I
ADEGAN ini berlangsung di dalam sebuah sempit ruang tahanan kerajaan, berlangsung pada sebuah malam terang bulan ketika turun deras hujan. Di dalam sempit ruang tahanan, ada seorang pematung muda yang terkurung; duduk bersandar pada dinding dan memandang luar melalui sebuah jendela kecil berpagar yang ada di atas-depan.Tepat di bawah jendela kecil berpagar, ada suatu sosok yang serupa dengan si pematung muda. Ruangan itu remang dan nyaris gelap; terlebih sebab tak ada cahaya purnama yang masuk. Dan mereka pun duduk berhadapan-hadapan.
Seharusnya malam ini bulan purnama tampak dari sini, ucap pematung muda sambil memandang jendela. Seharusnya bulan purnama tampak memenuhi jendela berjeruji, menerangi ruangan sempit ini; tetapi betapa mendung masih saja menutupi dan deras hujan masih belum mau berhenti . . .
Esok pagi, ucap sosok itu, ketika terbit matahari, kau akan dieksekusi, akan diberi hukuman mati. Apakah kau tidak takut dan merasa ngeri?
Pematung muda menurunkan pandang, dan mengatakan:
Tidak. Aku tidak takut dan merasa ngeri. Aku hanya ingin memandang purnama malam ini—sebelum menemui mati pada esok pagi. Namun, lihatlah, betapa langit sama sekali tidak menghendaki; dan aku hanya bisa membayangkan bahwa di sana ada bulan purnama, ada rembulan bundar yang teduh bersinar.
Apa kau ingin memahat rembulan?
Ya, jawab pematung muda. Aku hendak memahatnya menjadi kotak, menjadi kubus, menjadi balok, menjadi apa-apa saja yang bujur sangkar . . . , dan mungkin juga memahatnya menjadi nisanku sendiri.
Pada malam-malam yang silam, selain rembulan, kau juga sering memandang bintang-bintang. Rasi bintang apa yang kau suka?
Orion, jawab pematung muda lekas.
Orion, ya . . . Sepertinya, tanpa kau katakan, dapat tergambar jelas serangkaian alasan.
Betapa sabuk Orion begitu memukau; meski tak genap bisa dipandang dari sini.
Lalu, ingatkah kau pada seorang pematung di masa silam yang juga dihukum mati?
Seorang pematung yang lantas menjadi pemahat jiwa dan pikiran manusia?
Ya.
Aku ingat, ucap pematung muda. Kenapa memang?
Ia diminta kawannya untuk kabur, tetapi memutuskan untuk tetap menerima hukuman mati. Tidakkah hal itu serupa dan sejajar dengan apa yang kau alami kini?
Mungkin saja, sahut pematung muda. Namun, betapa jelas, bahwa dia jauhlah lebih luhur dan mulia dibandingkan diriku; dan kukira, siapa pun akan setuju dengan pernyataanku. Mati menenggak racun, menenggak kebenaran yang diyakini sepenuh kurun . . . Bunga paling cantik dan harum adalah yang paling beracun; dan lelaki itu sudah memilih jalannya, memilih racun kemilau yang jadi tanda bagi kebenaran yang memukau.
Esok pagi, kau akan menenggak racun pula?
Tidak. Aku bukan orang suci dan mulia; aku tak lain hanya seorang keji yang diliputi dosa dendam dan benci. Dan esok pagi, aku akan mati di tiang gantungan: Seorang pematung murung yang mati di tiang gantung!
Namun, sebenarnya, kau punya rencana untuk kabur?
Aku punya; tapi aku segera menyadari bahwa itu sia-sia. Aku bisa kabur dari panjara ini, tetapi takkan bisa kabur dari kematianku sendiri, takkan bisa kabur dari dosa yang telah kulakukan hingga jadi begini.
Apa kau tak lelah dan ingin rabah, tak ingin istirah?
Tidak, sahut pematung muda pelan. Atau mungkin belum . . .
Lalu, apa kita masih bisa berbincang?
Pematung muda untuk sesaat kembali melihat jendela, dan mendapati hujan yang memang masih belum ingin reda; dan berkatalah pematung muda pada sosok yang serupa dengan dirinya:
Ya. Agaknya, malam ini akan panjang; dan kukira kita masih punya banyak waktu.
Baiklah. Kalau begitu, aku ingin bertanya padamu tentang alasan apa yang membuatmu menjadi seorang pematung.
Pematung muda membenarkan duduknya, lantas berkata:
Sebab ketika kanak, aku takut pada patung yang ada di sekitar panti asuhan; dan kurasa, hingga sekarang, aku masih ketakutan…
Kau takut pada patung. Dan malah membuatnya?
Pematung muda menganggukkan kepalanya—
Dan sekarang kau masih tetap takut?
Ya. Aku masih takut.
Apakah ada alasan lain?
Saat itu, aku sudah remaja, dan masih tinggal di panti asuhan, dan menemukan sebuah batu bulat, batu yang sangat bulat serupa telur. Dan saat itu, aku bertanya-tanya: Apakah di dalam sana ada seekor burung pengicau, adakah ayam jago yang ketika pagi akan berkokok? Sejak itu, kukira, aku mulai memantapkan diri menjadi seorang pematung.
Lalu, apa kau memiliki guru atau semacamnya?
Ya, aku memilikinya. Ia adalah seorang perempuan tua yang hidup bertapa. Ah, ia memang petapa tapi bukan santa. Ia menarik diri dari riuh dunia; dan hanya memahat dan memahat; dan makan hanya dari buah jatuh dan ubi-ubian di hutan. Yang ia miliki hanya alat pahat dan pakaian lusuh yang melekat. Dan betapa, setelah kutemukan batu yang seperti telur bulat itu, aku menemuinya; dan berkata hendak menjadi muridnya.
Ia terpukau pada temuanmu?
Pematung muda itu mengangguk lagi—
Lalu?
Ia berkata mau mengajarkanku cara memahat dan membuat patung, asalkan aku juga mau mengikuti cara hidupnya selama masa belajar; dan aku pun mengiyakannya. Dan selama itu, makinlah aku terpukau padanya, pada seluruh karyanya yang tersebar di hutan, di antara pohonan dan rerumputan, serta celah gunung bebatuan. Dan betapa orang-orang di sekitar hutan sering ketakutan sebab merasa patung itu hidup, sebab mereka mendengar suatu degup.
Mungkin sebab tata letak dan cahaya . . . , sebab suasana dari hutan dan rimba?
Mungkin saja demikian. Namun, guruku selalu berkata, bahwa di dalam sana, di dalam tiap patung karyanya, selalu diberinya secuil dari jiwa dan daya hidupnya. Dan sebab itulah, tiap selesai sebuah patung, secuil daya hidupnya berkurang—berpindah ke seberang.
Menurutmu, apa itu pematung?
Mungkin, pematung adalah seorang yang tahu bahwa ia tak bisa mengubah apa pun, tak dapat memaksakan citraan di dalam dirinya pada bahan yang hendak dipahatnya; betapa ia mesti mengikuti apa yang dihadirkan itu bahan..
Ah, iya, bukankah kau sering sekali membuat patung chimaera dengan gabungan dari berbagai hewan yang ditambah dengan bagian dari manusia? Adakah alasannya?
Sebab aku sedang mencari tahu.
Tentang?
Kemanusiaan.
Apa kau tak ingin membuat patung yang bergerak?
Jika sebuah patung begerak, apakah ia masih bisa disebut patung?
Baiklah. Begini. Apa kau tak pernah terbesit membuat sebuah patung penari?
Itulah persoalannya, sahut pematung muda. Aku tak ingin berkata bahwa patung yang kubuat adalah patung seorang penari; tapi orang yang memandangnya bisa tahu.
Apa yang menandainya, atau apa yang membuat patung tadi jadi patung seorang penari . . . ?
Bila kubuat patung itu telanjang atau berpakaian dengan suatu pakaian yang bukan selumrahnya pakaian penari, apakah ia akan tetap menjadi patung penari?
Ya. Namun, bagaimana bila dari gerakan, dari suatu gaya?
Gerakan apa yang khas tari? Apa semua gerakan adalah tari? Betapa, aku tak tahu.
Agaknya, itulah soalannya.
Ah, mungkin, hanya aku yang memperumitnya…
Jika seluruh penghuni negeri buta dan tak bisa meraba, kecuali dirimu, apakah kau akan tetap membuat patung?
Ya.
Meski tanpa pemirsa?
Ya. Sebab selain patung, aku tak tahu apa yang kubisa. Betapa, bagiku, membuat patung setara dengan hidup; dan tanpa hukuman gantung pun bila aku tak diizinkan membuat patung atau memahat, kurasa aku akan merasakan suatu kekosongan.
Sejenak, hening mengisi sempit ruang tahanan: hanya terdengar deras hujan!
Bukankah patung itu ada untuk dilihat dan disentuh? Lantas, bila tanpa mata dan tangan, apa yang dapat orang-orang lihat dan rasakan?
Kegelapan yang mereka pandang; kekosongan dan duka yang mereka raba.
Dan biarkan kutebak, selain patung, kau pun juga takut pada kegelapan, bukan?
Ya. Dan pada keabadian.
Kau tidak membuat patung untuk keabadian?
Tidak.
Lantas?
Untuk kefanaan. Agar teringat pada kehancuran, teringat pada segala yang sementara.
Namun, bukankah hasrat pematung adalah mengekalkan?
Ya, ucap pematung muda. Itu tidaklah salah. Namun, betapa patunglah yang sejatinya paling piawai untuk menyampaikan, bahkan tanpa perkataan, bahwa merekalah yang paling rapuh, fana, dan sementara. Dan karenanya, barangkali, patung senantiasa meminta agar dicipta lagi dan lagi; dicipta berulang kali.
Tidakkah kau ingin menghidupi patung-patungmu, sesuatu yang selama ini dianggap kebanyakan orang sebagai benda mati?
Ya, aku tak memungkiri. Akan tetapi, bahkan hingga kini, aku masih bertanya-tanya tentang apa itu hidup . . .
Tidakkah lebih baik kau bertanya dan mencari tahu bagaimana hidup?
Banyak yang berkata begitu, tapi aku lebih ingin berupaya untuk tahu apa itu hidup.
Apa kau tetap ingin hidup di dunia yang dipenuhi penderitaan dan ketakadilan ini?
Pematung muda tampak ingin menjawab, tapi sesuatu di dalam dadanya menahannya, membuatnya tak dapat mengeluarkan kata-kata.
Baiklah. Begini. Apakah kau beranggapan, hukuman mati adalah suatu nasib malang?
Kematian mungkin pembebaskan; tapi kematian pula yang membatasi kebabasan . . .
Lantas, jika manusia bisa terbebas dari maut, apa yang akan terjadi?
Mungkin, ucap si pematung muda perlahan, manusia akan serupa dengan patung; dan itu bukan kebebasan. Sebab tubuh adalah cangkang; dan kematianlah yang membuat seekor kupu-kupu keluar dari kerangkeng yang mengekang.
Apa kau percaya pada kehidupan sesudah mati?
Sedikit, jawab pematung muda. Aku membayangkan bahwa selepas kematian ada sebuah hutan yang begitu lebat . . . , atau sejenis taman dengan aneka bunga. Dan aku ingin menjadi kupu-kupu di sana.
Apakah itu surga? Ataukah itu neraka?
Aku tak tahu; dan tak genap mau tahu. Apa setelah hal yang melelahkan ini masih ada jenis derita lain yang menunggu di Sana, atau ada sejenis bahagia? Aku tak tahu; dan tak genap mau tahu. Aku hanya ingin menjadi kupu-kupu, kupu-kupu putih kecil.
Kau percaya pada dewa atau sejenisnya?
Aku rasa, mereka itu ada. Namun, selalu kubayangkan, mereka kesepian, serupa dengan manusia. Keabadian tak bisa menyembuhkan kesepian, bukan . . . ? Sebagai seorang pembuat patung, aku cukup sering mendapati permintaan kuil-kuil, untuk membuat patung dewa-dewi. Selepas selesai, meski kurang rapi, saat sudah tampak ujud dewa tau dewi itu, aku senang sekali bertanya kepada mereka: Apa kalian bisa bunuh diri? Dan tentu, kau tahu, tak kudapati jawaban, tak kudapati jawaban . . .
Jadi, kau percaya bahwa manusia bisa menentukan nasibnya sendiri?
Aku ingat ucapan orang-orang yang mengatakan, bahwa meski keras berusaha, nasib sudahlah digariskan dewata, lebih baik menutup-satukan tangan, meminta nasib dimudahkan. Aku katakan pada mereka: Untuk apa sepasang tangan, bila tak diguna-gerakkan. Lagipula, dewa-dewa bukan penguasa, mereka hanya makhkuk agung saja. Aku yakin ada kuasa di atas mereka. Dan bila tak bisa menyelamatkan manusia, lantas apa bedanya iblis dengan dewa-dewa?
Air hujan dari luar masuk terbawa angin; dan pematung muda mengelap wajahnya!
Lalu, apa kau tak mendapat sebuah rmimpi—seperti pematung tua di masa silam itu?
Aku bermimpi.
Tentang?
Keberhasilanku memahat sebuah patung, patung dari sosok diriku sendiri . . . Aku memeluknya hangat, dan terbangun, dan mendapati deras hujan turun malam ini.
Apa kau punya seorang teman?
Pematung muda sesaat terdiam, dan berkata dengan pelan:
Saat di panti asuhan, aku tak memilikinya; anak-anak di sana beranggapan bahwa aku aneh. Aku hanya memiliki Guru . . . , dan patung-patung.
Kau sungguh-sungguh tak punya teman?
Sejenak pematung muda terdiam, pandang matanya jauh, lantas berkata:
Ada. Seorang. Dia adalah anak perempuan Guru. Anak perempuan Guru sebelum Guru memilih menjadi petapa—yang kerjanya hanya membuat patung dan patung, dan merenung. Ia selalu suka pada patung-patung yang kubuat, yang mengisi jalan-jalan di kota. Ia berkata, bahwa yang kubuat lebih bagus dari buatan ibunya; dan tentu saja aku tahu, bahwa ucapan itu hanya sebuah upaya membesarkan sesuatu yang oleh kebanyakan disebut hati.
Selepas berkata begitu, pematung muda tertunduk, terunduk begitu dalam . . .
Apa bulan sudah tampak? tanya sosok itu.
Pematung muda mengangkat kepala, melihat luar jendela, dan menggelengkan kepala. Pematung muda hendak tertunduk kembali, tapi terdengar ucapan dari sosok itu—
Sesudah balas dendam, lalu apa?
Hampa, jawab pematung muda sambil genap mengangkat kepala melihat sosok itu.
Lalu, kenapa kau susah payah melakukannya—jika akhirnya hanya hampa?
Karena aku merasa itu perlu kulakukan . . .
Kau tahu, bukan, bahwa balas dendam bukanlah soalan baik-buruk, bukanlah soal adil atau tidak adil; tapi soalan memuaskan nafsu. Dan kau tetap melakukan itu, meski tahu setelah dendam terbalas tuntas, hatimu akan kian kosong dan kosong, dan jadi hampa?
Ya, aku sudah membuat pilihan—
Pematung muda tak kuasa, dan dia pun berbaring; menjadikan tangannya sebagai bantal. Matanya tampak lelah, begitu lelah.
Apa kau menyesal membunuh pangeran?
Tidak—
Pematung muda terdiam sesaat, mengumpulkan kata-kata, lantas berkata:
Kalaupun aku mesti menyesali sesuatu, yang akan kusesali adalah kenyataan bahwa aku tak bisa menggenapi janji pada Guru sebelum ia mati, tak bisa melindungi anak perempuannya yang begitu baik dan senang memuji . . .
Tak ada pertanyaan lagi, suara hujan perlahan hilang, dan hanya hening-sunyi; dan hanya ada pematung muda yang terlelap begitu dalam, begitu dalam—
II
Adegan ini masih terjadi di sempit ruang tahanan kerajaan. Saat adegan ini berlangsung, hujan sudah benar-benar reda, dan hari sudah berganti sempurna. Seorang penjaga berbadan besar masuk, membuka pintu ruang tahanan, dan membangunkan pematung muda.
Ayoh! ucap penjaga itu lantang.
Pematung muda bangun dengan lemas. Penjaga itu membantunya dengan tegas. Penjaga itu segera mengikat kedua pergelangan tangan pematung muda. Pematung muda pun hanya mengikut; tak genap ada perlawanan. Pandang mata pematung muda tak lepasnya melihat sosok yang sedari malam ada di bawah jendela dan berhadapan dengan dirinya. Dengan lemas dan agak terbata, pematung muda itu berkata:
Tuan, apakah dia takkan dibawa juga?
Patung tak dapat dihukum mati, Nak, jawab penjaga yang baru saja menyelesaikan ikatannya. Ia akan tetap di sini, akan tetap dihukum di dalam sini—
Penjaga mengencangkan tali.
Tidakkah ironi, ucap sang penjaga merasa getir dan geli, kau pematung berbakat, berupaya menghidupi patung-patungmu, tapi malah membunuh seorang manusia. Apakah kau hendak berkata bahwa “Aku membunuh, maka aku ada!”? Konyol.
Dan pergilah si pematung muda dibawa sang penjaga. Di sempit ruang tahanan kerajaan hanya sepi; hanya ada sebuah patung yang memiliki citra serupa dengan si pematung muda. Tak lama, patung itu retak; dan kepala patung itu lepas, jatuh ke pangkuan tangannya sendiri yang tengadah.
Apa pangeran itu, ucap sosok itu terbata, masih layak disebut manusia?
(2019—2023)