Aku Berteduh Sebentar



Menanti Pelukan

     setiap ke sini, aku akan bermain di air,
depan sessat, dan diam di dekat mimbar
menanti pelukanmu amat rindu,

    sesudah itu langkahku akan mengais
kutandu tubuhku ke gedung ratu; ya gedung
ratu — bumi segala poyang — yang menitiskan
darah-daging bagimu
    pualam di rumahku ini

bahwa aku bukan dari seberang
namun amat dekat seurat leher
dengan tanah ini. sebab aku lahir
lalu mandi+minum+kawin di sini

: tak ke manamana

lantas bagaimana bisa kau sebut
aku anak pendatang; sekadar
numpang di selasar bumi ini

1-3 Juni 2024




Jejak Pertama

apakah kau tahu jejak pertamaku
di ruang tamu ini, saat itu wajahmu
sangat cemas. seperti melihatku
berada di tepi jurang

anganmu melayang;        
aku terjun
untuk bertahuntahun
mencari pijakan. yang kokoh

sesudah itu kau biarkan
kutembus jalanjalan
segala bentangan hutan
kota yang jauh dari pandangan

tapi, ini kali kau tak lagi khawatir
di wajahmu selalu bersinar
matahari + bulan. sebagai suar
aku pergi dan pulang
padamu

bahkan ketika aku ingin menolak



Kau yang Hapus

aku berteduh sebentar, sayang
hujan sangat deras, jalanjalan
sudah jadi lautan; “semoga kau
menantiku pulang tanpa cemas,”
doaku. aku berharap kau kini
tatap riang membaca kabarku
dan menyaksikan setiap cerita
dari kotakota dalam telepon
genggam itu. tentang tapera
atau beritaberita tak sedap
berseliweran di negeri kita ini

usah cemas
hujan tak lama lagi
         akan berhenti
dan aku datang padamu
dengan pakaian kuyup
“kuharap kau yang
menghapus setiap
butiran air di tubuhku
dengan jemari lentikmu
atau lidah ular itu…”




Tugu Megou Pak

di tugu megou pak
tangga menuju puncak
aku seakan menaiki silsilah
segala leluhur masa laluku

aku salim pada buai bulan,
buai tegamoan, buai umpu,
dan buai aji — “beri aku jalan
menuju titahmu” harapku

agar aku selalu terjaga
dari marwahmu, kuharap
bisa dalam jalan tunjukmu
: megou pak

di tangga megou pak
ke dua kali langkahku ke sini
serasa aku mendaki ke pepadunmu
: kuurai kekerabatan
empat marga yang berdiri

menjaga tulang bawang
senantiasa benderang!

Tubaba 31 Mei 2024

Bagikan:

Penulis →

Isbedy Stiawan ZS

Sastrawan asal Lampung dan alumni Forum Puisi Indonesia 87 yang masih produktif sampai kini. Buku-buku dan karya puisinya kerap memenangkan lomba/sayembara, atau masuk nomine. Pemuatan Karya, antara lain: Kompas, Horison, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, inilampung.com, magrib.id. Tahun 2022 ia meluncurkan buku puisi terbitan Siger Publisher, yakni Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan, Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang, Ketika Aku Pulang (2022), Masuk ke Tubuh Anak-Anak (Pustaka Jaya, Bandung), dan Biografi Kota dan Kita (April 2023). Pada 2015 Isbedy pernah sebulan di Belanda dan lahirlah kumpulan puisi November Musim Dingin. Selain itu ia juga pernah diundang ke negara Thailand, Singapura, Brunei Darussalam.

Buku puisinya, Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua masuk 5 besar pilihan Majalah Tempo (2019) dan Kini Aku Sudah Jadi Batu! terpilih 5 besar Badan Bahasa Kemendikbud RI (2019). Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *