Doa untuk Tanah yang Dilenyapkan, di Mana pun
1.
Untuk Gaza kami berdoa:
Ya, Allah, lunakkan perut bumi yang digali para pejuang
Seperti lambung istri dan usus anak-anak mereka
yang kosong tak berisi sekerat roti.
Di antara reruntuhan mereka bertahan
Dalam haus, lapar, luka-luka dan kematian.
Di bawah tanah para lelaki menggali dan terus menggali
Menyimpan amunisi. Mengatur strategi.
Dan setiap kali mereka naik berperang
Seakan mereka naik ke langit Gaza yang terang
Menjumpai istri-istri mereka telah menjelma jadi bidadari
Dan anak-anak mereka adalah malaikat-malaikat kecil
menyambut mereka di pintu kemenangan—mulut terowongan
yang diberkahi. Aamiin.
2.
Di sini, di tanah warisan dan hutan ulayat Indragiri
kami pun berdoa untuk segala yang dibinasakan
dan direnggutkan mesin-mesin raksasa yang kejam
Semua kini berganti pohonan palem berduri
Semacam kurma atau zaitun dengan mahkota duri
Dan kami menanti, ada, ada yang akan jatuh
ke bumi, dan kami akan mendapat kembali
tanah ulayat dan situs-situs keramat
yang diberkati. Aamiin.
/Yogya, 2023
Huma dan Api
Katakan padaku, bagaimana memisahkan huma dan api?
Moyang Mentawai bakar umbi dengan api.
Orang Papua bakar batu dengan api.
Orang Indian membuat isyarat asap
dari api. Maka di sini, di luak Talang Mamak Indragiri
Begitu hutan dibuka, belukar semak dirambah dengan upacara melambas
dan kayu-kayu ditumpuk sepenuh lahan, api akan dinyalakan
dalam ritual mamaron, memohon restu ruh nenek moyang
|bikin abu jadi humus, pupuk alami bagi benih tanaman
siklus hidup yang diwariskan berabad-abad:
Ubi dan labu, jagung dan jawawut serta padi yang akan ditugal
sebentar lagi. Api menghanguskan ranting dan daun-daun
onak dan duri; hingga gemburlah tiap jengkal tanah
dan setiap petani dengan riang gembira
Memasukkan benih ke lubang tugal sambil menyimak
Nyanyian alam.
Jadi bagaimana bisa kau memisahkan huma dan api
Dan menyamakan lahan petani kecil dengan kebun sawit seluas bumi?
Jawablah dengan hati dan aturan yang layak dimengerti!
/2024
Dua Kota Kecil
Belilas, kota kecil yang bergegas
di jalan lintas timur Sumatera
Air Molek, kota yang terus bersolek
di jalur lama perantauan
dan jejak menyedihkan
perang saudara.
Inilah dua kota kecil
orang-orang adat Talang Mamak
di sepanjang sungai Indragiri
Di mana mereka membangun jejak
Tak sekedar transaksi jual-beli
Tapi juga membuat jarak
Antara rindu dan benci.
Sebab dari kedua kota ini
Mesin-mesin menderu
Masuk ke jagad hutan ulayat. Kemaruk.
Tapi ke kota ini pula anak-anak mereka
pergi mencari cangkul, pupuk
dan benih.
O, kehancuran dan pertumbuhan
Sama bermula dari sini!
/2024
Lagu Setampang Benih
Tak ‘kan hilang benih di ladang
Tak ‘kan hilang batin dan kumantan.
Selagi langit dan bumi bermesraan
Dalam ritual dan upacara persembahan
Batin akan memimpin adat dan ulayat
Kumantan akan memanggil roh-roh keramat.
Batin memimpin dengan bulir-bulir padi warisan
Mengenyangkan sekalian mereka yang hidup
Kumantan memanggil roh nenek moyang
dengan benih padi lama tersimpan
Memuliakan sekalian mereka
di ketenangan dunia sunyata.
Maka bulir-bulir keemasan berkilau di langit
menyalakan segala yang redup di bumi
Benih disunggi dan ditugal di huma-ladang
Maka sehampar bumi hijau mengekalkan
benih hidup yang ditanam.
Begitulah siklus ritual setampang benih
di luak-luak Talang Mamak. Selagi upacara dan ritual
memesrai langit dan bumi
Tak ‘kan hilang benih kemuliaan
Tak ‘kan hilang batin dan kumantan
Begitu titah leluhur, begitu sabda alam.
/2024
Catatan:
Batin: pemimpin masyarakat adat Talang Mamak.
Kumantan: pemimpin ritual masyarakat adat Talang Mamak.
Luak: pembagian wilayah setingkat kampung.
Bulan di Atas Rawa
Bulan, si purnama molek
Bersolek di atas ruko dan atap rumah-rumah
kota kecil Air Molek
Aku terkenang: adakah bulan yang sama
Begitu juga sekarang, memancar indah
Di luak-luak Talang Mamak
Tempat anak-anak pesta cahaya
di halaman rumah?
Tidak, kurasa. Sebab bulan akan setengah gigil
Bertengger di balik pelepah-pelepah sawit buruk rupa
Bagai lengan butha kala mengulurkan jemari
Menjangkau rembulan untuk dimangsa.
“Gerhana, gerhana!”
Sayup terdengar alu lesung bertalu
Mengusir raksasa-raksasa itu agar menjauh
Tapi nyatanya bulanlah yang terusir pergi
ke atas rawa-rawa sepi. Sinar terakhirnya
diserap perigi dangkal dekat kuburan.
Bulan molek di atas Air Molek
Tergolek di ranjang pengantin
Bulan bulat separoh memar
Terapung di atas rawa Talang Parit
yang terkepung parit-parit sawit.
“Menyerahlah, besok pagi
rawa-rawa ini akan dikeringkan,
tak ada lagi yang boleh bercermin
di atasnya, bahkan untuk sekedar
mendengar pungguk merindu bulan!”
Kudengar sesuara, bergema dalam kepala
Sejak itu aku tahu, bulan di kota dan bulan di desa
Beda nasib saat purnama.
/2024
Di Kedai Kopi Nirwana, Air Molek
sebaris puisi mengepul ke udara
aroma dan rasanya
adalah kejernihan bahasa
yang diaduk kata-kata
sejak semalam suntuk.
sebuah menara masjid tegak
di pasar lama, persis di seberang muka
kedai kopi nirwana
baris puisiku bangkit ke sana
dan menyepuh puncaknya
dengan gairah kata pertama.
di dalam kedai, kursi-kursi kosong terisi
dari mereka datang dan pergi
bergelas-gelas kopi di meja
separoh kosong separoh isi
dalam permainan teka-teki
pahit manis dunia ini.
o, ingin kutandaskan kopiku hingga dedak
tapi waktu mencegahku tak buru-buru
maka kunikmati pula kue-kue di piring
sambil menghikmati gelas sendok berdenting
dan senyuman mekar di wajah-wajah tak kukenal.
tanpa perlu berjabat tangan
semua telah mengenal lebih dari yang tampak
cakap berpiuh dari meja ke meja
gelak tawa terbagi rata antara sahabat baru
dan kawan lama.
saat matahari mulai miring ke kiri
baris puisi tak mengepul lagi
ingatanku telah mengendap
dingin di dasar gelas.
dedak kopi telah menjadi lumpur hitam
pekat dan peram, tapi selalu
akan melumuri kaki dan tanganku
sebagai isyarat dan tujuan perjalanan
menjemput puisi paling pahit
ke jantung pedalaman
yang belum sepenuhnya aku kenal.
/2024