AKU tersentak ketika bunyi sirene keras terdengar dari masjid dekat rumahku. Mataku yang masih terasa berat terbuka tiba-tiba. Meskipun sudah ketiga kalinya di pekan ini, tapi aku tak pernah bisa terbiasa. Aku memaksakan kakiku untuk turun dari ranjang, menyentuh lantai dingin khas udara subuh. Dengan langkah yang berat, kuhampiri pintu kamar dan membukanya. Biasanya dengan suasana seperti ini aku bisa temukan ibu dengan mukena putihnya berdiri di depan pintu mendengarkan informasi kematian dengan seksama. Bahkan ayah pun akan terpaku di tempat tak berani bergerak takut mengganggu konsentrasi ibu. Tapi, pagi ini tidak ada Ibu di depan pintu, tidak ada ayah berdiri di dekatnya.
“Ibu ….” Aku berteriak mencari kehadiran ibu, berjalan ke arah dapur berharap ibu sedang memasak sesuatu untuk sarapan. Namun, tiada kutemui kehadiran ibu. Dengan langkah gontai aku berjalan ke arah kamar utama. Mengetuk pintu, sambil beberapa kali berteriak memanggil ayah dan ibu.
“Bu, siapa yang meninggal itu, Bu?”
Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaanku. Aku pun memilih untuk duduk, menikmati sunyi. Biasanya rumah ini sudah ribut pagi-pagi begini. Ibu akan cerewet mengetuk pintu kamarku untuk menyuruh salat subuh. Sedangkan ayah, sibuk di depan televisi mendengarkan ceramah dari salah satu program televisi kesukaannya. Tapi, hari ini sungguh sunyi.
“Tiga hari lalu Pak Rais, kemarin Bu Linda. Pagi ini siapa lagi yang berpulang?”
Pertanyaan itu menguap bersama dinginnya udara subuh. Kantukku sudah hilang, pikiranku sedang menebak-nebak keberadaan ibu dan ayah. Semalam aku pulang ketika mereka sudah tidur dan sekarang aku ditinggalkan ketika masih tidur. Meski sudah di usia yang cukup dewasa, ditinggalkan di rumah sendirian tetap terasa menakutkan.
Sedari kecil, ibu selalu membawaku bersamanya kemana pun ia pergi. Bahkan sampai sebesar ini pun ibu tidak mengizinkanku untuk berada jauh darinya. Begitulah ibu mencintaiku sebagai anak satu-satunya. Ibu menamaiku Hanan, menganggapku sebagai bentuk kasih cinta Tuhan terhadap keluarga kami. Sedangkan ayah akan berdebat dengan ibu ketika ibu melarangku melakukan sesuatu karena menganggap ibu terlalu memanjakanku sebagai seorang anak laki-laki. Ayah membantuku tumbuh menjadi laki-laki yang berani karena itulah tidak ada larangan untukku ketika bersama ayah.
Tiba-tiba pintu dibuka oleh segerombolan ibu-ibu yang kukenali. Mereka adalah tetangga kami, biasanya pada sore hari ibu akan mengobrol dengan mereka di teras rumah. Beberapa dari mereka mengucap salam dengan gemetaran dan masuk ke dalam rumah dan sibuk membereskan barang-barang di rumah ini. “Di mana letak karpet-karpet?”
Aku menunjukkan kepada mereka letak dimana ibu biasanya menyimpan karpet-karpet. Aku mengikuti mereka dari belakang. “Bu, di mana Ibu saya sekarang?”
“Bu Ratmi masih di rumah sakit. Apakah sudah diinformasikan tentang kematian anggota keluarga ini di masjid?” Beberapa dari mereka meneteskan air mata. Lalu, saling menguatkan dengan kalimat-kalimat penenang. Aku mengangguk kaku, aku mendengarkan sirene menakutkan itu tadi. Dari penghuni rumah inikah berita kematian itu? Ibuku kah?
Tak beberapa lama, karpet-karpet sudah terbentang rapi. Kursi-kursi ditepikan, rumah ini terasa begitu lapang. Aku berdiri di pojokan. Sebentar lagi akan kusambut datangnya lukaku. Akan kuterima jasad ibuku dan akan kuhabiskan kesempatan terakhirku untuk memandangi wajahnya. Benar-benar diwujudkan impiannya untuk meninggalkanku terlebih dahulu. Waktu itu setelah aku pulang kerja dan duduk santai bersama, diucapkannya harapannya itu.
“Jika sudah waktunya untuk dijemput, Ibu ingin pulang lebih dulu dari kamu, Nan. Ibu tidak akan pernah sanggup menyaksikanmu atau ayahmu pergi lebih dulu meninggalkan Ibu.”
Ternyata aku pun tidak sanggup, Bu. Menunggumu tidak pernah semenyakitkan ini sebelumnya. Tanpa kusadari dari depan pintu sinar matahari pagi sudah mulai menyapa pagi. Orang-orang satu persatu berdatangan, memasuki rumah kami. Berbisik-bisik membicarakan bagaimana kronologi musibah ini menimpa. Semua persiapan telah siap menantikan jenazah datang. Aku masih saja menyembunyikan diri menahan tangis.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Semua orang bangkit menyambut orang yang akan datang. Aku celingak-celinguk menerka-nerka kehadiran siapakah itu. Sayup-sayup kudengar sebuah tangisan, makin lama makin keras dan terasa menyakitkan. Ibu. Aku kenal suara itu. Suara ibuku. Aku berlari menuju pintu rumah menyambut ibuku. Ibuku tidak meninggal. Bukan ibu yang meninggal!
Kupeluk tubuh ibu yang sudah meluruh. Kurasakan badannya gemetar, kata-kata yang disampaikannya tak lagi jelas, yang bisa kurasakan adalah betapa hancur hati ibuku sekarang ini. Ternyata ayahlah yang meninggalkan kami terlebih dahulu. Tidak ada yang lebih baik antara kehilangan ayah atau ibu bagiku.
“Bu, mengapa ayah meninggalkan kita lebih dahulu?”
Ibu tak sanggup menjawabku. Hanya tangis seperti saat memasuki rumah ini yang menjadi suaranya. Ibu-ibu tetangga kami silih berganti memeluk ibu dan membisikkan sesuatu ke telinga ibu. Kuharap kalimat-kalimat itu benar-benar bisa menenangkan hati ibu. Sedangkan aku, dengan berlinang air mata tak kulepaskan tanganku dari pergelangan tangan ibu. Hanya ibu yang kupunya sekarang dan hanya aku yang ibu punya sekarang. Aku akan berusaha kuat untuk ibu, meski sebenarnya ada kesedihan mendalam ketika aku sadar setelah ini tak akan lagi kudapati ayah di setiap hari-hariku.
Ibu sudah mulai tenang, aku semakin mengeratkan pelukanku pada lengan ibu. “Ibu, ada Hanan di sini, Bu.” Kalimat itu terus kuucapkan untuk menguatkan hati ibu, juga hatiku sendiri.
Setelah suara sirene pemberitahuan kematian, sirene mobil ambulans terasa menggetarkan. Bagaimana caraku menyambut jasad ayahku sendiri, bagaimana mungkin aku sanggup. Mobil itu berhenti di halaman rumah. Aku berdiri, lalu berjalan menghampiri dan menjemput ayahku. Aku menembus gerombolan orang-orang yang juga bersiap membantu. Betapa terkejutnya aku, orang pertama yang keluar dari ambulans itu adalah ayahku. Dalam kondisi baik-baik saja. Aku sangat senang dan juga bingung. Ibu dan ayahku tidak meninggal. Mereka baik-baik saja. Lalu, jenazah siapakah yang kami tunggu?
“Ayah, bawa Hanan ke sini. Dia ingin tidur di rumah sejenak. Biarkan ibu membacakan dongeng pengantar tidur untuk yang terakhir kalinya.” Ibu berteriak dari dalam rumah.
Ayah mengusap air matanya dan menjawab teriakan ibu, “Iya, Bu. Sebentar, akan ayah bawa jagoan kita ke dalam rumah.” Air matanya semakin deras, tepukan-tepukan menguatkan terus mendarat di bahunya.
Ternyata akulah yang mati. Kematiankulah yang diumumkan di masjid tadi subuh. Karpet-karpet ini disiapkan untuk menyambutku. Akulah yang telah meninggalkan ibu dan ayahku. Akulah yang ditangisi oleh orang-orang di sini. Akulah yang telah pergi. Aku yang berpulang mendahului ayah dan ibuku. Aku yang mati tadi subuh. Ternyata itu aku.
Jasadku terbaring di tengah-tengah. Ibu duduk di samping kanan menahan tangis, ayah memeluk ibu. “Nak, kau selalu menjadi alasan ibu untuk menangis. Kelahiranmu, melihatmu berjalan, melihatmu bersekolah, menyaksikan kau meraih mimpi-mimpimu, dan sekarang. Sekarang ibu menangisi kematianmu. Apakah aku seorang ibu yang beruntung atau malah seorang ibu yang menyedihkan?”
Ibu memelukku seperti bayi kecil yang baru dilahirkannya kemarin malam. Mengusap wajahku yang sudah terlanjur kaku. Menciumi keningku berkali-kali sambil memanggil panggilan kesayangan yang disematkannya sejak aku masih kecil. Ibuku yang malang. Ibu harus menyaksikan bagaimana sesuatu yang dititipkan kepadanya direnggut kembali.
Selain Ibu, aku katakan bahwa aku adalah salah seorang yang menyedihkan di sini. Aku mati di usia muda dengan janji-janji yang belum mampu kutepati. Surga atau neraka setelahnyam, entahlah. Apakah kelak dapat kulihat lagi wajah Ayah dan Ibuku. Yang jelas aku kini telah mati. Terbujur kaku menunggu dikuburkan, menyatu dengan segala hal di dalam tanah sana.
Pecah lagi tangis ibuku. Di peluknya ayah, mereka saling menguatkan. Aku hanya menyaksikan itu semua dengan harapan ini hanyalah sebuah mimpi dan aku akan segera terbangun.
“Nak, disebut apa orang tua yang kehilangan anaknya?”
Ayah memeluk ibu lebih erat sambil membisikkan kata-kata ikhlas berkali-kali. Bagaikan sebuah mantra, ibu menjadi sedikit tenang karenanya. Ayah memandangi jasadku, Seperti ibu, Ayah pasti juga tak kalah terpukulnya dengan kematianku. Aku tak akan bisa menjadi tua seperti Ayah, tidak bisa merasakan menjadi seorang suami maupun ayah. Lama sekali Ayah memandangi wajahku, hingga akhirnya diciuminya aku untuk yang terakhir kalinya.
“Terima kasih telah menjadikan kami sebagai orang tua, Nak. Kau milik Tuhan, kembalilah kepada-Nya.”