Puisi: Keberangkatan, Perjalanan, dan Kepulangan

LAZIMNYA, perjalanan lebih panjang dibincang ketimbang kepulangan. Namun, penyair Yohan Fikri menempatkan kepulangan selangkah dengan perjalanan. Kepulangan melampaui sehimpun pertanyaan tentang mengapa perjalanan perlu disegerakan.

“Lahir di Charleville, wafat ketika sedang melewati Marseille”

Begitu catatan kematian Arthur Rimbaud, penyair besar Prancis abad ke-19. Ia gemar berjalan kaki dari kota ke kota lain mencari kepuasan sastrawi. Untuk mendapatkan uang perjalanan, Rimbaud rela pergi ke Belanda mendaftar sebagai tentara KNIL. Batavia dan Salatiga pernah disinggahinya pada Agustus 1876.  Lelaki keras kepala itu lebih suka menyebut diri sebagai ‘pejalan kaki, tidak lebih’.

Identitas sebagai pejalan kaki lebih menarik bagi Rimbaud ketimbang sebutan penyair. Ini adalah cara bercerita tentang bagaimana Rimbaud berkarya. Dibanding duduk sendiri di kamar berdebu, Rimbaud lebih suka berjalan menjumpai orang-orang dan mendengarkan cerita mereka. Dari cerita itulah ia menemukan keindahan metafora. Ia lebih suka menjejakkan kaki di jalanan kota. Dari perjalanan itulah ia menangkap pergulatan manusia lalu menjadikannya larik-larik sajak.

Perjalanan.

Kisah Rimbaud adalah catatan betapa setiap perjalanan layak diceritakan. Satu-satunya perjalanan tak layak dikisahkan adalah perjalanan yang hanya direncanakan. Perjalanan adalah ikhtiar wajib bagi penyair. Barangkali, perjalanan ikhtiar seperti itulah yang menjadi bahan bakar Yohan Fikri ketika menyelesaikan buku puisi Tanbihat Sebuah Perjalanan.

Berbeda dengan Rimbaud. Perjalanan Yohan bukanlah menyusuri kota-kota, melainkan menapakkan kaki pada kepingan-kepingan memori. Ia tidak pergi untuk mendapatkan cerita dan metafora. Yohan menjalani hidup sederhana, tapi ia menapasi keseharian dengan ikhtiar metafora. Setiap tarikan napasnya adalah upaya menangkap cerita lalu mengembuskannya kembali dalam rupa metafora. Maka, sulit rasanya untuk tidak menuliskan bahwa Yohan sudah selesai dengan urusan sekitar metafora.  

Sebagaimana sebuah perjalanan, Yohan membagi buku puisinya dalam tiga titik: Keberangkatan, Perjalanan, dan Kepulangan.

Pada titik Keberangkatan, kita bisa membaca bagaimana Yohan menetapkan Ibu dan Abah sebagai titik asal semua cerita. Memori tentang dua sosok mulia tersebut dirangkainya menjadi serenade dan fragmen.

Bila esok pagi kau dengar daun-daun limaran berkelisik dicumbu bibir angin dari timur, itulah, Ibu! Itulah tembang asmaradhana yang sedang kulantunkan.

(“Serenade Rindu untuk Ibu”, Yohan Fikri, 2022:2)

Kau adalah puisi, yang kurangkum di bait terakhir fragmen ini:

“Bila ada yang lebih pantas dituntut balas selain dendam yang merah, barangkali itulah rinduku padamu, abah! Itulah rinduku, padamu!”

(“Fragmen-Fragmen Rindu Buat Abah”, Yohan Fikri, 2022:4)

Yohan mengingat kembali kebersamaan dengan Ibu sebagai serenade. Alunannya serupa asmaradhana yang mengisahkan cinta.  Yohan sadar, kerinduannya akan Abah tak mungkin terpuisikan utuh. Serenade dan Fragmen menjadi bekal bagi Yohan untuk memulai sebuah perjalanan. Jika rindu menerpa, nyanyian sore akan segera menghadirkan Ibu. Jika cerita perjalanannya terpotong-potong, kerinduan akan Abah segera mengutuhkan.

Titik Keberangkatan perjalanan Yohan juga dipenuhi kenangan dan ingatan. Ini menarik. Mengapa kenangan dan ingatan mesti dihadirkan di titik keberangkatan? Bukankah perjalanan adalah kerja menghimpun cerita untuk dikenang sebagai ingatan pada masa depan?

Seraya terus bertanya, kurang sublimkah semua ini?; masihlah pas foto masa kecil di meja kerja, kenangan yang demikian ingin kau ingat saat kau menjadi dewasa;

(“Diorama Kecemasan”, Yohan Fikri, 2022: 22)

Masa lalu serta luka-luka

Yang (meski) telah kita lunasi,

Kadang masih terasa ganjil di kepala.

(“Pada Suatu Juni yang Murung”, Yohan Fikri, 2022: 24)

Setiap tengah malam, ingatan menjelma alarm,

Berdering nyaring membangunkan

Kenangan yang pulas tertidur di ranjang masa lampauku

(“Ilusi-Ilusi Tengah Malam”, Yohan Fikri, 2022: 26)

Luka, masa kecil, dan masa lampau kerap menyesaki kenangan dan ingatan. Kalaupun semua itu hadir di titik Keberangkatan, maka yang perlu dijadikan bekal adalah gumpalan kegembiraan. Kaki-kaki masa kecil kerap dipenuhi luka. Luka itu memang perih, tapi tidak dengan kenangannya. Luka-luka kaki masa kecil ibarat pas foto yang selalu terpampang di meja kerja ketika dewasa. Kita tak bisa kembali ke masa lampau. Menatap foto masa kecil adalah alarm yang membuat kita tetap terjaga dalam perjalanan panjang sebagai orang dewasa.

Di titik Perjalanan, Yohan lebih banyak mengisahkan kemuraman dan kehilangan. Jamak pula terbaca aroma perkabungan dan kematian. Berjibaku dengan kesunyian dan kepedihan.

… kota demi kota terus mencakar lambung cakrawala, asap pabrik mencabik paru-paru dunia, mereka dengar di sudut samudera, sekawanan lumba-lumba melenguh, mendendangkan langgam perkabungan:

(“Munajat Para Malaikat”, Yohan Fikri, 2022: 39)

Udara memaku debu dan api, ketika langit kehilangan matahari. Jagat raya dibangun oleh kegelapan, jalan-jalan dusun, disusun dengan tangis dan teriakan.

(“Yang Tersisa Pascaerupsi”, Yohan Fikri, 2022: 41)

Bentang perjalanan larik-larik puisi Yohan bukan untuk menambal apa yang berlubang, bukan pula menambahkan apa yang kurang. Puisi-puisi di titik perjalanan Yohan lebih tepat disebut sebagai perjalanan menemukan kembali apa yang hilang: kesadaran, kepedulian, dan kesederhanaan. Seumpama relasi manusia-alam adalah  perjalanan panjang, maka relasi manusia-Tuhan adalah peta sekaligus kompas.  

Tatkala perkabungan dan kematian menjadi menu harian, manusia mesti segera menghentikan perjalanan. Manusia perlu membuka kembali peta dan kompasnya. Kembali membaca peta dan mengarahkan kembali kompas. Ketika jagat mulai pekak dengan tangis teriakan, itu adalah peringatan bahwa ruang batin manusia sudah menggelap.

Bersama sepi yang kian mafhum

Lalu cinta akan jadi sepah, dan keasingan

(“Kesunyian yang Terhampar di Atas Meja Makan”, Yohan Fikri, 2022: 46)

Puji-pujian meminta hujan

Lebih karib di telinga kita sebagai ratapan

(“Jejak Kaki Paceklik”, Yohan Fikri, 2022: 58)

Sementara di atas bahtera harapanmu – yang limbung dan rapuh itu, kecemasan ialah lidah-lidah ombak, tak henti mencumbu lambung dan geladak.

(“Salindia Musim Wabah”, Yohan Fikri, 2022: 68)

Risiko menggelapnya ruang batin adalah kesepian dan keterasingan. Puji-pujian tak lagi bisa dibedakan dengan ratapan. Harapan-harapan ditenggelamkan oleh kecemasan. Ketakutan paling purba mendiami sekujur perjalanan. Lalu, ke mana manusia mesti melanjutkan perjalanan?

: ketakutan yang purba

Diam-diam tengah menggeragau sekujur tubuhnya.

Ah, Tuhan memang gemar meninggalkan pertanyaan,

Pada setiap firman yang Ia turunkan

(“Firman Tentang Sebuah Maut”, Yohan Fikri, 2022: 73)

Yohan rupanya tak bisa mengingkari dirinya sebagai anak pondok yang tekun menekuri Firman Tuhan. Bagaimana pun, ruang batin manusia hanya terpuaskan oleh kedekatan dengan Firman. Kendati Tuhan gemar meninggalkan pesan berupa pertanyaan, kembali pada Firman niscaya membawa kelegaan.

Beberapa puisi juga menyerupai catatan perjalanan batin. Perjalanan tak berujung yang mesti dikhtiari adalah perjalanan menemukan Tuhan dalam diri. Maka, semua persoalan sepi-asing-gelap-ratap-tangis adalah cara Tuhan menggerakkan manusia menemukan Tuhan dalam batin-diri.

Di titik Kepulangan, nyaris seluruh puisi Yohan merujuk kisah pewayangan. Ada ceruk peperangan Durna dan Aswatama. Juga perjudian Sengkuni menaklukkan ketulusan Yudhistira. Pelik asmara Bhisma dan Amba bersanding dengan kemasygulan Subali dan Sugriwa. Dari semua itu, yang menarik adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak di celah-celah bait.

Kaudengarkah angin dan bara sedang tertawa

Mengeropok seluruh tenda, ketika

Dendam telah lunas pada suatu malam yang pulas?

(“Dendam Aswatama”, Yohan Fikri, 2022: 93)

Dan di atas gelanggang, tidakkah kau tahu, apakah taruhan yang mereka pasang? – nama kekasihmu, Anjasmara.

(“Kembang Kepatihan”, Yohan Fikri, 2022: 99)

Dan terus dirundung tanya, “Apa lagi setelah ini?”

(“Bersama Panchali di Suatu Pertunjukan Wayang Orang”, Yohan Fikri, 2022: 103)

Betapa kematian tak ubahnya lesat anak panah meluncur dari sebusur gandewa itu, siapa kuasa mencegah? Tak ada!

(“Tragika Asmara Amba dan Bhisma”, Yohan Fikri, 2022: 103)

“Kebahagiaan macam apakah yang bisa digalah,

dengan menghancurkan saudara sedarah?”

(“Desah Cemas Napas Kunti”, Yohan Fikri, 2022: 109)

Wayang adalah sebentuk bayangan yang ditangkap layar. Sebagaimana bayangan selalu dekat manusia, dalam kelam hitam, wayang bisa ditafsir sebagai kisah dekat pergulatan manusia. Ia selalu relevan melampaui zaman. Ketika manusia kehabisan cara menyelesaikan persoalan, wayang acap dirujuk sebagai penawar jawaban. Namun, wayang tak pernah memberikan jawaban lugas. Tak ada pesan benderang dalam kisah pewayangan. Wayang membeberkan pertanyaan-pertanyaan di balik kisah. Manusia mesti lebur menjadi wayang untuk menemukan titik jawaban.

Tentang dendam misalnya, menjadi Aswatama sembari bertanya ‘dendam telah lunas pada suatu malam yang pulas?’ lebih melegakan daripada terjerembab dalam pusaran kematian tak berujung. Lebur bersama Panchali lebih baik daripada terombang-ambing serakah pertaruhan. Sebab, perjudian hanya akan menyisakan pertanyaan ‘apa lagi setelah ini?’. Asmara menjadi biasa jika tak ada tragika kematian, maka bertanya kepada Amba dan Bhisma ‘siapa kuasa mencegah?’ adalah bijak karena jawabnya niscaya ‘tak ada!’

Di balik kepulangan selalu ada pilihan. Alih-alih mengakhiri perjalanan, Yohan justru menyematkan pertanyaan-pertanyaan di titik kepulangan. Ia seolah hendak menapak tilas perjalanan Rimbaud yang mati ketika sedang asyik-asyiknya menikmati perjalanan. Titik kepulangan Yohan pun menjelma pertanyaan yang mesti sinambung dengan mencari-menjadi cerita perjalanan. Maka, untuk menemukan pesan di balik cerita perjalanan, puisi-puisi Yohan mesti dibaca sebagai catatan kaki. Buku puisi Tanbihat Sebuah Perjalanan tidak memaksa kita segera pulang, tapi memberi tanda bahwa setiap kepulangan mesti dirayakan dengan cerita.

Manusia, dengan segala pergumulan dan lekuk perjalanan hidupnya, punya dua pilihan cara berpulang: membawa cerita atau menjadi cerita. Mereka yang memilih pulang dengan membawa cerita adalah pejalan yang terpisah dari perjalanannya sendiri. Perjalanan yang dilakukan tak lebih dari memindahkan jasmani dari satu titik ke titik lain.

Sementara, mereka yang memilih pulang menjadi cerita menenggelamkan diri ke dalam perjalanannya sendiri. Perjalanan yang dilakukan menggerakkan keseluruhan diri menangkap cerita. Setiap titik perjalanan menjadi fragmen dimana manusia meleburkan keutuhan diri sebagai bagian dari cerita perjalanan. Di situlah manusia menjadi (pelaku) cerita perjalanan.

Kepulangan yang dituju puisi-puisi Yohan adalah kepulangan manusia menjadi cerita. Seluruh ceritanya berujung pada tanbihat, perjalanan yang layak dicatat dan diceritakan. Bukan tentang jarak, tapi tentang dampak. Bukan ke mana kita mesti berjalan, tapi mengapa perjalanan layak disegerakan.  

***

Bagikan:

Penulis →

Wahyu Kris

Seorang guru yang sedang dan senang belajar menulis, tinggal di Malang. Bisa diajak berkawan lewat IG @wahjoekris. Himpunan esai sastranya Di Balik Wajah Hujan (2024) segera terbit bersama Penerbit Pelangi Sastra Malang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *