Judul Buku : Khalwat Penulis : Sofyan RH. Zaid Penerbit : Taresia Cetakan : Februari 2024 Tebal Buku : 82 halaman ISBN : 979-623-88638-5-3
SOFYAN RH. Zaid termasuk penyair yang disiplin menjaga nada dalam puisi. Senarai karyanya memperlihatkan obsesi musikal yang akar notasinya maujud dalam pemilihan kata-kata yang membentuk nada. Pagar Kenabian adalah salah satu karyanya yang paling terikat oleh nada karena tipografinya berbetuk nazam. Berbeda dengan itu, buku puisi terbarunya yang berjudul “Khalwat” lepas dari bentuk nazam, menawarkan struktur yang semi asimetris dan kontemporer, tapi tetap menggunakan nada sebagai energi utama sekaligus titik deferensiasi yang membedakan dengan karya-karya penyair lain.
Puisi-puisi dalam Khalwat menekan pada kehadiram bumbu-bumbu sajak yang rapi dan gemuk makna, tapi Sofyan juga tak abai membangun komposisi estetika melalui metafora-metafora segar sekaligus mengatur keseimbangan diksi yang prismatis dengan yang filosofis.
Di buku ini, Sofyan seperti berupaya menciptakan jembatan penghubung antara puisi dan sajak, perangkat diksi yang dibangun melahirkan realitas subtil antara puisi dan sajak; seolah ada gen hibrid dari keduanya yang kadang terasa sebagai sajak, kadang terasa sebagai puisi. Tetapi hal itu bukan sebuah inkonsistensi, melainkan sebuah upaya kerja kreatif untuk menjangkau bentuk kebaruan, dan yang lebih substantif adalah demi menjangkau jiwa pembacanya. Karena sajak dengan kekuatan nadanya, bakal menimbulkam kenikmatan auditif yang lebih menjalur ke medan batin, sehingga penghayatan mudah dilakukan.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian memang tidak menonjolkan tema tertentu secara spesifik, ini bagian dari strategi untuk mengajak pembaca tak terperangkap pada konsentrasi yang monoton, namun meski tak ditonjolkan dengan spesifik, setiap bagian tetap memiliki tendensi yang mengarah pada cakupan tertentu. Per bagian bisa diklasifikasi seperti ini; bagian pertama, lebih memperlihatkan bahasan pada wilayah domestik si penyair secara personal. Bagian kedua mulai merambah lebih luas ke wilayah sosial, dan bagian ketiga jauh lebih meluas lagi ke wilayah global.
Bagian pertama, Khalwat Pertama (12 puisi). Puisi-puisi di dalamnya mayoritas menghadirkan ruang permenungan spiritualitas antara aku-lirik dengan Tuhan; melambangkan sebentuk relasi suci antara realitas imanen dengan realitas transenden, (milikmu alir/di sungaimu aku air, “Bismillah”, halaman 1). Selain itu, terdapat unsur sufisme dan kepasrahan aku-lirik yang melepas fitur egosentrisnya pada upaya kepasrahan pada Sang Pencipta melalui simbol-simbol yang hiperbolis tapi tetap terkontrol dengan estetis (sungai terpanjang setelah nil/adalah rinduku, “Tasawuf III”, halaman 14).
Sisi estetika lain yang ditawarkan Sofyan di bagian pertama juga terlihat pada puisi yang berjudul “Manakiban, halaman 17” (ketika bumi tidur/aku terjaga….hingga hidupku/kenyang oleh lapar). Di puisi ini Sofyan dengan cermat menyajikan klausa dan kalimat paradoks sebagai media untuk menguatkan sentuh simpul garis-garis imaji dengan substansi yang hendak disampaikan. Sepintas ia terlihat seperti hendak bermain-main dengan menyandingkan sepasang kata berantonim pada struktur diksi yang pendek, tapi sebenarnya ia sedang mengetengahkan sebentuk perkawinan kata dalam pelaminan diksi sehingga apa yang sebelumnya kontradiktif diubah jadi harmonis, dan begitulah seni, mesti harus bermutasi secara inovatif pada yang baru, agar tak kaku dengan melulu menetap pada yang lalu.
Bagian pertama buku ini ditutup dengan puisi yang super pendekdengan judul “Tuhan, halaman 18” yang isinya cuma berbunyi, “tahan”. Dua kata monomorfemis yang dipasang sebagai judul dan isi tersebut lahir dari dasar pertimbangan bunyi. Keduanya memiliki bunyi yang mirip. Namun sebenarnya tak semata alasan bunyi. Bila dikaji secara semantik leksikal, leksikon “tuhan” dan “tahan” memiliki makna pada partisi yang beda jauh. Namun keduanya bila ditarik sebagai medan bahasa yang seatap dalam tema tertentu, sebenarnya antara leksikon tuhan dan tahan memiliki garis koherensi walau tidak bertalian secara zahir. Sebab pada alam spiritual, manusia yang mengenal Tuhan, mestinya ia memang harus menjadikan “tahan” sebagai implementasi ubudiyah, yang berfungsi pada upaya pengekangan pada kecenderungan-kecenderugan duniawi yang egois dan destruktif. Seorang hamba yang sudah menjadikan Tuhan sebagai andalan segala hal, maka ia akan memosisikan dirinya sebagai objek pasif yang tak layak untuk menggembalakan segala hasratnya. Di sinilah kata “tahan” secara semantis terkoneksi dengan kata “tuhan” dalam pola ketersambungan teologis antara Makhluq dan Khaliq. Dalam puisi tersebut, Sofyan dengan cermat bisa menautkan leksikon “tuhan” dengan leksikon “tahan” secara koheren lewat puisi pendek yang seolah pelit dan irit makna, padahal puisi tersebut sebenarnya mengandung makna yang kompleks dan universal.
Permainan nada dengan bunyi aliterasi dan asonansi kian jadi pemanis bagi puisi-puisi di bagian ini. Di sini, Sofyan terus menimang spirit kehambaannya dengan menghadirkan konstruksi teks dengan muatan sufisme yang menegaskan bentuk relasi vertikal antara ia dan Allah.
Bagian kedua, Khalwat Kedua (berisi 12 puisi), di bagian ini ada sedikit alih haluan kontstruksi kata ke arah yang prismatis dan temanya lebih meluas ke segmen sosial. Melalui diksi-diksi yang metaforis, pembaca diajak berpikir dengan lensa interpretasi personalnya agar yang bersangkutan turut hanyut, memecah garis alienasi, dan menemukan maknanya sendiri dalam puisi. Sofyan mengemas pesan autentiknya ke dalam pelukisan-pelukisan yang memantik respon kreatif dari pembaca. Puisi “Banquet, III” halaman 21 adalah salah satu contohnya: aku terus berjalan tanpa tahu arah/resah yang kutabur jadi warung/bulan pucat mengintip dari balik gedung/sesekali aku menunduk ke bumi/mendongak ke langit/mataku penuh gerimis.
Di bagian kedua ini, tema-tema sosial terus dihadirkam dengan ragam diksi yang dikemas sedemikian berwarna. Penggunaan bahasa daerah (Madura) juga digunakan untuk membangun citra estetik yang menjurus kepada kekuatan pesan, walaupun hanya satu kata, namun hal tersebut menunjukkan representasi nilai etnik yang apabila dijadikan sebuah judul, akan berpotensi mencipta pengaruh batin yang luar biasa bagi pembaca. Judul puisi yang menggunakan kata “Songkem” pada halaman 29 diambil dari bahasa Madura. “Songkem”, memiliki arti menghormati yang lebih tua atau orang-orang terhormat lainnya seperti kiai, guru, dan putra-putrinya. Biasanya dipraktikkan dengan cara berjabat tangan; mencium punggung tangan orang tersebut. Maka pemilihan judul “Songkem” secara implisit mewedarkan substansi isi puisi tersebut sebagi persinggungan etika dalam frame hubungan holistis, lebih dari sekadar hormat biasa yang diekspresikan dalam bentuk jabat tangan ala kadarnya. Kata itu diambil untuk mempertegas dinamika sosial yang dilandasi perangkat-perangkat etika, dalam konstruksi kultur yang luhur. Diksi paling memikat di puisi tersebut ada pada bait keempat; “sulut damar dalam dadamu/seredup apa pun itu/bukan untuk gelap/tapi sebagai tanda/kau ada dan terlihat”. Bait ini menggemakan suara kemanusiaan yang layak diresapi dalam rangka menata sebentuk eksistensi dalam interaksi sosial. Analoginya adalah laiknya orang tunanetra berjalan di malam hari sambil membawa lentera, hal itu memang tidak berfungsi untuk bisa membuat dirinya melihat, tapi hal itu bisa membuat orang lain melihat kepada dirinya, sehingga—paling tidak—si tunanetra tak ditabrak oleh orang lain, atau mungkin bisa ditegur oleh orang lain ketika hendak menabrak sesuatu.
Di bagian ini, Sofyan secara tematik memang lebih mengarahkan sentuhan sufistiknya pada kehidupan sosial. Diksi yang dipilih seperti sengaja jadi fitur perangkap bagi pembaca untuk mengkaji ulang jiwa kemanusiaanya; agar lebih fitri dan berempati, bukan sebaliknya; bertindak binal dan berandal, (matahari itu/matahari yang terbakar/gairah saat kita saling memandang/bukan sebagai binatang, “Matahati Matahari”, halaman 32). Selain itu, Sofyan juga mengupas pola interaksi sosial masa kini yang lebih didominasi oleh kekariban pada teknologi, hingga nyaris mengabaikan etika berinteraksi yang substantif antarmanusia, (saat tangan sama-sama meraih gawai/dan mulai saling abai, “Simulakrum”, halaman 33).
Bagian ketiga, Khalwat Ketiga (berisi 12 puisi). Di bagian ini, kupasan yang disampaikan lebih ekspansif dan lebih meluas pada yang global. Hingga di bagian terakhir ini Sofyan juga masih khusyuk memainkan nada sebagai energi musikal yang memikat. Sebagai upaya menghindar dari jebak monoton, ia menghadirkan tokoh-tokoh dunia untuk menumbuhkan keberagaman agar ada sedikit nuansa berbeda dengan bagian yang sebelumnya. Ia menyebut nama-nama Fromm, Sastre, Sidharta, Marx, Rumi, Farobi, dan lainnya sebagai kelindan estetis sekaligus media untuk mempertegas, mengukuhkan, dan mempertajam diksi yang disampaikan (sementara marx dengan das capitalnya/berderap dari barat mendahului abad/yang berlari di alis malna, “Alien” halaman 41). Di bagian ini juga tersimpan diksi-diksi yang mengarah ke bentuk jukstaposisi, tapi oleh Sofyan diolah dengan cara yang semi untuk melawan realitas klise. Pertanyaan-pertanyaan retoris juga dibubuhkan sebagai kanal strategis untuk menyampaikan pesan, (bukankah tidur tak menjamin/kita bangun/dan bertemu lagi? “Sebelum Tidur”, halaman 59).
Buku ini secara keseluruhan menampilkan sintesis yang apik; dimana tema-tema sufi—yang dilukiskan dengan beragam diksi—dipadu dengan konstruksi nada yang musikal sehingga selain enak dibaca, juga mudah meresap ke dalam jiwa. Mungkin inilah titik pencapaian yang diinginkan Sofyan, sebagaimana yang ditulis di mukaddimah buku ini “aku kini mengemis padamu/apa yang pernah diminta musa/tapi kau berikan pada muhammad”.