SORE itu, aku keluar dari tempat pameran lukisan di Jakarta. Beberapa orang ikut keluar dari tempat yang sesak. Pameran itu terbesar sepanjang sejarah abad 20-an di Indonesia. Karya para pelukis kenamaan ada di dalam. Termasuk salah satu karyaku yang tidak banyak orang tahu. Entah kenapa karyaku bisa lolos, karena aku termasuk pelukis yang jarang sekali melukis. Tetapi kegemaranku menatap lukisan tak bisa diragukan. Aku senang melihat karya lukisan, terutama aliran ekspresionisme dan naturalisme.
Tidak jauh dari tempat pameran, terdapat toko buku bekas di sebrang jalan. Sambil mengisap cerutu sebagai penenang, mataku menatap toko buku yang tak ramai pengunjung. Beberapa menit kemudian aku menghampirinya dengan berlari kecil. Membuang cerutu sebelum masuk.
Melihat kedatanganku, penjual tersenyum hangat. “Mau cari buku apa, Nona?” Dia bertanya ramah.
Aku hanya menjawab dengan anggukan dan sedikit senyuman. Menelisik setiap sudut buku yang tak menarik untuk dibeli. Satu-satunya alasan kedatanganku hanya kesegaran mata. Tetapi salah satu lukisan yang tertempel di dinding toko buku menarik perhatianku.
Ukurannya paling besar di antara lukisan-lukisan lain. Lukisan itu bergambar pemandangan pantai dengan ombak besar. Semakin mataku menatap dalam, semakin pusing kepalaku. Deru angin pantai mulai terdengar di telinga. Bau anyir pantai memasuki hidung. Suara kerumunan orang-orang sangat mengganggu. Kugelengkan kepalaku dengan cepat.
“Ada apa, Nona?” tanya penjual buku.
“Tidak. Dari mana Bapak dapat lukisan ini?”
“Uhm, saya agak lupa karena sudah lama. Tapi sepertinya dari kawan lama saya.”
“Lukisan ini bisa laku seharga puluhan juta rupiah,” kataku membuat bapak tua itu tertawa. “Ah, kau ini bicara apa, Nona? Lukisan ini tidak berharga. Hanya kenang-kenangan dari kawan saya yang tinggal di Lombok.”
Tepat sekali. Kupastikan kawannya membeli atau melukis lukisan ini di dekat pantai. Sedikit kuceritakan keunikan yang ada di dalam diriku sejak lahir. Orangtuaku bukan pelukis, tapi kakek dari ayahku adalah seorang pelukis hingga akhir hayat. Dia pernah bilang pada ibuku, jika aku memiliki keunikan ketika lahir. Mataku bisa menerawang cat atau bahan yang digunakan saat melukis, dan dimana setiap lukisan dilukis.
Artinya, meski sebuah lukisan itu adalah gambar seseorang, aku bisa tahu, dimana orang itu melukis. Ini memang terdengar aneh, tapi aku terlahir seperti itu. Kata mendiang kakekku, hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan sepertiku. Karena sampai sekarang, dari sekian banyak teman pelukis, aku tidak mendapati mereka yang memiliki keunikan sepertiku.
“Alyn!” suara seseorang memanggilku dari pintu masuk.
“Pamerannya sudah selesai?”
“Sudah, anak-anak mau nongkrong dulu. Kamu mau gabung?”
Itu adalah Dira, kawanku sesama pelukis. Dia berjalan mendekatiku bersama penjual buku. “Wah! Lukisan ini terlihat bagus,” komentarnya sebelum aku berhasil menjawab.
“Kata temanmu, lukisan ini berharga puluhan juta,” ujar penjual buku sambil tertawa menatapku.
Dira memandangku geli. “Puluhan juta? Tidak masuk akal. Sudah, kamu mau ikut tidak?”
Aku hanya mengangguk dan berpamitan pergi bersama Dira. Meninggalkan toko buku yang tak banyak pembeli sore itu. Di parkiran, sudah ada Tino, Bram dan pacarnya. Mereka semua pelukis kecuali pacarnya Bram yang bernama Tika.
Kami mampir di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari rumahku. Kami saling memuji satu sama lain perihal lukisan. Tidak sedikit suara tawa memecah, membisingkan tempat makan yang tak banyak pengunjung. Namun tiba-tiba dua orang pria berbadan kekar berbaju hitam muncul. Di belakangnya terdapat seorang wanita yang usianya tak jauh dari kami.
“Sepertinya ada orang penting,” ujar Dira melirik ke arah wanita itu.
“Kayanya anak salah satu pemerintahan. Pakai pengawal segala,” sahut Bram.
Entah dia mendengar kami membicarakannya atau tidak, tapi dia mendatangi meja kami. Tersenyum ramah dan anggun. Dia terlihat cantik dan elegan. Wajar jika dia adalah anak dari pemerintahan.
“Aku Renata. Kalian pelukis-pelukis yang karyanya dipamerkan hari ini ‘kan?”
Semua kawanku terkejut. Sementara aku tidak, karena jelas dia punya kekuasaan untuk melihat informasi para pelukis yang karyanya dipamerkan hari ini.
“Aku sangat tertarik dengan lukisanmu, Alyn,” ujarnya sembari menatapku dengan antusias. “Boleh aku gabung bersama kalian?”
Kami akhirnya berbincang banyak. Termasuk berbagai pertanyaan dari kawanku mengenai latar belakang Renata, yang ternyata adalah anak tunggal dari salah satu Menteri Indonesia. Malam semakin larut, tepatnya pukul sembilan, kami mulai bersiap pulang.
“Mau melihat pameran di Galeri Nasional besok?” tawar Renata.
“Besok ada kelas, maaf ya,” sahut Dira.
“Kayanya besok nggak bisa,” tutur Bram.
Tino melirikku, sepertinya dia tertarik dengan Renata yang tiba-tiba mendatangi meja kami. Begitu juga denganku. Akhirnya aku dan Tino menerima tawaran Renata untuk pergi ke pameran esok harinya. Renata juga dengan murah hati mengantarkanku dengan mobilnya. Dira pergi bersama Tino dengan motor, Bram dengan pacarnya. Sedangkan aku ke pameran menggunakan transportasi umum tadi pagi.
“Sekarang aku tahu rumahmu. Besok kujemput, bagaimana?” tawar Renata yang tetap berada di kursi belakang mobil.
“Tidak perlu. Bertemu saja di lokasi,” jawabku dan bergegas masuk ke rumah.
Ini agak aneh atau hanya perasaanku saja. Renata tampak berani dengan rambut hitam yang menggerai panjang. Seperti ada sesuatu yang diinginkan Renata dari kami. Aku memang selalu menaruh curiga pada setiap orang yang berusaha mendekati kami. Pertemanan kami berempat juga berlangsung lama sejak sekolah dasar. Selebihnya, aku tidak mendapatkan teman murni begitu juga dengan mereka.
Esok harinya, mobil yang kemarin mengantarku sudah tiba. Meskipun aku sudah bilang tidak perlu dijemput, ternyata Renata tetap datang. Dia pergi tanpa pengawal hari ini. Saat aku keluar dia tersenyum ramah dan membukakan pintu mobil untukku. Kami akhirnya pergi dan bertemu Tino di pameran.
Kami mulai masuk dan menikmati setiap lukisan yang dipamerkan. Tino tetap berada di sampingku, sementara Renata sangat fokus dengan lukisan-lukisan yang kebanyakan adalah aliran naturalisme. Sesekali wajahnya serius, terkadang ketakutan, lalu berubah menjadi sendu. Dia terlihat emosional sekali.
Ketika Tino izin pergi ke toilet, Renata menoleh padaku. Sebelumnya jarak kami cukup jauh, tapi dia berjalan mendekatiku dan menunjuk ke salah satu lukisan dengan latar pegunungan. “Lihat itu! Apa yang kamu rasakan?”
Mataku menatap lekat lukisan itu. Kemudian aura panas mulai menggerayangi tubuhku. Napasku sedikit sesak seperti berada di tempat yang pengap. Bau kopi hitam menyerang hidungku. Lantas aku menutup mulut dan menjauh dari lukisan itu.
“Ada apa, Alyn? Kamu merasakan aura panas dan bau kopi yang menyengat?” Renata bertanya langsung pada poinnya.
Sebentar. Kenapa dia bisa tahu aku merasakan itu? Padahal lukisan gunung tidak ada sangkutpautnya pada bau kopi hitam. Ketika aku menatap jeli pada Renata, dia menyeringai dan berkata, “Ternyata kamu orangnya.”
“Tunggu! Kamu?” Alisku menaik tanda kebingungan.
“Mari bertemu lagi besok. Hanya berdua. Aku akan jemput kamu lagi.”
“Aku ada kelas besok.”
“Setelah selesai kelas, bagaimana? Aku tahu kampusmu.”
Belum sempat aku menjawab, Tino sudah datang dengan wajah kebingungan. Aku hanya memberikan alasan singkat yang tak penting dan dia percaya. Setelah kepulangan dari pameran hari itu, kepalaku mulai dipenuhi dengan bayang-bayang Renata. Bagaimana dia menyeringai, tersenyum, sedih, ketakutan, dan hal lainnya saat menatap lukisan. Lalu bagaimana dia tahu banyak tentangku. Ini sangat aneh dan membuatku penasaran dengannya.
Besoknya, dia benar-benar datang menjemputku lagi di sebrang kampus. Tanpa pengawal juga, dan hanya kami berdua. Dia membisu sepanjang perjalanan yang entah ke mana. Aku melirik arloji yang menunjukkan pukul satu siang. Matahari begitu menyengat. Beruntung AC mobil Renata berfungsi dengan baik.
“Kau lapar?” tanyanya sedikit melirkku karena dia tengah mengemudi.
“Tidak.”
“Baiklah, langsung ke rumahku saja kalau begitu.”
Ke rumahnya? Aku tidak banyak bicara lagi. Lagi pula, aku percaya dengannya. Dia adalah anak seorang Menteri. Jadi, tentu saja aku aman bersamanya. Mobilnya mulai memasuki gerbang besar yang kupikir adalah gerbang jalan menuju perumahan elit.
Ketika melihat gaya bangunan dan arsitektur rumah-rumah di sana, mataku takjub. Kuyakin beberapa rumah itu milik rekan bisnis keluarga Renata yang juga menduduki Pemerintahan. Tak jauh dari gerbang, mobil terparkir di salah satu rumah yang didominasi warna putih dan abu-abu. Renata mengajakku masuk. Di sana terdapat banyak penjaga yang tak kuhitung jumlahnya. Yang jelas, para pengawal yang kemarin kulihat ada di rumahnya.
“Tenang saja, kita akan ke lantai dua melihat koleksi lukisanku.”
Kemegahan dan kemewahan adalah kata yang tepat menggambarkan rumah Renata. Setibanya di lantai dua, Renata menarik tanganku untuk memasuki salah satu ruangan yang cukup luas. Di sana terdapat berbagai jenis lukisan dari berbagai aliran. Mataku melihat ke satu lukisan ke lukisan yang lain. Lalu terpaku sebentar melihat lukisan dengan berlatar pantai dengan ombak besar.
“Sepertinya aku pernah melihat lukisan ini,” kataku berpikir sejenak.
“Toko buku bekas di sebrang tempat lukisanmu dipamerkan.”
Wajahku menoleh padanya dengan polos. Aku tidak yakin dengan kesimpulan yang sudah terbentuk di kepalaku.
“Ya, aku menguntitmu sejak hari pameran itu. Aku membeli lukisan ini seharga dua puluh juta. Aku tahu kamu orangnya, Alyn,” ucap Renata seolah tahu apa yang kupikirkan.
Seketika, aku mengingat bapak tua penjual buku. Dia pasti kegirangan seperti mendapatkan undian jutawan. Tidak peduli dengan barang berharga pemberian kawan lamanya.
“Tunggu! Bagaimana kamu bisa tahu aku orangnya?”
“Dari lukisanmu di pameran itu. Aku sama sepertimu, Alyn. Memiliki keunikan soal melihat lukisan,” ucapnya tersenyum tanpa arti. “Matahari tenggelam. Lukisanmu sangat menarik. Warna cat yang kamu gunakan … darah itu–”
“Stop!” Aku memotong ucapannya, lalu menutup mulutku dengan tangan. Kakiku sedikit berjalan mundur. Entah kenapa wajah Renata tampak menyeramkan ketika dia berbicara tentang lukisanku. Lukisan matahari tenggelam yang didominasi warna jingga kemerahan.
“Darah milikmu. Berapa tetes yang kamu gunakan? Lima tetes?” Lagi-lagi Renata bertanya.
Gila! Dia wanita gila yang menyebalkan! Kupikir, ketika bertemu orang yang memiliki keunikan yang sama, aku akan senang, tapi ternyata tidak. Dia bahkan tahu jika aku menggunakan lima tetes darahku untuk dipadukan dengan cat oranye. Aku kehabisan cat merah malam itu, dan tidak sempat membelinya di toko karena sudah tutup. Sementara pendaftaran lukisan ditutup esok paginya.
“Tenang, Alyn. Tidak ada yang salah dengan hal ini dan lukisanmu.” Renata mendekatiku dan berusaha untuk memelukku, tapi aku menolak. “Aku sudah menunggumu untuk mendaftarkan lukisanmu di pameran itu. Asal kamu tahu juga, aku yang menyeleksi tiap lukisan di pameran itu.”
Aku tidak bicara apa-apa lagi. Dia bisa melakukan segalanya termasuk apa yang baru saja dia bicarakan. Kemudian pandanganku teralihkan pada sebuah lukisan yang ditutup kain putih besar. Kakiku berjalan mendekat. Tanganku hendak membuka tirai putih itu, tapi digagalkan olehnya.
“Jangan! Lukisan itu belum selesai. Aku tidak biasa memperlihatkan hasil lukisanku kalau belum selesai.”
Selepas itu, kami kembali ke lantai satu. Menikmati kudapan yang disajikan. Renata banyak bercerita jika dia mulai melukis sejak berumur empat tahun. Sebenarnya Renata orang yang cukup asyik diajak berbincang. Mungkin aku hanya terkejut saat mengetahui Renata memiliki keunikan yang sama denganku.
Tapi lama-kelamaan itu bukan masalah lagi. Suara tawa Renata begitu renyah yang membuatku hangat. Dia berusaha menjalin hubungan pertemanan denganku. Dia juga bercerita tentang kesepiannya menjadi anak tunggal. Hobinya yang melukis menjadi satu-satunya dia bertahan dari kehidupan yang membosankan.
“Mari bertemu lagi hari Minggu. Mungkin lukisanku sudah selesai. Kamu akan menjadi orang pertama yang akan melihat lukisanku, bagaimana?”
Aku mengangguk sebelum masuk ke dalam mobil. Pengawalnya berniat mengantarkanku pulang. Tapi sebelum kaca mobil tertutup, Renata bertanya, “Lukisan apa yang paling ingin kamu lihat sepanjang hidupmu?”
“Lukisan Kebakaran Ibu Kota Jakarta. Aku tidak pernah melihat lukisan seperti itu,” kataku dan mobil pun melaju pergi.
Dua hari setelahnya, kepalaku benar-benar dipenuhi oleh Renata. Tetapi ketika ponselku berdering, aku bergegas mengangkatnya. Itu dari Tino.
“Apa?! Oke, aku ke rumah sakit sekarang.”
Tino memberitahu jika Dira mengalami kecopetan. Tubuhnya tergeletak di gang kecil kota dengan bersimbah darah. Aku segera menuju rumah sakit dan mendapati Dira yang terbaring dengan banyak selang infusan. Tino bilang, Dira kehilangan banyak darah. Juga, yang paling mengherankan Tino adalah, barang-barang berharga milik Dira tak ada yang hilang.
Ketika perawat keluar, kami dipersilakan masuk. Lantas aku mengusap rambut Dira yang sudah siuman. “Bagaimana kejadiannya, Dir?” tanyaku cepat.
Dira hanya melamun. Tak menjawab pertanyaanku. Mungkin dia masih trauma dan pusing karena kehilangan banyak darah. Malam dari rumah sakit, aku segera pulang. Mengambil sebatang rokok yang kubakar lalu kuhisap. Dari balkon lantai dua, aku menatap langit. Mencoba menyegarkan pikiran karena banyak perkara.
Minggu pun tiba, dan Renata kembali menjemputku pukul sepuluh. Senyuman khasnya keluar sembari membuka pintu mobil untukku. Kami diam sepanjang perjalanan. Setibanya di rumah Renata, kami langsung menuju lantai dua.
Ketika aku hendak membuka pintu yang kemarin kami masuki, Renata mencegah. “Bukan yang itu, Alyn. Itu hanya koleksi lukisan biasaku dan tempatku melukis. Hasil lukisan yang tertutup tirai putih kemarin sudah kupindahkan ke ruangan sebelah. Ayo!”
Aku hanya menurut dan menunggu Renata yang sibuk membuka pintu ruang sebelah yang terkunci. Setelah pintu terbuka, kepalaku mulai pusing mencium aroma yang tidak asing di hidungku. Renata menarik tanganku untuk masuk.
“Ini adalah lukisan-lukisan karyaku. Sementara yang di sebelah adalah lukisan yang kubeli dari berbagai kota. Dan itu, lukisan kebakaran kota Jakarta yang kamu inginkan!” Renata menunjuk ke satu lukisan yang sengaja ditaruh di tengah.
Perlahan, aku mengamati lukisan yang didominasi warna merah. Beberapa detik kemudian, kepalaku terasa berat, bau anyir menyengat hidungku. Aku bisa melihat dengan jelas pelukis itu mendapatkan cat merah dari mana.
Bahkan aku bisa melihat bagaimana pelukis itu mengambil darah segar yang cukup banyak dari kantong plastik khusus darah. Perutku mulai merasa mual. Lukisan itu benar-benar kuat. Sehingga tubuhku jatuh dan mulai muntah.
“Alyn, kenapa? Apa yang kamu lihat?”
Aku yang tergeletak di lantai mengangkat wajah. Melihat Renata yang menyeringai. Dia benar-benar menyiksaku dengan cara uniknya.
“K-kamu yang membuat Dira–”
“Betul. Aku melukis lukisan keinginanmu dari cat darah teman pelukismu. Menarik, bukan?”