Di dalam Gelap


TUHAN telah menyirami dunia dengan kebaikan. Tapi kau menghujani bunga dengan bisa yang membuatmu binasa.

Mimpi yang seolah nyata. Cahaya matahari menerobos melalui sela-sela dinding kayu. Sinarnya mengusap lembut wajahku, membuatku seperti disinari lampu bohlam lima watt. Ayam berkokok terdengar bersahutan, bak sekumpulan melodi tak teratur. Kicau burung saling berbisik di balik pohon jati, menambah kesan syahdu di musim semi.

Mimpi. Dunia ini serasa mimpi. Berkali-kali aku membandingkan mimpiku dengan kondisi realitas di sekitar. Tubuhku dipukuli dengan rotan besar, ditendang hingga perutku perih. Sosok pria berbadan tegap dengan senyum di bawah kumis panjangnya. Aku melihatnya dengan samar, bogem mentah serasa mendarat dengan anggun di atas bola mataku. Aku kesakitan. Pikiranku berusaha menyugesti tubuhku, mencoba agar badan kaki ini setidaknya tampak tegar di hadapan orang-orang bertubuh kencang. Kalaupun fisikku roboh serupa tiang tanpa penyangga, setidaknya masih ada tekad.

“Tekad adalah bara yang tak terlihat,” kata guruku saat akan memulai sesi latihan. Waktu itu aku tidak tahu apa maksud ucapannya, tampak seperti guru yang mengajari balita menjahit.

Pemuda adalah elemen berharga suatu bangsa. Pemuda seperti diriku adalah permata yang kini diperlukan untuk melawan segala bentuk kejahatan kemanusiaan. Penjajah yang kian buas. Komitmen pemuda mampu mengusir penjajah dari muka bumi.

Hari ini, pertengahan abad 18. Secarik makna ‘merdeka’ yang kami impikan membawaku ke tempat terkutuk ini. Aku ingat dulu Bapak mengobarkan semangat arek-arek kampung petani miskin untuk turut berkontribusi memerdekakan negeri.

“Kalian para generasi muda adalah penerus perjuangan kami. Jika kami tidak dapat menjemput merdeka, maka kemudian giliranmu yang meneruskan cita luhur kami.” Keesokan harinya Bapak beserta geng kecilnya pergi ke kota dan bergabung dengan para elit nasionalisme. Mereka akan melakukan hal ‘gila’ dengan membawa bambu runcing dan sebilah badik.

Bapak meninggalkanku dan adikku yang masih kecil. Dia keras kepala mengabaikan perkataan Ibu. Memang sejak dulu Bapak berambisi mengusir antek-antek penjajah yang menjarah hasil panen kami. “Aku bisa menjaga anak-anakku seorang diri, Pak. Bapak teruskan saja apa yang panglima serukan hingga suaranya menembus hutan belantara. Panglima butuh orang pemberani seperti Bapak,” ucap Ibu pasrah.

Cerita Bapak berakhir di sini. Ibu berpendapat bahwa Bapak telah tewas. Berita tentang kekalahan pemuda di kota sudah terdengar di telinga kanan Ibu. Sudah sepuluh tahun Bapak tidak kembali lagi ke rumah. Tapi cerita heroik Bapak tak akan selalu terputus. Cerita itu selalu mengalir setiap hari. Ibu selalu menarasikannya sebagai dongeng pengantar tidur.

Suntikan Ibu itulah yang membuatku membenci penjajah. Ketika menginjak dewasa, aku bergabung ke dalam organisasi pemuda. Sial, di hari pertama perlawanan aku beserta elite terbaik organisasi tertangkap oleh penjajah.

Tongkat panjang menampar betisku dengan sangat lembut. Sangat halus, bahkan aku bisa merasakan bagaimana cairan merah itu keluar dari tempatnya. Aku bisa meraba rasanya, perih. Aku bisa mencium aroma bekas luka yang mulai mengeluarkan tinta merah. Terasa harum seperti wangi semerbak bunga mawar yang baru diperas.

Aku bisa merasakan. Aku bisa meraba. Aku bisa mencium dan mendengar orang-orang yang tampak berunding di atas meja bundar. Tanganku terikat, mataku tertutup karung goni. Bau amis masuk melalui rongga hidung, membuatku ingin muntah dan mengeluarkan isi makanan yang kumakan tadi pagi. Pengap. Ruangan ini sumpek, sangan minim ventilasi.

Terus terang aku mengutuk tempat ini. Aku mengutuk semua orang yang ada di sini. Aku mengutuk William, pria berkumis tebal itu sekarang adalah musuhku. Tatapannya buas bak singa sedang mencari mangsa. Senyumannya brutal bak piranha sedang mencabik-cabik daging. Perkataannya, aku tidak bisa membandingkannya seperti apa. Sadis seperti psikopat yang sedang bereksperimen di lab sederhananya dengan korban di balik kain putih. Licik seperti koruptor yang berporah-porah dengan setengah gelas anggur di meja. Biadab seperti pemimpin yang membinasakan etnis minoritas. Aku tidak bisa membayangkan pria berkumis tebal itu. Dia adalah yang paling licik dari selicik-liciknya licik.

Pria itu, seperti menghampiriku. Dia memukul hidungku dengan tangannya yang kasar. Aku bisa mencium aroma tangannya yang tertinggal akibat hantaman yang mengenai lubang hidungku. Sungguh miris, berkali-kali aku menganggap dia adalah setan.

“Tekadku tak akan pernah padam,” berkali-kali aku mengulang kalimat itu di hadapan ibuku dan Ahmad. Aku mengucapkannya dengan penuh gaya seperti letnan yang sedang naik pangkat.

Aku memiliki semangat seperti ayahku. “Kamu adalah bakal pembebas Serambi Mekkah dari cengkeraman penjarah, dari cakaran penjajah yang kian buas,” ucap Bapak kepadaku di balik caping yang terpapar bau matahari.

Semangat itu…kini memudar. Aku tidak bisa melihatnya lagi. Hilang begitu saja, lenyap dan sama sekali tidak bisa kucari. Aku pasrah dengan semuanya. Pasrah dengan keadaan yang membawaku ke tempat terkutuk ini. Semangat itu tidak bisa diganti dengan apa pun, sekalipun kupertaruhkan semua yang kumiliki.

Aku mengutuk keadaan. Semangatku lenyap karena keadaan, layaknya secuil kapur barus yang terlalu lama di bawah sinar matahari. Tuhan, engkau telah memberikan semangat itu kepadaku. Karena terlalu angkuh, membuatku gelap mata. Kini, Tuhan telah menarik kembali semangat itu, membuatku harus memutuskan perkara yang amat genting: memberitahukan rahasia besar kepada musuh atau merasakan noda merah mengalir dari jantung.

Tuhan, jarak kita begitu dekat. Tanpa penghalang.

Pria berkumis panjang itu, tertawa sinis di balik sikap ramah yang dulu berusaha merayu dan membujukku untuk membuat semacam aliansi. Penghianat! Aku muak mengingat semua kenangan itu. Omong kosong persahabatan ini. Kau telah menunjukkan siapa dirimu sesungguhnya, dan aku tertawa dengan hal konyol yang dulu kulakukan. Ya, mengenalmu adalah hal konyol yang kusengaja.

Aku bisa melihat melalui celah pada karung goni. Mulutku dibebat dengan kain yang baunya seperti bangkai. Sekali lagi aku bisa melihat kumis orang itu. Dia berhenti tertawa. Puluhan prajurit berada di belakangnya, bak seorang ratu semut yang dikawal ketat oleh pasukan semut.

Apa maksud dari semua ini? Tidak ada pilihan lagi, aku harus menemukan bara itu.

Bara itu redup, aku melihatnya dengan samar melalui pikiranku.

“Semangat!”

“SEMANGAT!” tak ada lagi kalimat itu. Tak ada guruku yang selalu membesarkan hatiku dengan satu-dua kalimat sederhana. Tidak ada lagi hal yang bisa diperbuat.

Aku tak tahu arah. Gamang. Aku hanya menunggu kapan besi tajam itu membelah jantung. Aku hanya menunggu kapan jiwaku bisa terbang bebas, melayang bersama angin yang membawaku ke atas langit.

Ujian ini sudah selesai. Aku terhenti di aksi pertama sekaligus yang paling akhir. Aku masih ingat betul, tragedi yang baru saja menimpa diriku. Pikiranku terlalu pusing untuk mengingat semuanya.

Tidak. Aku tidak akan keok atas keadaan. Aku sungkan dengan Bapak yang memberikan seribu effort untuk membangkang penjajah. Aku sungkan dengan Ibu yang selalu menyiapkan empat piring di meja makan dengan berkata, “kapan Bapak pulang?”

Aku tak akan membuat pengorbanan Bapak menjadi percuma. Bapak adalah hero kampung dengan caping butut yang bau matahari. Di balik caping lusuh itu tersembunyi gagasan dan perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak kaum pribumi dari cengkeraman penjajah. Aku ingat betul kisah perjuangan Bapak yang sering Ibu sampaikan sebagai bahan mendongeng. Aku ingat dengan gamblang waktu Ibu bercerita:

Siang hari dengan cahaya matahari yang menyengat jalan-jalan setapak di kampungku. Bapak-bapak dan para tetua kampung sedang berkumpul di satu titik. Mushola berdinding anyaman bambu di samping pos ronda tampak hampir roboh. Bapak khawatir kalau satu-satunya bangunan suci itu ambruk tertiup angin sepoi-sepoi.

Tidak ada seorang pun yang peduli akan keselamatan bangunan surau kecil itu. Meskipun setiap hari dipakai untuk sembahyang berjamaah, hanya Pak Bin yang selalu menyapu area sekitar surau. Tidak ada iuran bulanan untuk perawatan pondok tempat sembahyang itu. Satu-satunya upaya untuk merawat surau itu adalah dengan mencomot isi gudang-gudang milik para penjarah. Hasil dari jarahan tersebut bisa kami gunakan untuk memperbaiki surau. Rutinitas itu memerlukan tenaga dan pemikiran ekstra. Setahun lalu, ketika para penjarah sedang sibuk mengurusi peperangan di tanah Tapanuli, Bapak dan para tetua kampung melaksanakan ‘uji nyali’ dengan merampok gudang yang konon katanya dijaga super ketat. Tetua kampung keliru menafsirkan, masih ada belasan pasukan penjarah yang tampak seperti menanti tikus memasuki jebakan. Mereka tahu apa yang akan Tetua lakukan. Pelatuk sudah siap ditarik, salah seorang penjarah sedang menanti momen. Sementara pasukan yang lainnya mengepung dari luar. Ketika Bapak dan penduduk kampung mulai memasuki kandang singanya penjarah, beberapa pasukan militer dengan tatapan buas membuntutinya dari arah belakang.

Sial! Benar-benar sial. Waktu sama sekali tidak bisa dikatakan bersahabat. Saat Tetua sedang mengangkut sekarung beras di atas punggungnya, tiba-tiba tubuhnya ambruk ke tanah. Menyeka keringat merah yang keluar dari rongga dada. Seonggok peluru bersemayam di inti dadanya. Jiwa Tetua melayang bersama roh-roh perwira terdahulu yang gugur.

Situasi semakin sengit. Pasukan singa menang persenjataan. Tapi itu tidak menyulutkan bara yang ada di jiwa Bapak. Dengan langkah tertatih dia menusukkan sangkur yang dari tadi menempel di tangan kanannya. Satu ‘komplotan singa’ tumbang seketika, tinta merah keluar dibalik seragam cokelat-cokelat.

Bapak adalah insan yang mencintai perdamaian. Dia membunuh tentara penjarah itu karena keadaan, ucap Bapak saat aku interogasi. Kemarahan pasukan ‘Singa Merah Putih Biru’ semakin di ujung mulut. Satu anak buahnya telah gugur. Mereka mengeluarkan senapan-senapan dengan ukuran bervariasi. Dan seperti kisah perompak-perompak Karibia di film fiksi, pertempuran kecil pun dimulai. Tadi Bapak menukar sangkurnya dengan beceng milik komplotan yang tubuhnya ambruk ke tanah. Senapan tersebut tegak lurus mengarah ke siapa saja yang akan mencelakai penduduk kampung.

Tidak digubris sama sekali. Aksi Bapak saat itu adalah parade kesia-siaan. Beberapa tangan kanan Bapak mulai mengangkat sangkurnya. Suara takbir pecah diiringi suara tembakan ke udara. Bapak menarik pelatuknya ke udara dengan harap agar tidak terjadi peperangan. ‘Aku hanya ingin perdamaian. Tanpa permusuhan, tanpa rasa benci, tanpa iri hati, dan tanpa ada lagi siapa pun yang harus mengakhiri nyawanya. Posisi kita setara, apakah kalian ingin anak buahmu tersungkur sia-sia di sini?’ ucap Bapak dengan lagak sok bijak.

Mau apa pun situasinya, Bapak adalah orang yang paling bijak seantero kampung. ‘Otak Kampung’, itu julukan yang Tetua berikan kepada Bapak. Waktu itu Bapak hanya tersenyum simpul sembari mengeratkan temali saat bahu-membahu membuat kincir air. Bapak dengan buah pikirannya berhasil menciptakan rancangan desain kincir air. Itu sama sekali bukanlah desain kincir air konvensional untuk pembangkit listrik. Kampung terletak di perbukitan dengan lereng-lereng terjal. Sungainya dibatasi cadas setinggi empat meter. Untuk naik-turun sungai hanya ada satu tangga yang terbuat dari seutas tali. Dengan senyum di balik caping miringnya Bapak memamerkan hasil rancangan kincir air. Perjanjian tidak tertulis disepakati di tengah balai pertemuan kampung. Esoknya proyek membangun kincir air dibuat untuk keperluan irigasi. Kondisi permukaan tanah pertanian di kampung lebih tinggi empat meter dibandingkan permukaan sungai. Mimpi mengairi sawah dengan air sungai adalah perkara yang sangat mustahil. ‘Otak Kampung’ bersama Tetua dan penduduk laki-laki lainnya mulai membuat kincir air. Bambu dan tali disiapkan. Tetua sudah menyiapkan semen dari kota. Ibu-ibu tengah sibuk menyiapkan kudapan makan siang. Anak-anak kecil membantu mengumpulkan batu—sebagian besar malah main air. Lima jam berkutat dengan tali, simpul, bambu, dan alat-alat lain, akhirnya eksekusi terakhir yang dinantikan telah tiba. Ramai sorakan. Tetua memuji ide brilian Bapak. Empat kincir air selesai, ditempatkan di ketinggian berbeda. Air memasuki ruas bambu yang telah dipotong sedemikian rupa, lantas bergerak naik dan naik. Air tersebut kemudian jatuh dan ditangkap ruas bambu pada kincir air yang kedua. Begitu seterusnya hingga mencapai permukaan. Irigasi mulai bisa dikembangkan dengan membuat aliran air menuju sawah-sawah penduduk. Kini pertanian tidak lagi bergantung pada nikmat Ilahi yang turun melalui butiran-butiran hujan.

Hingga kini otak encer Bapak masih dipraktikkan, bahkan di situasi genting sekalipun. Melihat Tetua yang tak mampu membuka matanya, sebuah titik kesadaran muncul melalui kotak-kotak pikiran Bapak. Kemanusiaan, berperang, ambisi, peperangan, akan terus meneror peradaban hingga akhir zaman.

Setiap manusia menginginkan perdamaian. Manusia adalah sebaik-baiknya makhluk. Maka jikalau terjadi pertumpahan darah, itu sama sekali bukan polah manusia, melainkan dedemit yang menyamar.

Tuhan mengirimkan kesadaran itu pada kotak-kotak pikiran Bapak. Dengan tenang dia menurunkan pistolnya, menimbulkan kebimbangan pada hati pasukan pemberontak di bawah pimpinan Tetua. Kita telah kalah, mungkin itu ekspresi di balik wajah datar Bapak. Tetua telah gugur dan Bapak memilih untuk bertekuk lutut di hadapan para penjarah. Tidak, kita tidak kalah. Posisi kita seimbang! Satu banding satu. Satu orang tewas di kubu rakyat jelata dan satu antek-antek pasukan ‘Merah Putih Biru’ juga turut meregang nyawa. Impas.

Apakah perdamaian bisa didapat? Sepertinya Bapak bosan dengan ending kisah-kisah heroik di tanah Jawa. Bapak tahu persis apa risiko melawan para penjarah. Bapak tahu persis konsekuensi beradu pedang dengan para antek-antek pasukan penjarah. Mereka tak akan kalah kalau cara pikir kita masih terlalu fanatik menganut paham kesukuan.

“Apa yang kau lakukan, Said?”

“Menyerah. Apa lagi, Kamto?” jawab Bapak tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Pandangannya menatap puluhan pasukan penjarah yang bingung dengan perangai Bapak. Biasanya mereka harus baku tembak dahulu sebelum mencapai reorientasi. Lah ini, puluhan fraksi petani secara sepihak menyerahkan nyawanya. Kamto hanya tercenung melihat rekan tim yang menuruti maunya si Otak Kampung. Kamto mendengus, perlahan mulai mengangkat tangannya sambil merapatkan dua kalimat syahadat.

Tuhan, jarak kita begitu dekat. Tanpa sekat.

Tidak ada kata menyerah pada kotak-kotak pikiran Bapak. Mengangkat tangan tidak ada korelasinya dengan menyerah atau berpasrah pada takdir lurus yang Tuhan berikan. Menyerah adalah mengakui bahwa ada yang lebih superior di luar diri kita sendiri. Dan Bapak sama sekali tidak menyerah kepada antek-antek penjarah tersebut, melainkan mengakui bahwa dirinya tidak akan bisa melampaui kawanan berseragam militer. Ketika seseorang merasa kalah, sejatinya mereka menemukan titik kesadaran untuk berhenti memberontak. Mereka menukarkan perjuangan dengan perdamaian. Kalaupun perdamaian tidak dapat diraih ketika raga dan jiwa masih saling bertautan, setidaknya mereka menemukan perdamaian pada diri sendiri.

Puncak dari menyerah adalah perdamaian. Soal aliansi atau kontak senjata adalah opsi yang tak akan mengubah apa pun.

Impas. Aku menginginkan hak kami sebagaimana kau ingin mengeruk sari bumi ini hingga ke inti. Lantas, pihak mana yang pantas menanggung dosa dari apa yang kita perebutkan?

Ucapan Bapak waktu itu sukses membuat para penjarah bungkam. Setidaknya masih ada sedikit hati nurani, mungkin itu maksud dibalik senyuman Bapak yang problematik. Mereka telah mengeruk sumber daya negeri ini. Tanah, air, rempah-rempah, mereka rampas untuk urusan perut. Lantas, jika kaum pribumi ini menginginkan hak-haknya, siapa yang pantas disalahkan? Siapa yang pantas menanggung dosa dari apa yang kita perebutkan?

Hening. Para penjarah dibuat sekakmat dengan ocehan Bapak. Jika mulut Bapak adalah bisa pada ular viper, maka bisa itu adalah hemotoksin yang merusak eritrosit sehingga menyebabkan mati dadakan pasca digigit ular.

“Apa yang kau inginkan?” Setelah sekian lama membisu, akhirnya pentolan paling senior para penjarah membuka suara.

Perdamaian. Bapak hanya menginginkan perdamaian. Biarpun perdamaian tidak dapat dijemput, setidaknya ada perdamaian yang pasti didapatkan: akhirat. Sepertinya Bapak menginginkan perdamaian akhirat dibandingkan pemufakatan di buana yang semu ini.

Mimpi memperoleh perdamaian di akhirat sepertinya sulit ditunaikan oleh tangan kecil Bapak. Sekonyong-konyong celoteh Bapak itu mampu menyadarkan pasukan koloni itu. “Bawa orang tua yang tak sanggup berdiri itu dan sekarung beras untuk kampungmu. Pergi jauh-jauh dari tempat ini, kali ini kubiarkan kau lepas,” ucap seorang tentara dengan kumis kotak tebal. Sepertinya kumis itu tidak pernah dicukur selama sepuluh tahun.

Semudah itu mereka membiarkan musuh lepas begitu saja?

Waktu itu, nama Bapak melejit bak superhero membantai bandit dengan sekali serang—meskipun Bapak sendiri menyesal karena membuat nyawa orang melayang. Bapak mengambil alih jabatan sebagai kepala kampung—menggantikan Tetua yang lebih dulu dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Sejak itu muncul banyak spekulasi tentang kenapa para penjarah membiarkan ‘gerombolan macan kampung’ lolos begitu saja saat memberontak dan menuntut hak-hak personalnya. Mungkin karena mereka tidak mood dengan angkat senjata atau kasihan melihat kaum miskin petani yang kelaparan akibat paceklik berkepanjangan. Bisa jadi mereka takut dengan muka Bapak yang sangar. Satu pendapat yang paling membumi analitis adalah pasukan penjajah sedang memfokuskan terhadap pemberontak di Tapanuli. Tapi perspektif yang paling realis menurutku: ucapan Bapak terlalu sakti dan makbul serupa hipnotis yang membuat lawan jatuh tertidur.

Musim kemarau bukan masalah yang perlu otak keras untuk menemukan solusi. Kampung Bapak terletak di pelosok pedalaman Aceh dan memiliki skema irigasi yang sukses. Semua itu berkat empat kincir air buatan Bapak dan penduduk kampung lainnya. Panen empat kali dalam setahun dapat dilaksanakan dengan menanam beras, jagung, dan umbi-umbian.

Penduduk kampung identik dengan petani. Sedang dalam sistem kasta-kasta ala barat, petani masuk ke dalam kasta waisya. Penguasa dengan cawan anggur di meja memeras hak-hak petani. Kata Bapak, penguasa yang mencaplok hak atas kekayaan petani adalah yang paling buruk dari seburuk-buruknya penguasa. Secara tersirat para pemuka bangsa sangat bergantung pada petani.

Petani adalah salah satu golongan yang peluang masuk surganya sangat besar. Karena jika petani melakukan mogok kerja, terus siapa yang mengisi perut para bandit?

Nasihat itu seakan baru kemarin sore Bapak katakan. Kini tidak ada lagi seruan-seruan semacam itu. Bapak, aku akan menjemputmu. Aku tidak bisa menghentikan kerinduan yang begitu berat. Dengan celah pada karung kumal, aku bisa mengintip seseorang tengah memasukkan peluru. Aku tidak bisa berbuat banyak, tanganku terikat. Kepalaku menunggu langkah eksekusi. Orang berkumis tebal itu mengarahkan moncong senapannya tepat ke arah kepalaku.

Maka jikalau diriku gugur, pasti ada ribuan generasi muda yang akan meneruskan. Akan ada pemuda yang tergerak hatinya melawan penjajah. Akan ada mereka yang memerdekakan negeri. Dan selalu ada mereka yang mempertahankan tanah pertiwi.

Takdir. Aku ikhlas dengan ketetapan penguasa langit seisinya. Aku tidak memaki bandit itu. Bunuh saja, kata orang berseragam militer di sebelah si Kumis Tebal.

Waktu seolah berhenti berputar. Aku tertidur dengan suara nyaring yang menembus kepalaku. Burung-burung—kalau aku tidak salah, sedang melepaskan aku pergi. Suara merdu itu, seketika menghilang. Aku bisa terbang. Tubuhku melayang. Kutengok tiga orang di bawah sana. Dua orang tampak mesem-mesem seperti mengidap gejala awal ke-psikopatan. Sedangkan orang satunya lagi terkatup karung goni. Aku bisa mencium aroma darah segar, wanginya seperti bangkai kelinci yang gugur sepuluh detik lalu. Pria yang sepertinya calon orang dengan gangguan jiwa menyibak goni kumal, sosok di dalamnya terekspos jelas. Terlihat jelas lubang peluru yang menembus kepala sosok itu. Dia…adalah aku.

Pantas saja, aku tak bisa menanggung rasa sakit. Andai sejak tadi aku merasakannya, anak bedil itu tak akan bisa menembus lapisan epidermis pada kulitku. Perjuanganku sudah usai, aku ingin menyusul Bapak di alam baka. Tapi sebelum itu, apa yang bisa kulakukan untuk diriku, Bapak, dan para pejuang lainnya agar nama dan kisah heroiknya tak hanya dikenang dalam tebalnya buku sejarah? Ya…aku tahu apa yang bisa dilakukan. Aku bisa melobi adikku melalui mimpi, pikirku yang mulai sinting lantaran diselimuti dendam kesumat.

Aku tidak rela kematianku sia-sia belaka. Dalam makan malam bersama, dulu Ibu pernah bilang padaku bahwa puncak dari kehidupan adalah kematian. Ibu berkata demikian dengan matanya yang berkaca-kaca, “kita tidak tahu siapa yang akan pergi lebih dulu. Bisa jadi Ibu, Bapak, atau kalian berdua,”

Aku baru tahu kalau Ibuku adalah motivator terbaik. Saat-saat tersedih sekalipun, dia selalu membentangkan senyuman. Ucapan Ibu waktu itu sama sekali di luar nalar kotak-kotak pikiranku. Ahmad yang selalu pendiam seolah seperti bonggol kayu. Bapak nan ceria yang tak bisa membekam senyum di bawah hidungnya sontak serupa serigala meraung di tengah gurun salju, sunyi kelam. Andaikan ini adalah harga dari kebebasan, keleluasaan untuk memekikkan kata merdeka, dengan sungguh aku tunduk akan takdir. Dengan iya aku melepas semua konflik yang hadir. Aku percaya, reorientasi dari konflik adalah kematian.

Kini aku menyadari bahwa diriku telah mati. Pria berotot dengan kumis tebal itu mengangkat jasadku, memasukkannya ke dalam kotak hitam. Mungkin mayatku akan dilarung ke laut, menjadi santapan penguasa lautan. Opsi itu jauh lebih baik daripada menjadi santapan penguasa berperut buncit yang tak kenal kata kenyang. Aku belum sempat berpamitan kepada Ibu. Aku yakin, Ibu pasti menambah deretan pertanyaan di meja makan saat menyiapkan empat porsi makan malam: Araz belum pulang?

Bagikan:

Penulis →

Moh. Aditya Prambudi

Lebih akrab disapa Pram, adalah salah satu pelajar dari SMA Negeri 1 Tegaldlimo. Baginya, menulis dan bahasa itu lebih penting dibandingkan semua mapel di sekolah. Juga lebih penting dibandingkan kisah cintanya kepada seseorang yang tak terucap. Itulah yang melandasi Pram untuk membuat karya-karya baru yang dimuat di berbagai media, baik itu media cetak ataupun online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *