Histeria di Hotel Pelantjong

DARI puncak ketinggian gedung berlantai tujuh belas, seseorang bakal terjun bebas.

***

Pertama-tama hanya satu, dua, lalu orang ketiga, keempat, setengah lusin pejalan kaki, lalu berkerumunlah saksi, beberapa kepala, memicingkan setiap pasang mata menuju satu titik hitam di angkasa. Langit kelabu. Lelaki paruh baya berpotongan pensiunan tentara yang tak lain pertama-tama memergokinya, sontak berteriak bagai komandan upacara, “Dilarang loncat!”

“Jangan lihat ke bawah ya Mas, Mbak!” yang lain melingkarkan jemari membentuk corong toa.

“Ingat keluarga. Sing eling!”

“Sebaiknya jangan gegabah.”

“Kejadian lagi,” gumam si penjual koran membelakangi stopan lampu merah.

“Ada apaan, Bang?” tanya seorang sopir angkot mendongakkan kepala bagai kura-kura.

Barno yang berdiri tak jauh darinya sedikit melonggarkan dasi, “Ada yang kepengin koit.”

“Emang enak koit?”

“Emang hidup selalu kalah, enak?”

“Laki, apa perempuan?”

“Nggak jelas.”

“Remaja tanggung?”

“Mana gue tahu.”

“Anak sekarang, ruwet sedikit mau koit.”

“Urusan cinta kali,” yang lain bisik-bisik.

“Mungkin.”

“Pinjol?”

“Bisa jadi!”

“Nggak takut dosa apa.”

“Siapa saja, tolong telepon polisi,” Dara, gadis manis kasir minimarket, meringis di balik kerumunan. Matanya berkaca-kaca. Ia menggigit ujung-ujung kuku dengan gelagat setengah risau. Jangan-jangan mantan pacarku, pikirnya lugu.

Barno mengeluarkan ponsel. Panggilan hendak tersambung ketika seorang petugas tiba-tiba sudah muncul di lokasi.

“Kijang 1. Kijang 1. Ada percobaan bunuh diri. Hotel Pelantjong di Kejaksaan.”

Hotel bukan sembarang hotel.

Sepintas memang kurang mencolok. Namun cukup strategis. Gedung yang lantai tiga belasnya diganti 12B ini rupa-rupa betul kejadian. Dua kali orang ditemukan mati. Sekali dibunuh. Sekali lagi bunuh diri. Sisanya; jadi tempat prostitusi, dagang sabu, penculikan anak, sampai locus delicti operasi tangkap tangan pelaku rasywah. Sarang penyamun sudah. Selidik punya selidik, pemiliknya mantan orang kuat. Kuat yang bukan seperti “obat kuat”.

Kabar terakhir santer menguak, gedung yang pernah menjadi latar film horor ini bakal diambil alih negara. Setelah bertahun-tahun, ternyata masuk kasus sengketa.

“Ayo maju, maju. Jangan bikin macet.” Petugas mengayun-ayunkan tangan, mengatur kendaraan yang berhenti.

Dara menatap nomor mantan pacarnya di layar. Ia tekan tanda menghubungi. Tersambung! Tapi tak ada jawaban.

Orang-orang masih mendongak ke langit seraya menodongkan ponsel masing-masing.

Barno menyingkir sesaat dari kerumunan. Bersandar di sebuah pohon. Menyulut satu-satunya rokok yang tersisa, embusan napasnya kian terasa berat.  

“Mungkin aku yang lebih pantas berdiri di sana,” dengusnya pelan.

***

Ia membayangkan tubuhnya melayang ringan seperti anai-anai. Bebas. Merdeka seutuhnya. Tiada konsep, tiada konsekuensi. Tak ada lagi yang mesti berarti. Habis cerita. Kembali. Tetapi kembali pada apa?

Sebelah kakinya menginjak tepian puncak. Angin menampar-nampar lembut. Sekawanan burung terbang menuju utara seakan meneroka—takdir kita selalu mengembara.

“Mbak, Mas. Dengarkan saya. Kalau ini persoalan uang, mungkin saya bisa bantu. Mari turun, semua bisa dibicarakan.” Suara kakek tua berkaus oblong, celana pendek, dan sendal jepit tiba-tiba memecah hening.

“Tak ada waktu. Kita harus berbuat sesuatu!” Lelaki berpotongan tentara menoleh kanan kiri.

“Terlalu tinggi.”

“Kita butuh matras atau kasur udara.”

“Pakai spanduk!” Lelaki itu menuding kain rentang panjang berisi wajah-wajah kontestan Pemilu bonus serba-serbi slogan.

Secepat anak kijang lolos dari terkaman, beberapa melesat, menurunkan spanduk-spanduk, baliho-baliho besar di tikungan jalan, pepohonan, di jembatan penyeberangan. Spanduk-spanduk itu lantas diikat, berlapis-lapis, saling berjerait satu sama lain.

“Akhirnya mereka guyub dan berguna,” seloroh pemuda berkaus lambang anarki.

Oke, mereka sudah siap posisi bila makhluk fana itu tetap nekat melompat.

“Semoga tidak obesitas. Semakin besar gaya gravitasinya,” sangsi seorang pria berkacamata.

“Setidaknya kita sudah berusaha. Ajal di tangan Tuhan!”

“Kalau tidak loncat, sembilan puluh sembilan persen dia tidak mati.”

***

“Kamu serius?!”

Perempuan itu mengangguk pelan di sisinya. Lantas memalingkan muka.

“Tapi kenapa?”

“Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku tak bisa mendengar seribu kali lagi ucapan ‘aku belum siap’.”

“Menikah tak segampang itu ….”

“Di duniaku, menunggu tak segampang itu.”

Ia gagal menyulut rokok yang terapit di kedua jari. Hening.  

“Aku akan bertunangan. Tiga bulan lagi. Orang itu Rio. Anak sobat karib bapakku.”

“Kamu cinta dia?”

“Cinta akan belajar.”

“Jadi, ini malam terakhir kita?” Melodi manis Cigarettes After Sex lamat-lamat terasa beku.

Perempuan itu semata-mata diam.

Dan ia lama-lama terisak, berlinang di balik temaram.

***

“Kita ini vendor langganan, kok bisa ke yang lain?!” Pak Boni mencak-mencak di ruangan rapat. 

“Infonya, semua pakai harga bawah, Pak. Kita ….”

“Picisan. Kualitas kita bukan kaleng-kaleng. Siapa sih kepala panitianya, harus saya yang urus?”

“Orangnya diganti, Pak.”

“Halah, mesti. Biasanya kan bisa di-handle.”

“Yang ini rada mumet, Pak.”

“Sudah. Pokoknya proyek di Kalimantan nanti wajib gol. Gagal lagi, kalian siap-siap angkat koper!”

Tiada interupsi. Semua kepala merunduk pasrah.

Bersungut-sungut Pak Boni melangkah menuju pintu. Lelaki itu hampir kepala tujuh. Namun geloranya masih empat puluh. Berkaus oblong dan celana pendek, ia mengitar di jalanan sekitar.

Selang dua blok dari pusat area bisnis, orang-orang terlihat berkerumun di depan sebuah hotel.

***

Pangkat terakhirnya sebelum dipecat dari kesatuan adalah Sersan Kepala. Kini ia hanya kepala keamanan di sebuah kompleks perumahan bersubsidi. Bukan soal bagi Ramdola.

“Setiap lini peran adalah tugas untuk mengabdi.”

Setelah kakofoni sembilan delapan, Bang Dola, panggilan akrabnya, seolah menghilang dari rekan sejawat yang lain. Ia sempat ditawari kerja oleh sang bos, tapi tak ingin lagi ada cerita bersama mantan pimpinannya itu.

“Saya ingin membuka lembaran baru. Demi kebaikan bersama.”

Oditur menuntutnya sepuluh bulan penjara. Ia terima dengan lapang dada. Kala itu posisinya serba salah. Perintah adalah perintah. Tak boleh dibantah.

“Kita hidup dalam struktur. Rantai kuasa.”

Tanpa titel jabatan, rekornya kini nyata mentereng: lima tahun bertugas tanpa satu pun warga kompleks dibobol maling!

“Sudah menjadi tugas saya melindungi warga dari segala ancaman dan gangguan.”

Di bawah ketinggian gedung berlantai tujuh belas, tugas itu kini memanggil naluri.

***

“Perkara patah hati kadang berbahaya.”

“Desakan ekonomi membikin orang hilang akal.”

“Mungkin dia manusia paling kesepian di dunia ini.” Suara-suara kerumunan kian membaur, menciptakan dengung.

Di tempat lain, Durak berkali-kali merogoh kantong celana. Pangkal pahanya bagai diserang gelitik alat kejut listrik. Diam-diam ia membuka layar ponsel; sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor Dara, mantan pacarnya.

Barno mematung mengenang mantan istrinya—Ana—yang memilih berpisah setelah tujuh tahun menikah. Anak-anak sekolah tergelak riang di trotoar. Bang Dola sibuk memimpin mitigasi. Juru parkir kebingungan menata kendaraan. Tukang copet kedapatan melirik-lirik kesempatan. Pak Boni memborong penjual es teh manis untuk dibagi-bagikan. Dara sekali lagi, mungkin untuk terakhir kalinya, menghubungi nomor di layar. Memanggil ….

“Halo.”

Deg!

“Halo, eehm. Kamu apa kabar?”

“Ada apa, ya.”

Sorry kalau ganggu.”

“Aku sedang kerja.”

“Aku di depan hotel.”

“Hotel mana?”

“Kamu masih kerja di hotel Pelantjong, kan?”

“Ya, ya.”

“Kamu masih marah?”

“Gimana, gimana.”

“Sekali lagi, aku minta maaf.”

“Sama-sama …”

“Kamu baik-baik aja?”

“Tak pernah lebih baik dan lebih bahagia dari sekarang.”

 “Oh, senang dengar kamu bahagia.”

“Semoga kamu juga, bahagia.”

“Kamu sudah ketemu seseorang?”

“Maksudnya?”

“Seseorang yang bikin kamu sekarang bahagia.”

“Oh. Ya. Ada.”

“Siapa, aku kenal?”

“Kamu nggak akan kenal. Dia orang baru. Ketemu begitu aja.”

“Siapa namanya?”

“Apalah arti sebuah nama.”

“Ayolah, aku penasaran.”

“Ana Karenina.”

“Namanya bagus.”

Jeda sejenak. Keduanya kini saling merasa asing.

“Omong-omong, tumben menelepon.”

“O iya. Aku lupa. Ada yang mau bunuh diri!”

“Hah, kocak. Jangan-jangan kamu pikir aku berniat bunuh diri setelah kita putus?” seloroh Durak.

“Kamu menangis.”

“Laki-laki nggak boleh menangis?”

“Di luar ramai kerumunan. Ada orang sinting mau lompat dari atap hotelmu!”

“Atap hotel ….”

Tiba-tiba Durak teringat sesuatu, “Pak Jarot!”

Panggilan terputus.

Durak bergegas lari menuju pintu darurat. Tujuh lantai lagi menuju puncak.

Sekitar sejam lewat ia sempat berpapasan dengan Jarot Bani Kesumah, bos, pemilik hotel di area tangga darurat. Gelagatnya ganjil. Sang miliarder berdalih hendak merokok meski siapa pun yang mengenalnya mafhum, Jarot sangat olahragawan. Marak isu liar menggelinding belakangan ini. Ia tak lagi semringah dan antusias seperti biasa. Raut wajahnya berubah seperti kepalan koran renyuk yang tak mungkin mampu diselamatkan.

Selangkah lagi, akhirnya sampai.

“Semoga belum terlambat,” Durak terengah-engah.

Pintu didobrak.

Jarot terlihat sedang asyik berswafoto di antara gedung-gedung pencakar langit.

Bojongsoang, Januari 2024

Bagikan:

Penulis →

D. Hardi

Cerpenis, Proletar rileks, tinggal di Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *