DANTO yang belum lama terlelap tiba-tiba badannya tersentak. Posisi tubuhnya yang miring dan bertelanjang dada membuat tato babi di punggungnya bergerak menghentak, terlihat seperti babi sedang terkejut. Danto terjaga, lalu mengubah posisi badannya menjadi duduk, tapi masih berada di tempat tidur. Tubuhnya berkeringat, dan yang paling banyak di sekitar kepala bagian belakang ke bawah sampai pangkal leher. Bantal yang semula dipakai menyangga kepala tampak basah.
Untuk kesekian kali Danto mengalami mimpi yang sama, tentang Danto kecil mendapat perundungan fisik oleh beberapa bocah lelaki seusianya yang badannya lebih besar. Danto yang kurus dan terlihat lemah menjadi bulan-bulanan. Mereka menampar wajah Danto lalu menendang badannya, bahkan menjegal kakinya hingga Danto tersungkur.
Namun yang menjadi perhatian Danto pada mimpinya kali itu bukan tentang perlakuan perundungan, tapi perihal sosok lain yang ia rasa juga ada di sana. Danto baru menyadari keberadaan sosok gadis kecil yang diam berdiri di kejauhan memperhatikan dirinya dirundung. Kepada gadis kecil itu, Danto bisa mengingat jelas wajahnya, sedangkan wajah anak-anak pelaku perundungan berlaku sebaliknya.
Danto menyadari, kisah perundungan dalam mimpi itu sebenarnya memang gambaran kenyataan yang sering ia alami ketika masih kecil. Bahkan karena kisah itulah yang dulu mendorong Danto terobsesi dengan orang kuat, dan kini akhirnya ia menjadi anggota sebuah sekte. Syarat awal menjadi anggota sekte, punggungnya harus bersedia ditato gambar babi.
Meski begitu, Danto tidak mengerti, mengapa mimpi seperti itu muncul akhir-akhir ini, tepatnya sebelum ia bertemu seorang gadis kecil pada saat perjalanan pulang usai ia ditato. Ketika itu Danto istirahat di taman kota yang dalam pandangannya sebagian besar tempatnya telah rusak. Tidak jauh dari tempat Danto duduk, ada gadis kecil kira-kira berusia sembilan tahun sedang memperhatikannya. Gadis itu mendekat, menjejeri Danto dan mengajaknya kenalan. Chesy, nama gadis kecil itu, ia berkata: “Kota ini bermasalah, terlebih setelah adanya sekte itu.”
“Kamu mengawasiku?” Danto kaget.
Tanpa menanggapi pertanyaan Danto, Chesy melanjutkan bicaranya bahwa sekte itu sebenarnya komplotan aneh di mana sang pimpinan suka memberi tantangan kepada anggotanya untuk melakukan hal-hal bodoh dan konyol, yang hampir semuanya tanpa perlu alasan. Pernyataan Chesy bisa jadi menyinggung Danto, nyatanya ia telah masuk menjadi anggota. Meski begitu Danto memilih tidak mengatakannya.
Sejak itu beberapa kali Chesy menemui Danto di taman, sementara Danto menerimanya begitu saja, karena menurutnya kehadiran Chesy ibarat hujan yang bisa datang kapan saja tanpa perlu lebih dulu adanya petir. Lantas pernyataan Chesy tentang keganjilan sekte itu terus berlanjut. “Orang yang telah menjadi anggota tidak bisa terlepas,” kata Chesy.
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Danto
“Semua tahu, dan jika kamu tidak tahu, pasti kamu pendatang di kota ini.”
Danto mengernyitkan dahi, heran mengapa Chesy bisa tahu ia memang pendatang. “Kamu tahu juga alasan mengapa tidak bisa lepas?” tanya Danto kemudian.
“Tato gambar babi di punggunglah yang mengikat. Jika ada yang keluar, atau sekadar menolak tantangannya, mereka akan berubah menjadi babi sungguhan,”
Keterkejutan Danto tampak dari tatapan nanapnya kepada Chesy. Sejenak kemudian Danto berpikir, jika perkataan Chesy benar, artinya ia berada di tempat yang salah. Ia telah terjebak. Meski Danto belum pernah melihat perubahan itu tapi penjelasan Chesy cukup membuatnya gundah. “Apakah itu masih rahasia?” tanya Danto.
“Sudah kukatakan, semua tahu. Masalahnya mungkin hanya aku yang percaya,” tambah Chesy.
Pernyataan Chesy tak cukup membuat Danto lantas mau mengambil risiko, hingga sejak itu ia tidak berhasrat ingin keluar. Tantangan demi tantangan dari pimpinan sekte ia lakukan tanpa banyak pertimbangan. Di hari-hari berikutnya perhatian Danto kembali tertuju kepada mimpinya. Danto baru menyadari, wajah Chesy sama dengan wajah gadis kecil dalam mimpi-mimpinya.
Pada awalnya Danto merasa munculnya Chesy adalah misterius, tapi kemisteriusan itu kini seperti tidak menjadi masalah bagi Danto. Mereka akhirnya berteman, bahkan perbedaan usia yang terpaut cukup jauh pun tidak menjadi penghalang untuk menjadi karib. Bagi Danto, kehadiran Chesy menyadarkan dirinya bahwa selama ini ia telah jauh dari kehidupan yang lumrah. Sementara bagi Chesy, Danto dipandang sebagai orang yang menyenangkan. Saking senangnya sampai Chesy memanggil Danto dengan sebutan Siro, nama dari boneka yang menjadi kesayangannya. Pernyataan Chesy itu membuat Danto terkenang masa kecil. Dulu ia juga punya sesuatu yang menjadi kesayangan.
“Boneka juga?” tanya Chesy.
Danto menggeleng. “Ayam. Tapi sayang, hidupnya hanya sebentar,” terang Danto.
“Kenapa?” tanya Chesy lagi.
“Suatu hari ayam itu sekarat. Celakanya, beberapa temanku yang biasa merundungku mengetahui hal itu. Mereka datang lalu beramai-ramai menginjak-injak ayam itu hingga mati,” jelas Danto dengan wajah memelas.
“Tidak apa-apa, ia sudah di surga,” tanggap Chesy. Kemudian Chesy melanjutkan bicaranya dengan bahasa serampangan, yang artinya: Bisa jadi ayam itu memang sudah waktunya mati, tapi mungkin akan bisa sedikit melegakan andai Danto sendiri yang membunuhnya, bukan mereka, dan juga bukan orang lain. Sejak percakapan itu, persahabatan Danto dan Chesy semakin dekat. Mereka menjadi sering bertemu, dan taman yang itu menjadi tempat favoritnya.
Kembali pada Danto, yang masih tetap bergeming dalam posisi duduk di tempat tidur, mimpi itu masih menghantuinya. Tiba-tiba ponselnya yang berada di meja dekat tempat tidur berdering. Ada panggilan masuk. Danto meraihnya lalu menerima panggilan itu. Dari seberang terdengar suara berat, memberitahu perihal tantangan selanjutnya. Danto disuruh membunuh seseorang. Dengan cepat Danto menyahut, “Siapa orangnya?”
Begitu Danto memperhatikan foto yang dikirim lewat pesan si penelepon, ia terkejut. Danto tidak percaya bahwa orang yang menjadi target pembunuhan itu adalah Chesy. Perhatian Danto pada foto Chesy membuat ia tidak fokus dengan penjelasan si penelepon terkait ciri-ciri calon korban. Begitu selesai bicara, si penelepon mematikan ponselnya.
Hampir bersamaan ketika Danto berencana untuk menolak melakukan tantangan itu, ia seperti baru menyadari ada sesuatu yang mengganjal di bagian pantatnya. Danto mengira ia sedang menduduki sesuatu, lantas memeriksanya tapi tidak menemukan apa pun. Tangan Danto lantas meraba pantatnya. Danto terkejut karena ia merasakan ada sesuatu di balik celananya. Danto bangkit berdiri lalu menuju depan cermin.
Ketika Danto melepas celana, dari pantulan cermin ia melihat di tengah-tengah bagian atas pantatnya tumbuh ekor. Danto berpikir, apa yang ia alami itu masih bagian dari mimpi. Danto menampar wajahnya sendiri dan merasakan sakit. Cepat pandangan Danto kembali mengarah pada pantatnya, ekor itu masih ada di sana, bahkan telah menjadi lebih panjang dari yang ia lihat sebelumnya.
“Gawat, terjadi padaku,” gumam Danto.
Lamunan Danto tertuju pada perkataan Chesy, tentang perubahan menjadi babi jika menolak melakukan tantangan pimpinan sekte. Lamunan Danto beralih pada apa yang sekarang terjadi. Danto mempertimbangkan, apakah dirinya tetap akan menolak tantangan itu, atau bersedia melakukannya.
Sebelum Danto benar-benar membuat keputusan, kali itu ingatannya tertuju pada Chesy, gadis kecil yang telah menjadi sahabatnya. Sesungguhnya Danto tidak peduli jika dirinya akan menjadi babi selamanya. Toh ia menganggap hidupnya tidak punya arti apa-apa. Justru dengan begitu setidaknya akan menandakan dirinya adalah sahabat yang baik bagi Chesy. Namun setelah itu wajah Danto tampak murung. Danto membayangkan tentang nasib Chesy setelahnya. Danto pikir, ketika ia tidak membunuhnya bukan berarti Chesy akan selamat. Bisa jadi Chesy tetap akan menjadi target pembunuhan oleh selain dirinya.
Ketika perasaan Danto masih diselimuti bimbang, ponselnya berdering. Chesy menghubunginya. “Apa hari ini kamu sibuk? Kita ketemu di taman biasanya yuk,” ujar Chesy. Tak lama setelah Danto menyanggupi ajakan itu, Danto merasa ekornya telah bertambah panjang lagi, bahkan ketika ia kembali memperhatikan dirinya di cermin, ia mendapati kedua telinganya tampak sedikit melebar. Meski Danto melihat keadaan dirinya seperti itu tapi tidak lantas ia ingin mengingkari janjinya pada Chesy. Ia tetap ingin menemui Chesy. Pikir Danto, pertemuan itu mungkin kali terakhir ia bertemu Chesy sebelum ia benar-benar berubah menjadi babi.
Sore hari, Danto dan Chesy sudah bertemu di taman. Keduanya berbincang akrab, seakan perbedaan usia yang terpaut cukup jauh di antara mereka memang benar-benar tidak membuatnya canggung.
“Aku punya hadiah spesial untukmu,” kata Danto.
“Oya?” sahut Chesy dengan wajah semringah.
“Tutuplah matamu, aku akan menyiapkannya.”
Chesy langsung menuruti, memejamkan matanya. Danto bangkit lalu berjalan dan berdiri persis di belakang Chesy. Sejenak Danto melepas sabuk yang ia kenakan. Begitu sabuk terlepas, dengan sigap Danto membelitkannya pada leher Chesy. ”Maaf Chesy, aku harus melakukannya sendiri,” ucap Danto lirih. Pada saat proses Chesy sekarat, sebelum napasnya benar-benar berhenti, Danto kembali teringat perkataan Chesy, terkhusus ketika Chesy menanggapi cerita tentang ayam piaraannya yang mati diinjak-injak teman-temannya.
Begitu Chesy sudah tak bernapas, disandarkannya tubuh Chesy pada bangku. Danto duduk di sebelahnya. Pada saat itu ia merasa tidak ada yang mengganjal di pantatnya. Tangan Danto meraih tas milik Chesy yang terjatuh, lalu sekilas melihat isinya. Danto langsung menangis sesenggukan begitu ia mendapati sebuah boneka babi kecil di tas itu, yang di bagian punggungnya bertuliskan: Siro.
Menjelang malam, ketika lampu-lampu mulai dinyalakan hingga membuat taman itu terlihat asri dan indah, Danto masih di sana, duduk sendirian di bangku taman sembari tangannya memegang sebuah sabuk. Sejenak kemudian beberapa petugas mendekat.***