku tembak.

Peluru bertubi-tubi mengarahku. Salah satunya tepat berada di jantungku. Suaraku memekik. Diriku terhempas. Tanganku meraung-raung. Aku perlu bertahan demi yang aku cintai.

Samar-samar, pasukanku mendekat. mereka berlari dengan sigap. Pemimpinnya terkapar.

Oksigen sulit kuraih. Hampa sekali. Dingin. Jantungku subur dengan darah. Semua yang kucintai hadir di sekeliling. Pasukan membopongku mundur. Senyap-senyap suara adzan terdengar dari kejauhan.

Granat dilempar ke arah kami. Ia langsung meledak tepat di tengah. Kami terhempas semua. Kesadaranku masih tersisa sedikit. Pikiranku terhempas ke mereka, istri dan anakku. Maaf, ayah tidak bisa menemani ulang tahunmu kali ini dan seterusnya.

Tangerang Selatan, 23 Maret 2024

Bagikan:

Penulis →

Alfiansyah Bayu Wardhana

Lulusan S1 Sastra Indonesia, Universitas Pamulang. Kesibukannya saat ini membuat konten sejarah, budaya, sastra, dan bahasa di akun media sosial pribadinya. Berkomunitas di Gerakan Berbagi, Tangsel Creative Foundation, Adakopi Original, dan Dewan Kesenian Kelurahan Serua. Karya yang sudah dipublikasi, yaitu: (1) Cerpen, Bulan Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan terbit di Literasi Kalbar (2024); (2) Cerpen, Sepi Sesudah Ramai terbit di Riau Sastra (2024) dan LPM Al-Mizan (2024).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *