Akan ada secercah jiwa melayang,
Bisa jadi berbuah pengorbanan
Atau ajang menebus kesalahan.
Ada yang lucu sore ini: Harun yang diajak Kyai membeli sehelai kain untuk merajut kerudung Nyai Kapu yang mulai pudar nan lusuh, malah terciduk menjalin asmara dengan senyum tipis seorang gadis di ujung sana. Ia tertegun, matanya binar menerawang membuat hiruk-pikuk pasar justru tak mampu merobek gendang telinganya.
“Namanya Sari, anaknya pak Muhyiddin. Nanti kalau ada waktu, kita main ke sana!”
Harun tersentak mendengar celetukan itu. Segera berbalik arah lalu membungkuk; bisa jadi karena ta’dzim atau malu terciduk. Lantas terperangah tak mengerti.
“Tak lamarno..!!” Lanjut Kyai sembari menahan senyum, sedang kakinya melangkah mendahului Harun menyusuri arah jalan pulang.
Seindah apakah senja yang perlahan mengendap di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? Mungkin lebih indah lukisan bunga di hati Harun sore itu. Bagaimana tidak! Seorang wanita yang selama ini selalu ia tepis karena begitu yakin akan kemustahilan, justru terwujud bersamaan dengan terajutnya kerudung milik Nyai Kapu, istri sang Kyai.
***
Harun mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Desing burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya mengaji. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu kembali memaknai kitab gundul yang dibacakan Kyai.
“Bangsat..!” Pekik Harun dalam hati. Gigi gerahamnya mengeras mengingat puluhan burung besi itu adalah pasukan militer Jepang.
Bangsat memang, keberhasilan jendral Hitoshi Imamura dalam menundukkan dan mengusir Belanda dari bumi Pertiwi ternyata bukanlah sebuah keberuntungan. Jepang mulai melarang sang Dwiwarna berkibar, melarang lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Dan kini; mereka tengah menangkapi para kyai yang memberontak serta enggan melakukan Seikerei: sebuah pemujaan pada Dewa Matahari.
***
“Seikerei..!!” Teriak seorang perwira berwajah garang tepat di depan kyai. Tepatnya saat mentari meninggi satu tombak nun jauh di ufuk timur. Harun sempat mengangkat sang merah putih dan menyeru pada ribuan santri untuk berjihad. “Aqidah kita telah diinjak-injak oleh kaum musyrikin ini, tidak ada jalan lain selain jihad pilihannya. Allahu Akbar….!” Gemuruh takbir menyambut seruan jihad seorang Harun. Namun, Dengus suara ledakan dan dentuman keras berbagai macam senjata mesin berhasil meredam, meringkuk dan membawa sang Kyai untuk dipenjara.
Ribuan santri meronta-ronta mengiringi kepergian sang Kyai, sementara Harun lari pontang panting mengejar mobil Buick pasukan Nippon itu. Bukan soal lamarannya yang takut tertunda. Bukan itu! Tapi keselamatan sang Kyai jauh lebih penting dari apapun.
Selepas kejadian pagi itu, berbagai upaya dikerahkan untuk membebaskan Kyai. Mulai dari jalur perlawanan, demontrasi damai, hingga jalur perundinganlah yang menuai hasil. Kaisar Jepang akan melepas semua tawanan; mereka meminta ma’af dan berjanji tidak akan memaksa umat Islam untuk melakukan Seikerei. Sedang para Kyai pun jua demikian; mereka akan membantu Jepang membangun Asia Timur Raya untuk menciptakan Dunia Baru.
“Biarkan semua kebijakan Jepang berjalan. Kita harus berpura-pura ngebantu mereka. Kalau perlu, sumbangkan tenaga para santri untuk dilatih secara militer sebagai pasukan Jepang untuk menghadapi perang dunia II,” Ucap sang Kyai, menyusun siasat. Sementara yang lain mengangguk paham bahwa santri-santri yg dilatih jepang kelak akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
***
Jalanan bak ular liar merebak ke sepanjang destinasi. Harun tertahan diantara dua sepi yang datang dari utara dan selatan. Kakinya tersentak dari diam lalu jalan pelan-pelan mendatangi sosok Sari.
“Sar..!” kata Kyai, “besok kita akan ke rumahmu.”
Harun memberitahu perihal malam bila ia jatuh akan muncul beberapa bintang demi menghias langit. Sementara Sari hanya mengangguk paham tanpa tahu apa kalimat yang harus disampaikan. Ia berbicara dengan bahasa yang tak pernah didengar namun seolah itu mengisyaratkan agar Harun tersenyum; diam.
Di tengah kemelut problematika perjuangan kemerdekaan, sang Kyai menepati janjinya pada Harun: meminang Sari untuknya. Lalu kembali melakoni siasat penaklukan. Tentu bukan hal yang mudah. Air mata, keringat, darah dan nyawa harus dikorbankann demi satu kata: Merdeka.
Ribuan butir peluru tanah air berada dalam satu barisan dan sabar menunggu momentum yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Hanya ada sebutir peluru Milik Kyai yang melenceng jauh membawa Sari bergabung dengan tentara rakyat. “Merobek dada pasukan Nippon yang melintas dalam hutan jauh lebih terhormat dari pada harus tunduk dibawah kaki Jepang,” pekik Harun.
“Ini bukan soal berani lalu mati, Run..! Proklamasi hanya bisa kita capai dengan persatuan dan kesatuan bangsa.” Wejangan terakhir yang Harun dengar kala ia meminta agar Kyai melihat kesengsaraan rakyat yang kian memuncak. Harun bersikeras menuding bahwa Kyai telah melakukan kejahatan dan memihak pada Jepang. Tidak ada yang bisa merubah sikap itu. Bahkan senyum tipis seorang Sari, ia tepis dengan berbagai alasan. Hanya kekalahan Jepang pada perang dunia II yang membuat Harun tersadar bahwa semua yang dilakukan Kyai semata-mata hanya untuk Indonesia.
***
Pementasan para pejuang dalam drama teatrikal yang bertajuk semangat perjuangan belum usai; bahkan pasca proklamasi dibacakan. “Ini adalah kesempatan bagiku untuk menebus kesalahan,” ceracau Harun saat melihat kawannya merobek warna biru bendera di Hotel Yamato, 19 September 1945.
Situasi di depan Hotel Yamato terasa mencekam. Para pejuang menyemut menutupi permukaan jalan, diselimuti bau mesiu dan kecut keringat. Sedangkan di dalam hotel, entah apa yang terjadi? Para pejuang mencoba menduga-duga. Sementara di pucuk tiang bendera hotel, dwiwarna Merah Putih melambai-lambai disapu angin.
”Belanda memang kurang ajar. Tak tahu malu. Sudah terusir dari negeri ini, eh nekat datang lagi. Jancok!” umpat Harun lantang. Otomatis, umpatan itu terdengar oleh orang-orang, termasuk juru foto yang baru saja berhasil mengabadikan insiden perobekan bendera.
”Semuanya, Cak! Belanda, Jepang, Inggris, Amerika, sekutu. Semuanya kurang ajar!” balas sang juru foto, ”Ngomong-ngomong, itu tadi, siapa nama si perobek bendera warna biru?”
”Aku tak tahu namanya, Cak! Kini di kepalaku hanya ada nama Kyai, akan kutebus kesalahanku pada Kyai, Cak!” jkata Harun.
Mendengar jawaban Harun, sang juru foto itu terbengong agak lama. Dahinya terlihat berkerut. Lalu terbit tawa kecil di wajahnya.
”Baiklah! Semoga Sampean bisa menebus kesalahan pada Kyai,” Kata sang juru foto, kemudian ngacir ke sebuah arah sambil menenteng kameranya.
Di hari yang sama, pada malam gulita. Selepas memastikan keadaan aman, Harun pergi membawa Sari ke suaka aman yang jauh dari suara desing pertempuran. Pergilah mereka menuju pinggiran sungai yang terletak di Asemrowo, tempat para pengungsi mencari selamat. Di pinggiran sungai itulah, untuk kali pertama Harun mengakui kesalahannya pada sang Kyai. “Betapa hinanya aku, Sar..! Santri macam apa aku ini?”
Tak banyak yang bisa Sari lakukan. Apalagi usulannya untuk menemui dan meminta ma’af pada Kyai ditolak halus oleh Harun; Ia teramat malu untuk melakukan itu. Bahkan, saat semua perwira mencium tangan Kyai kala pemberangkatan menghadang pasukan Brigadir Jenderal Mallaby, Harun tak berani mendekat. Ia memilih lari ke dalam sebuah ruangan lalu mencium sorban sang Kyai. Lama sekali Harun mencium sorban itu membuat ia justru hampir tertinggal oleh rombongan.
Tanggal 30 Oktober 1945, bara Resolusi Jihad membakar semangat para pejuang. Harun terlibat dalam penyergapan di sekitar Jembatan Merah dan Gedung Internatio bersama pejuang lainnya. Mereka mengintai mobil Buick dari jarak lumayan dekat. Dalam pengintaian ini, Sari justru menangis cemas di kejauhan; memberanikan diri menemui sang Kyai lalu bercerita tentang kesadaran Harun, suaminya.
Situasi di sekitar Jembatan Merah dan Gedung Internatio bertambah panas dan mencekam. Caci maki tersembur dari mulut para pejuang. Mereka bernafsu menyerang mobil Buick yang ditumpangi petinggi kaum penjajah.
”Intai, lalu sergap dan serang!” kata seseorang.
Tak lama kemudian terdengar suara dentuman. Api menjilat-jilat udara, disusul asap yang membubung. Pada insiden inilah, Mallaby ditemukan tewas dalam mobil Buick yang sudah hangus. Kabar akan kematian Mallaby disambut sukacita oleh semua orang, kecuali Sari yang menunggu suaminya; tak kunjung pulang.
“Tuhan, apakah secercah jiwa itu sudah melayang?”