Adios, Jenderal


“SEBAIKNYA kita berhenti dulu, Jenderal. Kuda anda sudah sangat kelelahan, begitu juga dengan para prajurit,” ucap Mayor Miguel melihat tenaga pasukannya terkuras habis setelah berjalan tiga hari dua malam tanpa henti. Terik matahari menyengat ubun-ubun mereka. Burung Pemakan Bangkai berputar, menunggu salah satu dari kumpulan manusia itu tumbang.

Sang Jenderal mengedarkan pandangan ke arah pasukannya yang hanya tersisa belasan orang itu. Seragam yang kotor, beberapa bagian tubuh yang terkoyak, darah yang belum sepenuhnya mengering, serta tenaga yang sudah terkuras habis, membuat pandangan mereka sayu. Mata mereka memohon untuk segera diistirahatkan.

“Baiklah, Mayor, segara cari tempat berteduh, pasukan Dante kurasa masih cukup jauh. Kita bisa istirahat sejenak, sampai matahari terbenam.”

Sang Jenderal lalu turun dari kudanya. Debu berhamburan saat sepatunya menjejak tanah. Usianya memang sudah cukup tua. Sudah seharusnya memasuki masa pensiun. Menikmati masa tuanya dengan bertani atau beternak alpaca di sebuah desa yang jauh dari riuhnya politik dan kekuasaan. Namun, keinginan untuk terus berkuasa di tanah yang dibebaskannya dari penjajah ini masih membara. Seperti bara matahari yang sedang menyengat mereka siang ini.

Kolonel Dante punya ambisi yang sama. Dia menemani Sang Jenderal selama lebih dari sepuluh tahun. Karena kecakapannya, karir Kolonel Dante terus melesat hingga meraih posisi yang cukup tinggi. Kolonel Dante pandai berdiplomasi dan berwibawa. Orang kepercayaan Sang Jenderal itu menusuk dari belakang. Sebagian besar petinggi ikut membelot.

“Anda sudah renta, Jenderal. Sudah saatnya anda istirahat,” ucap Kolonel Dante sebelum menghunuskan pedangnya ke arah Sang Jenderal.

Di bawah sebuah pohon kaktus besar, Sang Jenderal bersama segenap pasukannya berteduh. Hari itu, hari terpanas dalam kurun waktu setahun terakhir. Matahari terlihat lebih besar dari biasanya dan seakan mengerang marah. Menjilati bumi dengan lidah apinya. Binatang melata bersembunyi di balik ranggo mereka. Setetes air yang menetes dari dagu Sang Jenderal langsung menguap. Tak meninggalkan jejak basah sedikitpun di tanah.

“Hidup Jenderal, hidup Jenderal, hidup Jenderal Alvares,” masih terdengar jelas di telinganya ketika namanya dielu-elukan saat mamasuki ibukota. Perang selama puluhan tahun yang dijalaninya akhirnya usai dengan gemilang, kemenangan berpihak padanya. Dia berhasil mengusir penjejah yang sudah bercokol di tanah itu ratusan tahun lamanya. Penjajah yang sudah merampas emas nenek moyang. Rakyat sendiri yang kemudian mengangkat Sang Jenderal menjadi pemimpin tertinggi. Sebuah patung didirikan. Nama Sang Jenderal dijadikan nama jalan utama untuk mengenang jasa-jasanya.

Di ujung masa kepemimpinannya, dia mengangkat dirinya sendiri untuk menjadi presiden seumur hidup. Dia berambisi manjadi raja. Namun, setiap raja memiliki kutukan bernama keserakahan. Beberapa kebijakannya bermanfaat bagi rakyat, namun tak sedikit kebijakannya pula yang justru membuat rakyat kesusahan. Sang Jenderal memberi bantuan bahan pokok kepada negara sahabat, sementara di saat yang sama rakyat sedang kesulitan. Curah hujan yang tak stabil selama setahun penuh dan serangan hama, membuat tanaman jagung mati dan berakibat gagal panen.

Para pemuda yang sudah mulai bosan dan tak cocok dengan kepemimpinannya yang kaku menginginkan revolusi. Tak disangka, sebagian besar perwiranya juga jengah dengan kepemimpinannya yang menyerupai seorang diktator, menginginkan hal yang sama. Hanya Mayor Miguel yang tersisa di sisinya.

“Silahkan, Jenderal,” Suara Mayor Miguel membuyarkan lamunannya. Sebuah pir berduri yang sudah terpotong-potong menjadi bagian-bagian kecil disuguhkan. “Kandungan air dalam buah ini bagus untuk menjaga suhu tubuh.”

Sang Jenderal hanya mengambil sepotong kecil. Sejak lima tahun terakhir dia tak selera makan, tubuhnya enggan untuk menerima bermacam makanan. Hanya teh dari tanaman herbal yang dimasak dalam tetera[1] tanah liat dan sejumput tortilla yang bisa masuk ke dalam tubuhnya. Jika lebih dari itu, perutnya akan berontak dan mengeluarkan segala isinya. Raganya tak mampu berbohong, telah termakan usia kendati api kepemimpinannya masih membara.

Matahari telah condong ke arah barat saat sang Jenderal memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimanapun, setiap jengkal tanah di negeri ini adalah tempat yang berbahaya baginya. Masa pendukungnya sudah tinggal sedikit. Para warga tua yang dulu mengangkatnya menjadi presiden telah banyak yang mati. Yang sedikit itu pun terdiri dari golongan yang sudah menua seperti dirinya. Sementara kaum muda dan beberapa perwira menginginkan kepalanya.

Kondisi pasukannya sudah lebih baik. Begitu juga dengan kuda tunggangannya yang dia beri nama Kelinci Merah. Nama itu terinspirasi dari roman Tiongkok yang dibacanya dulu, ketika masih remaja.

Perjalanan terus dilanjutkan ke arah terbenamnya matahari. Menurtu perkiraannya, sekitar satu hari perjalanan lagi, dia akan sampai di perbatasan. Di negeri sebelah, dia akan meminta bantuan Jenderal Alejandro. Sahabatnya dulu dalam perang yang berlangsung di perbatasan tiga puluh tahun lalu.

Demi mengejar waktu yang terbuang, Sang Jenderal dan pasukannya terus berjalan saat matahari mulai terbit dan mencairkan embun-embun yang melekat di ujung kaktus serta daun pohon palem. Cahanya merambat perlahan dari arah timur. Kembali menyinari tanah tandus yang seakan tak berujung ini. Sang Jenderal memperkiraan tepat pada tengah hari dia dan pasukannya akan sampai di perbatasan.

Dor!! Sebuah suara tembakan memekikkan telinganya. Lehernya secara reflek menoleh ke arah sumber suara. Seorang prajuritnya terjerembab ke tanah. Dia melihat debu membumbung tinggi dari arah timur. Pasukan kavaleri sedang melaju dengan sangat cepat ke arahnya. Jumlahnya sekitar lima puluh orang. Kolonel Dante yang memimpin pasukan itu, menatap Sang Jenderal dengan tatapan seekor singa kelaparan yang menemukan mangsa.

Sang Jenderal memerintahkan untuk membalas serangan. Sementara itu, Mayor Miguel berpendapat hal tersebut sia-sia belaka.

“Lebih baik anda segera kabur, Jenderal. Pacu kuda anda.”

“Dan meninggalkanmu juga pasukanku di sini? Jangan mengatakan hal yang tak berguna seperti itu, Mayor!!” bentaknya.

Matanya nyalang, melotot ke arah Kolonel Dante. Sudah lama dia tak merasakan adrenalinnya terpacu seperti sekarang. Seperti saat bertempur enam hari berturut-turut di pegunungan utara dulu. Saat pasukannya kemudian meraih kemenangan krusial yang menjadi mula berakhirnya kolonialisme di tanah kelahirannya.

Para prajuritnya yang setia memberikan perlawanan dengan cukup sengit. Namun, jumlah memang penentu segalanya. Sesaat setelahnya, pasukan Sang Jenderal lumat di tangan pasukan Kolonel Dante. Jasad mereka bergelimpangan menyesaki tanah. Hanya tersisa dirinya dan Mayor Miguel yang masih tegak.

“Tanpa mengurangi rasa hormat, sebaiknya anda menyerah saja, Jenderal,” ucap Kolonel Dante. Perlahan mendekati Sang Jenderal yang masih duduk dengan gagah di atas pelana kudanya.

Sesaat Sang Jenderal terlihat ragu. Sementara itu Mayor Miguel sudah berhasil diringkus. Namun harga dirinya sebagai seorang pejuang menolak untuk menyerah.

“Aku tak akan menyerah padamu, pengkhianat!” hardik Sang Jenderal. Dia menghunus pedang kebanggaannya tepat ke hidung Kolonel Dante.

“Baiklah, terserah anda.”

Setelah itu Kolonel Dante  menembakkan pistol ke dada Kelinci Merah. Kuda itu tersungkur ke tanah. Begitu juga Sang Jenderal.

“Tangkap dia,” perintah Kolonel Dante seraya berbalik arah. Sang Jenderal dan Mayor Miguel diikat dan dibawa kembali ke ibukota. Bukan sebagai pahlawan laiknya dulu.

***

            Lantai ruangan ini dingin. Begitupun dengan dindingnya yang ditumbuhi lumut di bagian bawah. Sebuah fentilasi udara yang tak terlalu besar dengan tiga teralis terletak di bagian atas dinding. Membiarkan udara segar serta cahaya purnama biru masuk malam itu.

Sang Jenderal duduk di atas kasur yang disanggah ranjang besi. Menunggu eksekusi dirinya esok hari. Terdengar lolongan anjing liar di kejauhan. Sangat pilu, seakan ikut merasakan kesedihan dan kegusaran Sang Jenderal, dikhianati bangsa yang telah dibebaskannya.

“Selamat malam, Jenderal,” sebuah suara yang tak asing hinggap ditelinganya.

“Miguel?”

Mayor Miguel menyimpulkan senyum ke arah Sang Jenderal. Dia tampak gagah malam ini dengan seragam barunya yang berwarna biru beludru. Wajahnya tampak segar, rambutnya klimis, dan badannya harum. Seharum sebuah kemenangan.

“Kenapa, kau,,” Sang Jenderal tercekat melihat kolega satu-satunya itu tak berada dalam kondisi hina seperti dirinya yang kumuh, bau, dan berada di balik jeruji besi sebagai seorang tawanan.

Matanya berubah merah. Bersemu amarah dan dendam. “Dasar, Pengkhianat!!”

“Maaf, Jenderal. Saya terlahir dari keluarga miskin dan tak ingin lagi merasakan hal itu. Kolonel Dante menjanjikan kedudukan yang lebih tinggi bagi saya. Dengan itu, masa depan saya lebih terjamin,” ucap Mayor Miguel tanpa rasa bersalah.

“Keparat!!” hardik Sang Jenderal sebelum melayangkan pukulan. Sayang, wajah Mayor Miguel selamat karena pukulan Sang Jenderal tertahan jeruji besi yang memisahkan mereka berdua.

“Selain itu, tahta itu memang telah mengubah anda menjadi pemimpin yang lalim. Anda tidak seperti anda yang dulu saat pertama kali kita bertemu. Saat itu, anda benar-benar pemimpin yang berwibawa dan penuh kehormatan, tapi semua itu sudah berlalu. Sebaiknya anda menikmati saat-saat terakhir ini. Adios[2], Jenderal.”

Setelah usai berbicara, Mayor Miguel kemudian berlalu. Melihat punggung Mayor Miguel yang menjauh, Sang Jenderal terus saja mencercanya dengan segala umpatan yang bisa dikatakan sebelum Mayor Miguel menghilang di balik pintu.

Di ujung usia, Sang Jenderal kehilangan segalanya.

                                                                                                            Jember, 23 Juni 2023





[1] Ketel

[2] Selamat Tinggal

Bagikan:

Penulis →

Sigit Candra Lesmana

Kelahiran Jember, 12 Maret 1992. Saat ini bekerja sebagai penulis lepas. Senang menulis artikel, cerpen, dan puisi. Beberapa cerpennya memenangkan lomba dan diterbitkan di beberapa media seperti Janang.id, Kedaulatan Rakyat, Magrib.id, Suara NTB, Kurungbuka.com, Sastramedia.com, dan Langgampustaka.com. Aktif berkegiatan di Forum Lingar Pena cabang Jember dan Prosa Tujuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *