Pementasan


SETELAH menunggu lama, akhirnya tirai terbuka. Panggung menyala. Gemerlap singgasana, duduk seorang raja. Gelisahnya, dagu bertopang sebelah tangan, tongkat yang diujungnya batu emas tegak tergenggam di tangannya yang lain. Kakinya berguncang-guncang. Bibirnya banyak menggumam. Selir-selir dengan pakaian berenda mengipas-ngipas dengan mata yang tertutup kain hitam. Raja kita malu dengan tampang begitu. Dia tak ingin seorang pun juga tahu, bahwa ada sesuatu yang mencemaskannya. Tapi wanita-wanita itu mendengarkan kegalauannya, lewat desah napas raja yang terkesan macam kuda.

Lalu sekonyong-konyong raja mengentakkan tongkatnya kuat-kuat. Suara dentuman itu menggema sepenjuru ruangan. Sampai ke langit-langit, kubah bening ikut bergetar. Tak hanya selir-selir yang tersentak, penonton ikut menjadi riuh. Mereka mengelus-eluskan dadanya, di antaranya ada yang terkekeh.

Sang raja berdiri. Ketika dia berjalan ke depan panggung, lampu sorot mengikutinya sementara cahaya di kiri-kanan meredup. Raja menengok ke bangku penonton, dari kiri terus ke kanan. Lalu dia mendongak, menatap kubah besar di langit-langit sambil menaikkan kedua tangannya.

Raja tertawa lantang dengan suara perutnya sampai matanya terpejam. Tatkala selesai, dia bergeleng-geleng kemudian menunduk. “Seseorang bersiasat mengambil anakku,” kata raja.

“Anakku sendiri!” teriaknya sambil mengentakkan lagi tongkatnya kuat-kuat. Selir-selir bersama penonton terkaget lagi.

“Ini adalah penghinaan. Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku. Anakku satu-satunya, satu-satunya hal yang sangat berharga dalam hidupku. Tanpanya aku tak berarti. Apakah orang-orang lupa siapa aku?”

Sang tuan berdecak, “tak dapat dipercaya,” ujarnya, lalu dia meludah di atas panggung.

 “Coba kau bayangkan,” lanjut raja yang berkata pada penonton, “apa yang ada di kepala orang-orang itu! Bisa-bisanya menyusun siasat untuk merendahkan diriku. Akulah kekuasaan tertinggi! Segala-galanya ada di tanganku. Aku dapat melakukan apapun yang aku mau dan tak seorang pun dapat mengacaukannya.”

Raja berjalan ke kiri panggung. “Rakyat-rakyat ini,” katanya dengan lantang, “terkadang bersikap tak tahu diri. Tak tahu malu, seperti lintah yang melulu minta darah. Butuh berapa beras untuk membungkam mulut mereka, pikiran-pikiran mereka?!”

“Dua bulan lalu, aku mengirimkan lima orang jenderal terbaikku. Pembagian beras berlangsung dengan tertib. Laporannya, rakyat memuja-muja, memanggil-manggilkan namaku seolah mereka rindu.”

“Dan sekarang,” raja menunduk, suaranya lemah, “aku malah mendengar seseorang berniat merebut anakku.”

Tak lama berselang, muncul lima orang penjaga dari sisi kanan panggung. Mereka membungkuk, salah seorangnya kemudian berkata, “penjagaan di gerbang telah diperketat, tuan. Pasukan pemanah telah diarahkan mengelilingi istana. Begitupula para cendekia, tabib-tabib, dan pemuka agama sudah disebarkan ke jalan-jalan dan pasar-pasar. Seluruh perintah telah dijalankan.”

“Bagus,” sahut raja. Dia mengibaskan jubahnya, “jangan sampai seorang pun dapat menyentuh anak kesayanganku!”

Para penjaga yang masih membungkuk menatap satu sama lain, mereka terheran. Dengan agak terbata, orang yang sama kemudian menanyakan, “anak yang mana, tuan?”

“Mahkotaku, bodoh!” jawab raja dan lampu mendadak padam. Tirai tertutup.

***

Adegan berganti, tata panggung tersulap jadi suatu pasar. Pengemis mengisi setiap sudut. Di belakang panggung, ada suara riuh-rendah orang bercakap sebagai latar, yang perlahan meredup. Tiga stan dari gabus berderet dari kiri sampai ujung kanan. Barang-barang dagangan serupa sayur, periuk-periuk, dan semacamnya berpajangan. Masing-masing kedai itu dikerumuni pembeli. Rumor bahwa raja yang cemas kehilangan anaknya itu berpusing secepat angin berlalu. Sembari memilah-milih barang, mereka membicarakannya dengan berbisik-bisik.

Penjual ikut campur, “seseorang dari kedai minum bilang bahwa raja akhir-akhir ini banyak mengurung dirinya sendiri.”

“Iya!” sahut seorang perempuan dengan suara besar, matanya agak melotot, dia kemudian didiamkan oleh perempuan lain di sampingnya, “ssstt jangan berisik!”

Seseorang lainnya berkata, “iya, suamiku melihat bagaimana penjagaan istana telah diperketat. Para penjaga berbadan tegap di mana-mana. Di atas menara-menara, banyak pemanah yang mengawasi. Dan bayangkan, pintu gerbangnya tak pernah dibuka lagi.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. “Tampaknya, raja kita terserang penyakit babi,” ucap si penjual, yang disambut dengan letupan tawa yang kemudian terkesan ditahan-tahan.

Setelah lampu meredup, tersorot sebuah cahaya di sudut kiri. Muncul seseorang berjubah putih yang rambutnya panjang sedang jalan perlahan ke tengah-tengah panggung setelah memberikan uang kepada pengemis yang tertidur di samping pintu.

Berseru orang itu dengan lantang, “Hai saudara-saudaraku, di manakah di dunia ini dapat ditemukannya seseorang yang mengabdi? Tidakkah ada di antara kalian yang mempunyai kepatuhan? Barang setitik pun, ialah yang lebih besar nilainya daripada pertentangan-pertentangan di antara kalian. Bukankah telah dikatakan oleh orang-orang terdahulu, bahwa kita hendaknya patuh terhadap pemimpin?”

Orang-orang di pasar melirik ke arah orang itu. Sesama di antaranya saling berbisik dan lalu tertunduk seolah mereka malu.

“Tidakkah Tuhan telah menjanjikan surga kepada orang-orang yang patuh, baik kepada orang tua dan pemimpin di antara kita? Bertobatlah dengan sungguh-sungguh. Niscaya apa yang kau kerjakan akan menjadi manfaat bagimu.”

“Tapi, tuan,” seorang perempuan memotong dengan sikap sedikit sinis, “pemimpin macam apa yang berfoya-foya dalam hidupnya, sementara rakyatnya terus menderita kelaparan berkepanjangan seperti ini?”

Orang itu tersenyum. Kedua tangannya masih saling tergenggam di belakang. “Bukankah raja yang pemurah itu telah memberikan sedekahnya kepada kamu-kamu semua? Betapa banyak karung-karung beras yang disebarluaskannya agar kau tak kelaparan. Kenyataannya, ia tidak pernah sekalipun melupakan kita.”

“Sejatinya, di dunia yang penuh kekeringan ini, kemiskinan akan selalu menimpa manusia, saudara-saudaraku. Sudah menjadi kodrat penderitaan itu tertanam dalam setiap nasib kita. Tidakkah kalian membacanya, ayat-ayat terdahulu, bahwa manusia itu dalam keadaan hina-dina. Hanya dalam junjungan Tuhanlah ia menjadi berdaya. Kekayaan itu hanya milik yang maha kuasa di atas segalanya. Raja kita, suatu hari akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat oleh Tuhan atas harta-hartanya. Tapi, sudahkah ia memberikannya kepada kalian apa yang telah menjadi hak kalian?”

Kerumunan itu mengangguk-angguk.

“Demikian wahai saudara-saudaraku, lantas berkecukupanlah kalian, dan jangan meminta lebih dari apa yang telah menjadi hak,” orang itu kemudian tersenyum. Lalu sekonyong-konyong dari belakangnya, muncul beberapa orang penjaga.

“Tidakkah kalian tahu,” kata orang itu lagi. “Kenyataannya raja kita baru sembuh dari penyakitnya. Dua hari yang akan datang, atas rasa bersyukurnya, raja mengundang makan malam, bukan untuk para bangsawan, melainkan kepada kita semua. Raja akan menjamu kita di istananya.”

Penjaga-penjaga itu kemudian memaku-maku kertas selebaran bertuliskan undangan perjamuan di tiang-tiang. Orang-orang di pasar mengelilinginya, menatapnya, dan mereka jadi bercakap-cakap dengan sumringah. Terdengar bisikan-bisikan pertanyaan semacam baju apa yang mereka pakai dan apa saja yang akan mereka bawa sebagai persembahan untuk rajanya.

“Raja kita begitu pemurah,” ucap salah seorang di antara mereka. Dan kalimat itu, mengakhiri lampu yang menyala. Tirai kembali ditutup.

***

Penonton tak melihat apa-apa di atas pentas. Lampu keseluruhannya padam. “Semua telah berkumpul?” ucap seseorang dengan suara yang serak. Kemudian tiba-tiba lilin kecil memberikan kehidupan di panggung.  Terlihatlah lima orang sedang berdiri di hadapan meja setengah bundar. Wajah-wajah pelik terpampang di masing-masingnya.

“Orang-orang ini, tak lebih ialah domba,” kata orang paling kanan. “Mereka gampang digiring, hatinya senang dibolak-balikkan seperti tanpa pendirian. Aku mengira, Tuhan menempatkan otak mereka di dalam perut. Yang bila kenyang, mereka takkan berpikir.”

“Jangan berkata begitu!” tegas yang ditengah-tengah di antara mereka.

“Tapi, benar,” kata yang disampingnya, “raja kita yang culas bermain mulus. Kaum-kaum cendekia telah dibungkam. Malah mereka dikerahkan dengan memaparkan di sekolah-sekolah dan di jalan-jalan rencana-rencana manis sang raja yang tak lebih sebuah tipu daya untuk memperkaya diri mereka dan antek-anteknya.”

“Iya,” sahut seseorang di paling kiri, “pemuka agama kita pun telah termakan nafsu-nafsu berhala. Mereka mempermainkan ayat-ayat untuk melenakan rakyat dengan berkata bahwa raja kita adalah perpanjangan tangan Tuhan. Mereka mencocok-cocokan raja zalim itu dengan tokoh-tokoh yang dijanjikan akan tiba di akhir zaman.”

“Jadi macam apa negeri ini, bila agama tak ubahnya hal yang berguna tak lebih sebagai alat politik semata,” sahut yang lain.

“Harus menunggu sampai kapan kita menyaksikan negeri diombang-ambing seperti ini. Berpuluh tahun sudah kita melihat raja itu membiarkan rakyat kelaparan sementara dia sepanjang hari berenang dalam kekayaannya dan ke mana-mana berjubah emas. Tidakkah setiap sore kita dihina olehnya dengan kendara kudanya yang berbatu berlian mengitari jalan-jalan kota di mana pengemis-pengemis tidur di tepian?”

“Harga di pasar pun tak pernah stabil!” sambung orang yang di samping paling kiri itu. “Terakhir kali kulihat batu pun telah menyerupai roti. Ah, aku tak sanggup melihat olok-olok ini. Setiap dua bulan sekali, uang-uang bantuan dikirimkan dan beras-beras sedekah dipergunakan sekadar untuk membungkam. Dia ingin mengemis menjadi sebuah budaya. Agar kita takluk, dan terpaksa terus memohon untuk diberikan lagi. Dia menjadikan kita sengsara, pun dia berikan obat penawar untuk kesengsaraan hingga kita menjadi candu.”

Orang yang di tengah menundukkan wajahnya. Orang-orang di kiri dan kanannya terus menerus saling mengutarakan pendapat mereka. Lambat laun suaranya jadi saling timpang-tindih. Membuat riuh hingga tak jelas lagi apa-apa saja yang sedang diungkapkan. Keadaan menjadi tegang tatkala salah seorang di antaranya menjadi marah tak terkendali. Telinga orang yang di tengah menjadi pekak, tak lama kemudian dia menggebrak satu kali meja itu kuat-kuat yang suaranya terhempas hingga ke sudut-sudut aula.

Kemudian dia berkata, “Pemberontakan telah dipercepat, saudara-saudara!! Undangan perjamuan makan malam adalah kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan. Kemarin, jalan kita telah dihalalkan. Besok pagi, perencanaan yang disusun akan dikabarkan ke kelompok-kelompok lain. Senjata bakal dipasok lalu dikirimkan lewat gorong-gorong bawah tanah.”

Setelah itu, suara dentuman meledak di atas pentas dan lampu sekonyong-konyong menyala. Lantas dari kiri dan kanan, datang pengawal istana dengan derap tapak kokoh dan gemericik besi-besi di baju pelindungnya. Seseorang maju perlahan membawa surat dalam bentuk perkamen lalu mengembangkannya. Seketika lampu panggung itu kembali meredup, dan surat itu dibacakan bersamaan dengan tirai yang perlahan menutup sampai akhirnya memperlihatkan siluet dari lilin yang tersisa. Dan tombak-tombak saling silang diarahkan, pedang-pedang menebas.

Di balik tirai itu, orang-orang berteriak memekakkan telinga.

***

Malam perjamuan tiba. Ketika tirai dibuka, duduklah raja di atas singgasananya. Di belakangnya, lima kepala yang telah menjadi busuk penuh bercak darah kering bergelantungan dengan hina.

Orang-orang berbaris mengantri dengan baju sederhana, perempuan pakai daster murah, laki-laki hanya celana dan baju kumuh. Tampang mereka susah penuh kengerian. Di hadapan raja, mereka tak sekadar menunduk padanya, melainkan pada kepala-kepala itu. Tidak lama orang di hadapannya, hanya sekali menunduk kemudian keluar lewat pintu kanan selepas mendapatkan bingkisan yang berisi karung-karung beras dan uang kertas.

Setelah antrian itu berakhir, hanya tersisa raja dan dua belas penjaga di atas panggung. Raja berdiri dari altarnya, dan dengan tongkat megahnya dia berjalan ke ujung panggung. “Rakyat-rakyatku,” dia berseru, “makanlah kalian sepuasnya di rumahku. Hari ini, aku sangat bahagia. Lima orang kawanan perampok, pemerkosa, dan pembunuh telah mati. Mereka makhluk-makhluk paling hina, yang mestinya selalu diburu. Sebab merekalah penyakit-penyakit yang telah merugikan kita semua.

Dengan mengangkat tongkat kebanggaannya, dia bersorak dengan suara dada yang terdengar lantang sekaligus bulat, “kukabarkan bahwa besok akan ditetapkan bagi siapa saja yang dapat menangkap orang-orang hina itu, termasuk pula pembangkang dan pengkhianat akan mendapatkan imbalan yang sangat besar begitupun dengan pekerjaan strategis di istana.”

Selepas kalimat itu diucapkan, aula menjadi hening. Lampu menjadi remang, seluruh lampu sorot diarahkan pada sang raja. Lantas dari belakangnya, sekonyong-konyong dua belas orang pengawal datang mendekat. Suara gemerincing pedang dan baju-baju besi saling berbenturan membuat raja menoleh. Dan tanpa berkata apa-apa, masing-masingnya mengeluarkan pisau kecil lalu menikam-nikam tepat di punggung raja.  

Raja berteriak sekeras-kerasnya, mencoba melawan tapi ia telanjur kaku. Tubuhnya  membusung, kepalanya mendongak menatap cahaya utama di atas panggung. Darah artifisial pecah di dadanya. Dengan perlahan dia jatuh terkulai, tongkatnya terlepas dari genggaman. Mula-mula dia berlutut, timbul garis-garis hijau di pelipis, matanya melotot, kulit lehernya menegang. Dan dengan sendirinya, darah yang perlahan habis dari tubuh membuatnya lemah hingga akhirnya sang raja hanya dapat bersujud ke hadapan para penonton di ujung panggung.

Mahkota di kepalanya perlahan mulai ikut terlepas kemudian terjatuh, dan satu suara hantamannya ke lantai panggung itu membuat lampu untuk terakhir kalinya padam. Tirai tertutup dengan perlahan.

Dan dengan demikian, pementasan berakhir.[]

2024

Bagikan:

Penulis →

Nuzul Ilmiawan

Alumnus Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireuen, 19 Oktober 2001.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *