Anggi Dan Tono
“Tono.”
“Apa?”
“Beliin makanan di kantin, gih. Gue nitip.”
“Emang gue babu lo.”
Anggi menghela nafas lelah. Siang itu cuaca panas terik. Pendingin udara di ruang kerja mereka sudah dipasang semaksimal mungkin. Tapi rasanya neraka sedang bocor. Anggi mulai dehidrasi plus kelaparan.
“Gue masih banyak kerjaan, Ton.” rengek Anggi, selang semenit.
Tono melemparkan gumpalan kertas bekas yang tepat mengenai ubun-ubun Anggi. “Lo kira gue ngapain? Semedi?”
Anggi mendengus benci. Dibalasnya lemparan tersebut dengan sambitan sepatu cadangan yang selalu ia simpan di kolong meja.
Sayangnya, meleset. Sepatu itu justru mengenai pembatasan kubikel sebelah. Beruntung, tidak ada siapapun dibaliknya.
“Ton!”
“Apa, sih?!”
“Gue laper!”
“Gue juga!”
“Beliin mi ayam di kantin!”
“Beli sendiri, sono!”
“TONO!”
“Tuhan.”
Terpaksa, Tono menutup berkas yang sedang dikerjakannya, bergegas mengistirahatkan komputer. Pria itu bergerak cepat menuju meja Anggi yang berjarak lima langkah darinya. Lantas mengulurkan tangan.
“Duit.”
Giliran ditagih soal uang, Anggi mengeluarkan akting manis nan imut yang telah dilatihnya selama bertahun-tahun ke belakang. “Pake duit lo dulu, ya. Gue baru beli eyeshadow sama maskara minggu lalu.”
Tono menarik tangannya. “Bulan depan, lo yang mesti bayarin gue makan siang.”
Namun Anggi hanya mengangkat bahu singkat. “Tergantung. Kalau ada tas bagus, mending duitnya gue pake buat beli itu daripada bayarin lo.”
Beres menarik sebelah pipi Anggi hingga wanita itu mengaduh kesakitan, barulah Tono mengayunkan kakinya menuju lift. Bermaksud membelikan pesanan mie ayam untuk Anggi.
“Mereka berdua kenapa belum jadian, sih?”
“Gak tau. Bosen gue sama cekcok mereka setiap hari.”
“Iya. Kayak kucing sama tikus. Tapi romantis juga kalau diliat-liat.”
“Mungkin nanti kali. Pas udah mulai muncul tanda-tanda kiamat.”
Tanpa sepengetahuan keduanya, selama ini, mereka selalu ditonton dibalik ruangan bos yang kosong di jam makan siang.
Hati yang Rendah
Seorang wanita dari meja nomor 12, memanggil pelayan yang sedang membersihkan meja nomor 5. Namun begitu dihampiri, wanita itu seperti sedang menelaah wajah si pelayan.
“Lo, bukannya cewek cupu yang sekolah di SMA Merdeka?”
Pelayan itu tampak mengingat-ingat.
“Kamu Sandra? Gadis populer di SMA Merdeka?”
Sandra mengibaskan rambut panjang bergelombangnya. “Masih inget aja, lo.” sahutnya.
Pelayan itu terkekeh kecil.
“Lo dulu cewek populer?”
Seorang gadis di seberang Sandra, terlihat tidak percaya dengan fakta tersebut. “Soalnya lo kalah saing sama Laura di divisi sebelah. Lo tau dia baru aja lolos seleksi ke ajang kecantikan provinsi, kan?”
Mendengar itu, Sandra mendengus benci. “Dia cuma beruntung aja. Palingan, dia tidur sama salah satu jurinya. Makanya dilolosin.”
Sandra mengelak ketika gadis itu ingin menyumpal mulutnya memakai tisu entah bekas apa. Beralih pada pelayan wanita yang begitu sabar menunggu mereka selesai bicara.
Ia membaca nama di dada pelayan itu. “Dina, ya? Bisa pesan dua fettucini carbonara, satu cappucino panas, sama satu es jeruk?”
Dina dengan giat mencatat pesanan tersebut. “Bisa. Mohon ditunggu sekitar 15 menit lagi.”
“Oh, ya. Sama es krim cokelat satu.” tambah Sandra.
Dina mengangguk sopan.
Lima belas menit berselang, pesanan pun diantarkan, namun oleh pelayan yang berbeda. Sekilas, Sandra mengintip ke balik bahu pelayan pria tersebut. Memilih bertanya dimana pelayan yang bernama Dina barusan.
“What?!” Pekikan Sandra hampir membuat gadis di seberangnya menyemburkan kopinya. “Dia pemilik restoran ini?!”
Pelayan pria itu tersenyum ramah. “Semua pesanan telah diantarkan. Jika ada pesanan lain, silakan panggil saya atau pelayan yang berjaga di meja sebelah sana. Terima kasih.”
Sepeninggal pelayan pria itu, si gadis refleks mengarahkan rahang Sandra agar melihat keluar jendela.
Dina baru saja memasuki sebuah sedan mewah dan pergi entah kemana.
“Makan tuh cewek populer.”
Sandra merampas es krim miliknya, sebelum menyuapkan satu sendok besar ke dalam mulutnya.
Perjodohan yang Tidak Disengaja
Lala memandang kawan karibnya itu yang terus-menerus membuang nafas seraya mengaduk-aduk jus alpukat di hadapannya tanpa menyeruputnya sekalipun. “Kenapa lo?” tanyanya.
Kawannya, Semina, membuang nafas lagi. “Dugem, yuk.”
Nyaris saja Lala menyemburkan jus semangka yang baru saja memenuhi rongga mulutnya. Terkejut.
“Biji mata lo dugem! Abis ini aja kita mesti balik ke kantor buat beresin pekerjaan. Lembur, sist.”
Kalimat Lala ada benarnya. Semina kembali membuang nafas. Tapi akhirnya menyedot juga jus alpukat tersebut hingga tersisa setengah. “Gue cari camilan dulu, ya. Tungguin gue.”
“Siap.” sahut Lala dengan nada suara dibuat-buat.
Belum ada Semina melangkahkan kaki, seseorang tahu-tahu menabraknya dan membuat pinggangnya membentur sebuah meja kosong.
“Ya Tuhan. Maaf, Mbak. Saya gak sengaja.”
Seorang pemuda dengan sebuah kantong plastik besar yang isinya sudah berceceran, dengan sigap membungkukkan badan sembari mengulurkan tangan untuk membantu Semina berdiri.
“Saya kesandung kaki sendiri. Maaf ya, Mbak.” Pemuda itu lagi-lagi meminta maaf.
Semina membenarkan blazernya yang tersingkap. Beralih mendongak, untuk melihat siapa yang baru saja membuat dirinya hampir patah tulang.
“Mas ceroboh, ya. Ini pinggang lumayan nyut-nyutan, lho.” Semina berusaha meredam kekesalannya.
Pemuda itu kembali meminta maaf dengan penuh penyesalan. Sama sekali tidak mempedulikan barang-barangnya yang masih bergelimpangan di lantai food court.
Tidak berminat memungutnya.
“Mbak mau ke rumah sakit? Saya tanggung jawab.”
“Iya, Mas. Bawa aja. Saya tenang kalau temen saya dibawa pergi sama mas-mas ganteng kayak Mas.”
Pemuda itu dan Semina kompak menoleh. Lala sedang memangku dagunya seraya menatap ke arah si pemuda dengan mata berbinar dan senyum yang lebar.
“Bawa aja. Ke pelaminan juga boleh. Dia jomblo, lho.” tambah Lala lagi.
Belum sempat Semina menyahut, ponselnya bergetar singkat. Pesan dari adiknya yang berisi sebuah foto laki-laki.
Calonnya Mbak, nih. Aku curi fotonya dari hape Ibu.
Dan laki-laki itu sama persis dengan yang saat ini berdiri tepat di hadapannya.