SENJA di kota bunga sejujurnya tak sepuitis itu. Warna langitnya pun tak sejingga itu. Manusia-manusianya sama seperti kebanyakan, hidup.
Sejak keluar pintu kantor, Raya disambut dengan jalanan yang sesibuk biasanya. Ia tak punya cukup gairah untuk ikut bergabung dengan kemacetan yang sama. Dia menghembuskan napas berat, lalu menyeret kakinya menuju parkiran, tempat ia pagi tadi mengabaikan vespa tua pemberian bapaknya.
Ponsel Raya bergetar. Tanpa dibuka pun, ia sudah bisa menebak pengirim dan isi pesannya. Sudah pasti itu pesan dari ibunya yang mengingatkan Raya untuk tidak singgah ke lain tempat selain rumah. Ibu hari ini sudah masak banyak dan selalu ingin makan malam bersama suami dan anaknya. Ibu tidak punya istilah “makan di luar” dalam kamus hidupnya. Makan di rumah itu lebih indah, romantis, dan sesuai sunnah katanya. Raya pun bergegas pulang meski dengan kecepatan paling lambat karena berbagai hambatan.
Perjalanan dari kantor ke rumah seharusnya bisa ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja. Namun, sore ini jalanan padat luar biasa. Raya baru sampai setelah hampir satu jam bermacet-macetan. Raya menggeser pintu gerbang rumahnya yang bergaya Belanda dengan halaman luas berumput kuning langsat. Rumah Raya berlokasi tepat di titik paling romantis kota ini, Jl. Ir. H. Juanda, Dago.
“Habis salat, kita makan malam ya, Ray.”
Adzan magrib bersautan dari toa ke toa. Salam yang diucapkan Raya sampai tak terdengar oleh ibu tampaknya. Ibu sudah bersih, rapi, dan terlihat lebih cantik dari kemarin.
“Assalamualaikum,” Raya mengulang menyalami dan mencium tangan ibunya. “Ibu masak apa?” Raya lalu membuka panci besar di tengah meja makan.
“Waalaikumussalam, ini ibu masak sesuai permintaan, sop iga kesukaan bapakmu,” jawab ibu dengan lengkungan indah dari pipi ke pipi.
Kerutan di wajahnya menunjukkan tanda penuaan yang tak bisa dihilangkan produk kecantikan manapun. Apalagi ibu tak mencoba menghilangkannya, tidak juga menutupinya. Ibu tak merasa dirinya terlihat begitu buruk meski usia sudah berpuluh-puluh. Ibu sudah berdamai dengan uban, kerutan, dan segala tanda penuaan lainnya.
Hari ini jadwal ayah Raya menginap di rumah mereka. Iya, ayahnya memiliki dua rumah karena ia memiliki dua istri.
Ini tahun kelima ibu dimadu. Semakin hari jadwal kunjungan ayah semakin berkurang. Awalnya ia menginap selang sehari. Tetapi kemudian ayah merasa cukup lelah karena jarak rumah antara dua istri yang tidak bisa dibilang dekat, walaupun sebetulnya tak seberapa jauh bila ayah sedikit menguatkan niat. Ayah saat itu memutuskan untuk menginap di tiap istri setiap tiga hari.
Di tahun kedua ayah memilih untuk menginap lima hari di rumah istri kedua dan dua hari di rumah istri pertama. Alasannya adalah rumah istri kedua lebih dekat dengan tempat kerja ayah. Namun, pada kenyataannya ayah tak selalu bisa menepati janji untuk menginap di rumah istri pertama, sebab ia selalu memiliki lebih banyak alasan untuk tidak datang. Singkatnya, ia hanya tidak mau datang. Setidaknya itu kesimpulan Raya. Namun, ia tak mau terlalu memikirkannya, apalagi mengeluhkannya. Sedangkan ibu… Entahlah. Ibu tak pernah banyak bicara, lebih banyak diam dan mengalah.
Raya tak ingat kapan terakhir kali ayahnya datang untuk menginap, yang jelas bukan bulan ini ataupun bulan sebelumnya. Ia melihat jam dinding sebelum keluar kamar. Itu sudah setengah tujuh lebih. Ia mencium pertanda malam ini pun ayahnya tak akan datang.
Ibu sedang menyiapkan tiga gelas teh panas. Raya berdeham kemudian duduk bersebrangan dengan kursi ibu. Ibu baru duduk setelah beberapa kali mondar-mandir membawa ini dan itu ke meja makan. Malam ini ia sungguh terlihat seperti perempuan tua yang bahagia. Ah, senyum konyol itukah yang orang sebut cinta? Bodoh betul.
“Bagaimana kerjaanmu, Ray?” Ibu terlihat beberapa kali melirik jam dinding.
“Sibuk, Bu. Minggu depan ada seminar di luar kota,” Raya sudah melahap dua tempe goreng untuk mengganjal perutnya yang sudah lapar. Di dalam hati ia berdoa agar bapaknya betul-betul datang dan tidak membatalkan kebahagiaan ibu.
“Oh begitu,” melirik jam lagi. Ibu tak benar-benar tertarik dengan topik obrolan yang ia buka sendiri. Jelas-jelas ia sudah mulai gelisah karena suaminya tak kunjung datang.
“Bapak betulan datang, Bu?” Raya memakan tempe goreng nomor tiga.
“Katanya begitu,” ponsel ibu bergetar.
Ibu membuka pesan yang masuk ke gawainya. Ia mengetik sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke Raya.
“Kita mulai makan saja. Bapakmu masih jauh, katanya terjebak macet.”
Raya tertawa kecil, terdengar sinis walau ia tak bermaksud demikian. Ibu berdeham sebelum meminum tehnya yang semakin dingin. Lalu ia menyiram mangkuknya setengah penuh dengan sop iga. Ibu selalu memisahkan makanan berkuah dari nasinya. Raya memperhatikan perubahan suasana hati yang menjadi muram.
“Kalau aku sampai kapan pun tidak akan mau dipoligami, apalagi menormalisasinya.”
Raya sudah kehilangan selera makan. Ia membuka obrolan dengan spontan. Sungguh fungsi penyaring di otaknya kadang tak berfungsi dengan baik, sehingga apapun keluar begitu saja melalui mulutnya tanpa membaca suasana.
Ibu mengunyah makanannya dengan ekspresi wajah tenang. Ia tak merasa terganggu dengan pernyataan Raya, meski ia mengerti ke mana arah pembicaraa ini.
“Poligami itu dibolehkan kok dalam islam. Memang berat, makanya balasannya surga. Kalau ringan, mungkin balasannya hanya kulkas.” Itu lawakan ibu-ibu yang tidak perlu dan tidak lucu.
“Jalan ke surga masih banyak yang lain, Bu.” Piring Raya masih kosong. Sejujurnya ia tak tahan lagi.
“Betul juga.”
Ibu tak mau berdebat. Ia hanya tersenyum sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk Raya.
“Sudah kubilang, Ibu lebih baik ceraikan saja bapak tua tukang kawin itu.”
Mendengar hal itu ibu segera menghentikan segala jenis pergerakan, merasa tak nyaman dengan celetukan yang menurutnya tidak sopan dan cenderung menyakitkan.
“Hus. Walau bagaimana pun dia adalah bapakmu. Dia yang mendidik dan membesarkan kamu. Ibu tidak pernah menyesal menikahi bapak. Pun kamu harus sayangi dia seperti dia menyayangi kamu bahkan sebelum kamu ada.” Ibu tak melanjutkan apapun yang hampir ia katakan. Ia mengelus-elus dadanya sambil beristigfar, menenangkan diri sendiri.
Raya terdiam. Ia menyantap makan malamnya dengan dada yang berat bergemuruh. Ia tetap makan demi tata krama. Ibunya pun jelas-jelas sangat ingin melihat dia makan.
Keduanya menyantap makanan tanpa melanjutkan perbincangan. Suasana ruang makan terasa agak canggung dan sesak.
Ibu mengecek gawainya lalu mengabaiknnya lagi. Ia mengangkat kepalanya, menatap anaknya.
“Bapak minta maaf karena malam ini tak jadi datang. Dia nitip salam buat kamu.” Ibu menunggu sekian detik yang panjang sampai akhirnya Raya mengatakan sesuatu.
“Sejak lama aku sudah tak pernah berharap banyak, Bu. Bapak sering bilang mau datang, tapi lebih sering batalnya. Lebih baik ibu juga tak usah terlalu kecewa. Kalau dia mau datang, alhamdulillah. Bapak tidak mau pun, tidak masalah.”
Ibu tersenyum mendengarnya. Ibu menyadari bahwa anaknya sudah dewasa dan sudah bisa marah, tapi juga bisa menenangkan dan menasihati ibunya. Ia tak mau menyalahkan anaknya. Sebagai anak pertama dan satu-satunya, Raya sudah pasti memiliki beban yang sungkan ia ceritakan. Raya sudah tumbuh dengan kuat.
“Kamu sering menanyakan, kenapa ibu tetap bertahan sama bapakmu ya?” Ibu menyelesaikan makan malamnya. Ia melihat Raya menunggunya minum teh, sebelum melanjutkan kata-katanya. “Mungkin ibu terdengar terlalu tua untuk mengatakan ini, tapi ibu tidak punya alasan lain selain cinta,” ia tertawa kecil, “Ibu mencintai bapakmu karena Allah. Ibu yang memilih dia untuk jadi suami ibu. Ibu juga kelak di hari akhir ingin dibangkitkan sebagai istrinya.”
Harus diakui bahwa Raya cukup kaget mendengar itu. Ia belum pernah mendengar ada orang yang mengatakan hal demikian. Raya tahu bahwa di luar sana ada banyak orang yang menikah karena cinta. Tetapi mendengar seseorang mengatakan kalau ia ingin dibangkitkan kembali sebagai istri pasangannya adalah pertama kalinya. Raya tidak tahu kalau ibunya memiliki mimpi sedalam, sejauh, dan semulia itu. Raya hanya merasa sedih karena mungkin bapaknya tak memiliki perasaan yang sama.
“Ibu tidak tahu isi hati manusia,” ibu melanjutkan seakan-akan ia mengerti isi pikiran Raya, “tapi ibu yakin ada alasan, kenapa bapakmu tidak menceraikan ibu. Ada alasan kenapa dia meminta izin sebelum menikahi perempuan lain. Ada alasan kenapa dia menjadikan ibu satu-satunya istri sah secara hukum.”
Bapak memang menikahi istri mudanya secara siri. Meskipun istrinya meminta untuk mencatatkan pernikahan mereka pada negara, bapak belum juga melakukannya. Padahal ibu juga sudah beberapa kali mendesak bapak. Jawaban bapak selalu sama, bapak menunggu waktu yang tepat.
“Ibu sering memposisikan diri sebagai istri muda bapak. Bagaimana rasanya hanya dinikahi secara siri, sementara ia bisa diceraikan kapan saja dan dengan cara yang amat mudah. Sudah pasti ibu keduamu juga sesekali merasakan kekhawatiran itu. Makanya ibu tak mau menghakimi dan menyalahkan dia. Apa lagi usianya jauh lebih muda dari ibu.”
Raya juga ikut berpikir dan bersimpati. Ia terkadang tidak menyadari kalau hubungan orang tua termasuk ibu sambungnya ternyata serumit itu. Ia tidak bisa tidak untuk berpikir kalau bapaknya lebih dari menyebalkan. Apa sebetulnya yang bapak mau? Kenapa dia melakukan itu?
“Kamu kalau ada waktu luang, berkunjunglah ke rumah ibu sambungmu. Dia sering minta kamu bertamu, bahkan menginap. Tidak usah tunggu bapak yang ke rumah kita.” Ibu mulai menutupi semua piring makanan saat ia melihat Raya selesai makan.
“Kami mungkin kurang cocok,” Raya memindahkan piring kotor ke tempat cuci.
“Tentu kalau dari segi usia, kamu lebih nyambung ngobrol sama ibu sambungmu dari pada sama ibu yang sudah tua dan ketinggalan zaman ini,” Adzan sudah berkumandang lagi, menyerukan umat untuk sembahyang.
“Mungkin kapan-kapan,” kata Raya sambil mencuci piring dan gelas kotor.
Raya mencoba untuk tidak terlihat terlalu terkejut saat ibunya tiba-tiba mengelus-elus rambutnya sambil membisikkan hal-hal yang tak ingin ia dengar.
“Maafkan ibu ya. Maafkan bapak juga. Ibu sangat sayang sama kamu. Ibu yakin bapak juga begitu. Semoga kamu tidak terbebani dengan segala hal yang terjadi dalam keluarga ini.”
Raya melirik sedikit ke arah ibunya. Ia menemukan ibu tersenyum, lalu mencium kening Raya.
“Semoga kamu selalu bisa menemukan kebahagiaan di dalamnya.”
Ibu kemudian menepuk pundak putrinya sebelum akhirnya pergi ke kamarnya untuk beribadah. Raya melanjutkan mencuci piring, sementara air sesekali jatuh dari matanya.
***