AKU adalah seorang ranger. Maka mohon dimaklumi bila cerita ini dibuka dengan kalimat yang apa adanya seperti ini. Boleh dikata aku memang lihai menceritakan pesona Pulau Komodo kepada para pelancong. Tapi kalau urusan menulis cerita, aku tak ahu apa-apa. Bahkan kusarankan jangan sekali pun membuka cerita seperti yang kulakukan di awal. Akan tetapi dalam kasus ini aku harus mengatakan demikian, semata agar para pembaca yang budiman berkenan memaklumi kalau saja cerita ini kurang meninggalkan kesan yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Baiklah. Sekarang coba bayangkan kalian baru mendarat di pesisir pulau dengan riak ombak yang sanggup menahan kakimu seharian terendam air laut. Lalu saat mengedar tatap ke penjuru, pandanganmu menangkap sebongkah batu gamping yang berdiri sendirian di antara ketiak pohon cemara udang yang berbaris menunggu turis. Karena berwarna seputih telur komodo, siapa pun akan mudah menemukannya apalagi saat musim kemarau dan angin selatan memaksa cemara udang kehilangan daun-daun jarumnya seperti sekarang. Sependek ingatanku menjadi ranger, hampir semua turis yang berkunjung kemari dibuat penasaran dengan batu itu. Maka sebelum mereka bertanya, lebih dulu kuterangkan bahwa benda itu, karena bentuknya lonjong dan setinggi rusa dewasa, adalah fosil telur komodo raksasa yang hidup sezaman dengan dinosaurus.
Aku mengatakan demikian karena kurasa para turis tak akan berminat mencari kebenaran yang sesungguhnya. Mereka kemari untuk melihat komodo sekaligus berswafoto dengan mereka dari jarak sedekat mungkin. Jelas mereka tak akan ambil peduli dengan komodo yang masih berupa telur apalagi telur yang sudah menjadi fosil. Bila boleh jujur, sebenarnya akupun bertanya-tanya mengapa banyak sirih sekapur dan linting-linting tembakau di sana? Mulanya kukira batu itu adalah nisan seorang tetua Kampung Liang yang dikubur di sana. Maka saat dia bertanya menyelidik tentang benda itu, kujawab demikian.
“Kau tahu seperti apa orang yang dikubur di sana?” Dia masih mengejar tanya.
Kukatakan padanya bahwa aku bukan orang pribumi tapi aku bisa membawanya bertemu dengan orang asli Kampung Liang bila dia ingin. Berkat pertemuan sore itu, cerita ini bisa sampai ke tangan kalian. Sementara mengenai batu itu, aku salah besar. Dia bukan benda mati dan belum mati. Ia masih hidup. Itulah kenapa orang-orang memberi makan sirih sekapur dan dua tiga linting tembakau padanya.
**
Aku dan mama sedang menikmati salmon panggang saat terdengar bunyi guci pecah dari paviliun. Tak lama kemudian, Om Yadi, satpam kami menelepon.
“Guci yang kemarin dipindah dari ruang tamu pecah, Pak.”
“Besok pagi biar diperiksa Syaiful, Yad! Sekarang sudah malam,”teriak mama dari seberang meja sebelum aku sempat menjawab laporan Om Yadi.
Sebelum sarapan, kusempatkan menengok paviliun. Benar saja, guci cina kesayangan mendiang papa sudah hancur berkeping-keping. Yang membuatku tak habis pikir, mana mungkin pelakunya patung komodo yang terbujur kaku di tengah kepingan yang terserak ini? Semula kukira dia sebatas patung kayu. Saat kuamati lebih jeli, aku sempat membatin pastilah pembuat patung ini seorang pemahat ulung karena saat telapakku menyentuh tekstur kulitnya yang bersisik keras terasa ada denyut kehidupan yang menjalar di sana. Maka kuangkat ia keluar ruangan. Percayalah! Lampu LED 40 Watt pun akan bersaksi bahwa yang kuangkat adalah seekor komodo yang diawetkan. Pembuat patung kayu terbaik di dunia sekali pun, tak akan bisa memahat sepasang mata sayu yang memantulkan kilap kaca yang membasahi pucuk telunjukku saat mengoles mata kanannya.
Di meja makan, sembari menyantap pancake, aku bertanya pada mama benda itu milik siapa.
“Dulu papa yang beli saat hanimun di Pulau Komodo. Kenapa memang?”
“Saat masih hidup? Bukankah Komodo dilindungi, Ma?”Mendengar pertanyaanku, wajah mama langsung tegang. Membuat guratan keriput di lingkar matanya semakin tegas.
“Papa juga tak berniat sekalipun membelinya. Kamulah sebenarnya yang menginginkan benda itu. Waktu itu kamu terus-terusan menyakiti rahim mama tiap papa mengajak pulang meninggalkan pulau. Seolah kamu sedang memberontak ingin cepat lahir. Tapi tiap kali ada komodo melintas, kamu mendadak jadi tenang. Itulah kenapa akhirnya papa membawa benda itu kemari.”
“Jadi benar itu Komodo hidup, Ma?”
Tanpa seucap kata, mama meninggalkanku terpaku di meja makan. Setelahnya, aku Kembali ke paviliun dan benda itu kubawa ke kamar. Kuletakkan ia di atas rak sepatu. Sambil kupandangi lamat-lamat, dalam hati aku membatin mengapa dulu saat aku masih berupa jabang bisa-bisanya menginginkan benda ini? Saat kubalik tubuh kakunya, ada selembar foto yang kurasa sengaja direkatkan di tengah perutnya. Ada seorang lelaki bercambang tebal sedang membopong komodo dengan latar belakang pantai dan gugus pulau kecil. Pastilah dia yang menjual benda ini. Sialnya, usai mendapati potret itu, malam-malamku tak pernah tenang.
Andaikata lelaki bercambang tebal itu tak mengusik tidurku, jelas aku tak akan sampai di sini. Seminggu penuh ia mendatangi mimpiku. Malam pertama, kulihat dia menurunkan komodo yang ia bopong lalu melambai-lambai padaku. Kuanggap itu sebatas sugesti saja karena seharian aku memikirkan hal itu. Malam kedua ia datang lagi. Tak hanya melambai, ia lanjut berjalan diatas air laut ke arahku sampai jarak kami sedekat jarakku dengan ibu saat sarapan di meja makan. Aku mulai gusar. Malam ketiga dan seterusnya, aku mengalami mimpi yang sama persis. Lelaki bercambang tebal itu tenggelam di hadapanku seperti diiisap air laut. Mulutnya mengatakan sesuatu tapi aku tak bisa mendengarnya. Dari atas air kulihat tubuhnya berubah menjadi sebongkah batu putih. Itulah mengapa saat ranger yang memandu rombonganku tiba-tiba mengatakan bahwa bongkahan batu putih itu adalah fosil telur komodo raksasa yang hidup sezaman dengan dinosaurus, aku seperti menemukan apel segar yang bisa kukupas usai menyantap pancake.
**
Aku belum selesai memahat patung komodo saat dia melempar salam dari tepi jalan. Terakhir dia kemari sekitar tiga minggu lalu saat membeli tiga patung komodo untuk turis yang ia bawa. Kukira kali ini juga, ia datang bersama turis.
“Ama sehat?”Ia menyapa.
“Sekuat komodo.” Balasku pendek sambil menerima uluran tangannya.
“Syaiful.”Kata turis itu saat kami berjabat tangan.
“Butuh berapa? Ada lima aku punya patung. Ambil semua?”
Dia tak menjawab pertanyaanku dan justru beradu tatap dengan Syaiful. Mungkin mereka hanya butuh satu atau dua tapi bingung untuk mengatakannya padaku karena sudah kuberi tawaran lima buah. Akhir-akhir ini memang sedikit sekali turis yang membeli patung-patung yang kita buat. Apalagi turis dari luar negeri. Dengar-dengar mereka lebih menyukai rupa aneka jenis patung di Bali dibanding patung komodo.
“Ama tahu batu nisan yang ada di Pantai Liang?”
“Saya penasaran dengan batu itu.” Turis itu membuat pengakuan.
“Itu Mboho. Itu bukan nisan.”
Seumur aku hidup, baru kali ini ada orang asing yang menanyakan Mboho padaku. Antara senang dan khawatir, aku bingung apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Usai kuajak masuk rumah, sedikit kuberi penjelasan pada mereka.
“Mboho adalah penjaga Pulau Komodo. Berkat Mboho, sampai sekarang kita orang Ata Modo bisa hidup di tanah ini. Karena itu kita orang memberinya sirih sekapur sebagai wujud balas budi. Itu bukan nis…” Belum selesai aku bicara, turis itu menyodorkan selembar foto padaku.
“Apa orang ini yang membuat Mboho?”
Kepalaku seperti digigit ular laut begitu kutangkap sosok yang ada di dalam foto. Aku terperanjat kaget setengah mati. Mereka pun ikut kaget sepertinya.
“Ini foto siapa punya?”
“Kira-kira dua puluh lima tahun lalu orang tua saya ke sini. Kata ibu saya, lelaki bercambang tebal itu menjual patung komodo yang ia bopong ke ayah. Belum lama ini saya menemukannya di gudang. Tapi sepertinya itu bukan patung. Coba Ama lihat lagi foto ini, bukankah itu komodo sungguhan?”
Penjelasan Syaiful kucerna dalam-dalam. Kusulut sebatang kretek sambil berusaha merapikan kepalaku yang dipenuhi benang-benang masa lalu. Meski sebenarnya dua puluh lima tahun adalah jarak yang sangat jauh untuk ditempuh, aku mudah sekali meloncat ke sana karena sebuah peristiwa. Tapi untuk merajut benang-benang itu dan mengisahkan pada mereka, aku tak yakin apakah aku bisa melakukannya.
“Aku masih kecil saat kamu orang punya ayah ke sini. Zaman itu belum ada satupun pemahat patung di sini. Tapi aku sangat mengenal itu orang. Dia Umpu Dato.”
Kusulut sebatang kretek untuk membantu ingatanku merangkai jalinan benang masa lalu. Aku ingat benar, matahari sedang duduk di pucuk pohon gebang saat Umpu Dato turun dari dia orang punya kapal. Kita menang! ucapnya pada kita orang yang sedari subuh sudah menanti di Pantai Liang. Semua orang bersorak. Aku dan anak-anak lain menari di dekatnya. Kami menyambut kemenangan yang ia bawa pulang. Umpu Dato seorang diri menemui penguasa ibu kota untuk membatalkan peraturan yang mewajibkan orang Ata Modo pindah keluar pulau agar rusa dan ayam hutan tidak diburu, agar komodo tak kekurangan makanan. Pembuat aturan itu mana tahu bahwa semua hasil berburu selalu kita orang bagi dengan komodo.
Orang Ata Modo percaya, kita orang dan komodo adalah saudara sedarah. Dulu, leluhur manusia dan nenek moyang komodo lahir dari satu rahim. Tapi keyakinan itu tetap saja tak bisa mengubah peraturan. Justru aturan itu seperti menuduh orang Ata Modo sebagai ancaman komodo sehingga ratusan tentara diperintah untuk mengusir kita orang. Beruntung ada Umpu Dato. Kata para tetua, satu-satunya yang bisa memulangkan tentara sekaligus membatalkan peraturan adalah Umpu Dato punya uang.
Malang nasib siapa tahu? Ternyata saat itu selain matahari, ajal Umpu Dato juga duduk di pucuk pohon gebang. Petaka itu terjadi dalam satu terjangan ombak besar. Semua orang terhempas ke pesisir. Saat air surut, samar-samar kulihat puluhan komodo menyerbu tubuh Umpu Dato seperti sedang memburu rusa. Petaka itu kemudian ditutup satu terjangan ombak besar lain. Giliran kawanan komodo terhempas hebat. Saat air surut, samar-samar kulihat batu putih seukuran rusa menggantikan tubuh Umpu Dato. Seandainya turis ini tak kemari, boleh jadi sampai mati pun aku tak akan tahu mengapa waktu itu kawanan komodo menyerang Umpu Dato. Mereka membuat perhitungan padanya. Beruntung tangan leluhur masih sudi menyelamatkannya meski dengan cara diubah menjadi batu.
“Ama? Sebenarnya Umpu Dato itu siapa? Tak lama ini saya sering bermimpi tentang dia.”Pertanyaan Syaiful mengoyak benang-benang masa lalu yang sedang kurajut di ingatan.
“Panjang cerita itu Mboho punya sejarah. Bolehlah ditulis saja supaya kamu orang bisa kasih cerita ke turis lain.”
“Biar aku saja! Kau tahu? Ini juga tugas seorang ranger.”
Catatan:
Mboho = Batu yang dikeramatkan penduduk Pulau Komodo karena diyakini menjadi tempat leluhur bersemayam
Ranger = Sebutan untuk pemantu wisata di Pulau Komodo