Masa Lalu
Sungguh, kini aku adalah seekor burung yang paling takut di bumi. Aku sangat ketakutan dimana pernah melihat tubuhku yang telanjang disertai puluhan batang besi yang berjejer mengelilingiku, sementara rohku terbang menjauh ketika ketidakpercayaan tuan tidak berkembang. Manusia-manusia disekitar tak acuh terus menjadi buruh harian dengan bayang-bayang samar masa depan.
Sehari sebelumnya ….
Walau letih berdarah untuk mencapainya, kutahu bahkan para penghuni dunia bawah langit disana lebih gemuk dan lebih berisi daripadaku. Ya inilah kepahitan dimana segala hal di masa lalu, terutama atas apa yang menakut-nakuti burung-burung sehingga terbang nyasar, sungguh lebih bijak dan menyenangkan daripada ‘realitas’ kalian. Karena kalau manusia berbicara: “Kita adalah realis sesungguhnya, tanpa kesalahan atau menjadi sebuah pembelajaran!” demikian kalian menepuk dada kalian, meski kalian sebenarnya tanpa memiliki dada.
Tetapi bagaimana aku bisa percaya itu, kenyataaannya kalian manusia-manusia yang carut marut! Kalian merupakan lukisan-lukisan dari segala yang pernah dipercayakan. Kalian adalah kaum penolakan berjalan atas dasar kepercayaan sendiri dan pecahnya semua pikiran. Kini dan nanti apakah aku egois? Wahai kaum realis?
Pengulangan Mimpi Buruk
Semua zaman entah bagaimana ceritanya melahirkan apa itu perseteruan abadi, bahkan sampai lakon berganti-ganti, atau hanya berganti jasad saja namun rohnya masih sama lagi?
Aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Mau meredam namun merasa tidak dianggap, berperilaku mencoba peduli dengan siulan-siulan manjaku namun seolah tidak dianggap, dan entah sejak kapan aku merenung sampai langit merah merona datang. Sementara aku masih bertengger di atap langit dan tersadar “Haha! Ini membuatku menjadi semakin tidak merasa hidup, dasar burung bodoh,” Ucap bisikan senja kala itu.
Setiap pagi dari bulan lalu semenjak bangunan pencakar langit di seberang mulai dibangun, aku memang selalu sendiri di sini, dan tidak ditemani oleh siapapun kecuali para manusia pekerja itu dan langit merona itu.
“Hei.” Ucap burung lain yang berwarna coklat lain sambil mengepakkan sayap di sampingku.
Aku menengok dan membalas “Hmm, tumben nih mampir ke sini,” sindir halusku.
“Ya seperti itulah, aku hanya lewat saja kebetulan dan melihatmu maka kuputuskan mampir,” balasnya dengan tertawa.
Deep Talk
“Oh iya, aku ingin tahu pendapatmu tentang manusia-manusia di bawah itu? Apalagi memandang masa kini, yang dulu kepada mereka mengasihi hatiku, kini telah asing dari tanah air dan ibu pertiwi. Menurutmu bagaimana?”
Dia melihat ke bawah sejenak mengamati dan menjawab “Ya mungkin untuk masa ini dengan manusia-manusia seperti itu, namun tidak semuanya seperti itu dan berhatilah-hatilah dalam menilai. Bedakan dirimu dari yang lain dalam satu hal, satu hal yang kau pikirkan.”
Setelahnya temanku itu pergi terbang begitu saja. Kembalilah aku dalam keadaan sendiri di atap penyangga langit senja ini.
Diam sejenak dan terpikirkan begitu sederhana, terlebih pada bagaimana belajar masa lalu yang memiliki ribuan sejarah dalam kehidupan umat manusia-manusia itu di dunia, namun apakah mereka masih belajar atau tidak belajar sama sekali?
Karenanya ketika aku melihat para penderita, aku menjadi malu karena dia juga merasa malu. Dan ketika aku menolongnya, maka aku akan melukai hatinya. Kewajiban-kewajiban besar tidak membuat manusia itu berterima kasih, tetapi menjadi manusia yang pendendam. Dan jika sebuah kebaikan kecil tidak dilupakan, maka hal itu akan menjadi ulat yang terus menggerogoti.
Untuk Tuhan
Semua aturan kuno ternyata masing-masing telah mempunyai alasan yang masuk akal baik secara kesehatan dan bahkan mungkin agama. Sekarang saja aku sudah cukup tahu dan sedikit lebih baik dengan rutinitasku di atas sini yang terbungkus fisik lemah sehingga tidak mampu terbang melihat dunia luar secara biasa. Namun, aku memahamkan itu dan ini, soal aturan kuno atau budaya yang kurang bertumbuh yang masih berlaku oleh manusia-manusia itu.
Tuhan, ampunilah aku jika memang aku telah menilai buruk mereka. Aku sebenarnya tidak ingin pergi dan seperti itu, tapi takdir seolah membuatku seperti itu. Tapi aku ingin keindahan yang Kau janjikan datangkanlah untuk mententeramkan dunia fana ini. Jangan lupa juga Tuhan, kalau bisa sertakan balasan atas do’aku ini.
Langit bergemuruh, pertanda mendung menjadi teman merenungku petang ini. Langit mungkin sedang berpikir tentang sebuah hal dariku. Aku hanya ingin langit percaya bahwa pengalaman dan deretan sejarah itu tidak akan membuatku dan manusia-manusia itu menjadi nakal, dan aku juga tidak akan ada di televisi yang ditayangkan sebagai burung yang rela ‘mati’ demi sebagai penjaga rumah bahkan hiasan di tembok-tembok rumah mewah. Dugaan seperti itu membekas. Tak terasa limpahan air mata langit berada di atas rambutku yang tipis ini. Cepat-cepat aku mencari tempat berteduh dan kembali menghangatkan dengan mencari lampu yang redup yang dapat mendukung untuk itu.
Suratan Takdir
Kalau bukan karena manusia-manusia itu, aku tidak perlu bingung berpikir beribu rumus, angka, dan hal yang tidak sedalam ini. Rumus limit, redoks, apalagi fisika. Ketika buah jatuh aja dari pohon dihitung energi potensialnya berapa, dan masih ada beberapa lagi hal yang tidak penting jadi penentu kesimpulan, gerutuku dalam hati mengingat mencoba membalas sebuah kebaikan seorang manusia yang membantu mengeluarkanku dari jeratan jebakan kala itu.
Apakah manusia-manusia itu belajar dari sejarah lalu atau hanya menjadi kenangan terlupakan? Bahkan mungkin hanya mengingat bahwa senja terulang-ulang yang ditunggu hanya keindahannya saja, melainkan bukan pembelajaran yang setiap hari Tuhan berikan? Alasanlah yang menyebutnya jingga lalu senja?
Berawal dari kesalahan dan mari bangkit dari kegagalan. Kegagalan dalam hal apapun itu contohnya di sini dalam hal pembelajaran pengalaman bukanlah akhir dari segalanya. Kadang segala sesuatu tidak seperti yang dibayangkan. Mungkin ada yang berhenti belajar, namun bagi pembelajar sejati, justru kegagalan dari belajar senja yang terulang-ulang yang menjadikanya lebih tahan banting. Yang diperlukan di sini adalah kebangkitan dari kegagalan. Dari kejadian yang pahit biasanya ada hikmahnya, penyebab, dan bagaimana cara mengatasinya. Proses pembelajaran jingga seperti inilah yang akan menjadikan setiap jiwa lebih berhati-hati lagi nanti. Belajarlah dari jingga pagi hingga senja nanti.