Pohon Kehidupan


POHON itu tumbuh subur dengan batangnya yang besar dan dahannya yang rindang. Daun-daunnya hijau dan lebat di musim hujan dan berguguran di musim kemarau. Namun pohon itu tidak pernah mati. Walaupun badai datang menumbangkannya hingga tertelungkup di tanah, akar-akarnya tercabut dan terpotong oleh manusia hingga bagian-bagian terkecil, pohon itu tetap hidup. Kami menyebutnya pohon kehidupan. Sedang manusia menamakannya kayu kehidupan.

Biasanya manusia menggunakan batang-batang dahannya untuk membuat pagar kebun mereka. Batang-batang yang terpotong itu akan tumbuh hidup sebagai pelindung tanaman. Untuk mematikan pohon kehidupan, biasanya manusia memanfaatkan batang-batang dahannya sebagai kayu api. Untuk itu mereka harus menelanjangi batang kayu itu dengan mengupas kulitnya hingga tinggal tulang dan menjemurnya di panas matahari dalam beberapa hari.

Leluhur kami berceritera bahwa pohon ini telah memberi kami kehidupan sejak jaman purbakala. Kami tidak pernah pindah ke pohon lain. Di pohon kehidupan ini kami hidup, berkembang biak, bekerja mencari makan dan tinggal untuk menutup mata.

Kami adalah klan semut yang mewarisi tubuh paling besar dengan kaki yang tinggi seperti batang tongkat. Manusia menyebut kami “Klabofei”. Sebuah nama aneh yang kami sendiri tidak tahu apa artinya. Mereka manusia memang selalu berkuasa atas seluruh mahluk hidup dan memberi nama yang aneh-aneh. Klan kerdil kami, baik yang berkulit merah ataupun hitam, lebih memilih hidup di tanah dan menggali lorong-lorong bumi sebagai benteng perlindungan. Namun beberapa kejadian alam yang melanda bumi mengakibatkan setiap klan semut harus berkembang dan beradaptasi. Dari klan-klan yang berkembang, kami klan semut berkulit merah dan bertubuh besar adalah klan yang mampu bertahan lama dan berkembang biak hingga kini.

Leluhur kami berceritera bahwa pada jaman dahulu kala telah terjadi air bah yang melanda daratan. Banyak bangsa semut yang tenggelam dan mati namun sebagian diantara mereka mampu beradaptasi dengan memanjat pohon-pohon tinggi untuk berlindung. Sedang sebagiannya tumbuh sayap di pundak mereka dan menjadikan mereka semut yang bisa terbang. Tapi ketika hujan deras terus mengguyur dan tidak adanya sumber panas mengakibatkan sayap-sayap mereka patah. Mereka kedinginan tanpa makan, lemas, akhirnya mati. Semua klan semut bersayap itu tidak berumur panjang. Sedang klan kami yang memanjat pohon berlindung di pohon kehidupan dan bekerja membangun sarang-sarang dari daun-daunnya yang cukup lebar. Sarang-sarang itu berbentuk bola yang tertutup sehingga air hujan sulit untuk menembusnya. Sejak saat itu, kami tidak pernah hidup di tanah. Klan kami berkembang biak di pohon dan membuat sarang-sarang seperti daun-daun yang tergulung dan menyerupai bola.

*

Biasanya pada pagi hari aku bersama klan lainnya melakukan sedikit gerakan seperti olahraga untuk menjaga kesehatan dan kekuatan otot-otot. Kami keluar dari sarang dan berjejer rapi sepanjang batang pohon dan berjemuran matahari. Dengan dipimpin oleh ratu yang merupakan raja koloni, kami bernyanyi bersama menyambut pagi. Pemimpin klan adalah seekor betina. Dia mewarisi sel kepemimpinan itu dari ayahnya yang telah tiada termakan usia. Bagi kami, syarat menjadi pemimpin hanya satu yaitu siapa yang bisa memahami bahasa manusia. Keturunan klan yang memahami bahasa manusia itu adalah ratu kami dan leluhur-leluhur mereka yang berhubungan dengan manusia sejak jaman purba. Sejak saat itu kami menamai manusia sebagai sulaiman. Nama dari raja manusia saat itu yang menjalin hubungan baik dengan klan pemimpin kami.

Setiap pagi kami keluar dari sarang dan merenggangkan otot-otot sambil bernyanyi syair leluhur. Suara kami menggetarkan daun-daun dan membuat burung-burung beterbangan:

Bila kita tetap tinggal di pohon kehidupan
Kita tidak akan mati
Kecuali
Manusia-manusia mati

Suara nyanyian kami yang serentak membumbung keangkasa dan menggelegar menyebar ke segala penjuru.

**

Menjelang mentari mulai bergerak menuju waktu kerja, tatapan kami akan serentak beralih ke arah sebuah gubuk yang juga terbuat dari daun-daun dan batang kayu. Keluar dari gubuk itu seorang manusia tua yang berjalan bongkok dengan tangan kanan memegang tongkat, sedang tangan kiri memegang piring kaca. Dia berjalan pelan melawan usia tuanya yang telah menjadikan tubuhnya renta. Lelaki tua berambut putih itu berhenti di kaki pohon kami dan menuangkan makanan yang ia sisipkan dalam sarapan paginya untuk diberikan kepada kami. Begitulah ratu selalu menerjemahkan bahasanya yang selalu ia ungkapkan saat menaruh makanan itu. Tanpa pikir panjang kami pun berbaris rapi ke batang kaki pohon dan membopong makanan-makanan itu ke rumah masing-masing.

Menurut ratu, lelaki tua itu adalah salah satu pewaris keturunan raja manusia Sulaiman. Ia juga melakukan apa yang dilakukan leluhur-leluhur mereka pada kami. Selama ini kami tidak pernah mencari makan ke dunia luar. Lelaki itulah yang telah memberi kami makan selama seabad ini. Lelaki tua itu meletakkan makanan di kaki pohon sebanyak tiga kali sehari; pagi, siang dan menjelang sinar mentari mulai pudar.

Selama aku hidup dari kecil hingga dewasa, aku belum pernah melihat kami bekerja mencari makan. Kami seperti sudah memiliki jatah makanan dari lelaki tua itu dan pohon kehidupan ini benar-benar telah membuat kami hidup. Benarlah kata leluhur bahwa kami akan tetap hidup bila kami tetap tinggal di pohon ini.

Hingga suatu pagi lelaki tua itu tidak juga muncul. Sedang tatapan kami terus terarah ke gubuk ia berteduh. Terdengar suara-suara ribut dari semua klan yang bertanya-tanya dan sang ratu berusaha menenangkan suasana. Tatapan kami terus mengarah ke gubuk tua itu dan terlihat satu-satu  manusia berdatangan. Raut mereka berbeda. Mereka menyembunyikan wajah dengan menunduk sedang yang lainnya mendendangkan ratapan kesedihan. Tatapan kami beralih ke ratu dan melihat ia juga menunduk dan ada sebutir air yang keluar dari kelopak matanya. Dia menangis dan menunduk lemas di batang kayu. Sedang kami bertanya-tanya ada apakah gerangan. Beberapa saat kemudian sang ratu memberi kabar duka bahwa lelaki tua itu telah tiada. Semua semut menunduk. Terasa ada awan hitam menaungi pohon kami dan seketika hujan turun. Semua klan berlari berlindung dalam sarang sambil menangis pilu.

Lalu bagaimana dengan nasib kami selanjutnya. Lelaki tua itu telah tiada. Siapa yang akan memberi kami makan. Malam itu sehabis hujan reda kami berkerumun di rumah ratu berharap mendapat kabar nasib kami esok hari. Namun ratu tidak menemui kami karena kesedihannya. Tidak ada yang bisa kami buat kecuali menahan lapar hingga pagi datang.

Saat mentari kembali terbit ratu mengumpulkan kami semua di kaki pohon. Di gubuk orang-orang berkumpul dan mereka akan membawa jenasah lelaki tua untuk ditanam. Ketika rombongan mereka keluar dari gubuk dan memikul keranda yang tertidur lelaki tua itu pergi, sesuai aba-aba ratu, kami segera berlari beraturan menuju gubuk kosong itu dan mengambil makanan sebanyak mungkin. Masing-masing kami harus membawa makanan secepat mungkin sebelum orang-orang itu pulang. Hanya cukup satu kali jalan kami merasa bisa kenyang sampai sore nanti.

Namun di setiap mata kami masih terpancar aroma ketakutan akan masa-masa gelap yang menimpa klan kami ke depannya. Ramalan-ramalan leluhur tentang kematian manusia-manusia sulaiman yang akan membawa kematian klan kami dan pohon kehidupan terlihat nyata di depan mata. Hari-hari berlalu tanpa kabar. Kekurangan makanan dan rasa lapar yang menghantui. Tindakan-tindakan gelap dengan mencuri makanan sesama mahluk telah membawa kami ke dalam pusaran kehidupan alam liar. 

Di ujung rasa putus asa, malam-malam kami masih ditemani dongeng-dongeng leluhur tentang impian terus hidupnya manusia-manusia sulaiman untuk melestarikan pohon kehidupan dan klan kami yang tetap hidup. Ada sinar kecil harapan yang tumbuh di hati kami saat melihat pemimpin kami yang masih berdiri tegak walaupun kadang layu dan sedih karena kesedihan kami. Kami percaya bahwa selagi klan ratu masih hidup maka manusia-manusia sulaiman juga masih hidup. Mimpi itu terus kami tumbuhkan di hati walaupun ramalan-ramalan kegelapan itu semakin nyata.

***

Musim kemarau datang dan daun-daun berguguran. Pohon kehidupan berdiri telanjang dan menyisakkan bola-bola sarang kami yang mulai menguning. Kehidupan terasa kering kerontang dan batang kaki pohon kami mulai gerah. Tidak ada semangat yang tumbuh di setiap sinar mata kami. Semuanya menunduk memandang hidup termasuk ratu. Aku merasa sangat prihatin dengan keadaan ini dan berpasrah diri untuk mati. Di tengah semua tatapan klan yang menunduk lesu di pagi buta telingaku mendengar langkah kaki yang tidak asing. Aku mengangkat kepala dan melihat ke arah gubuk tua itu. Seorang anak laki-laki kecil keluar membawa sebuah piring kaca yang aku sangat kenal bentuknya. Ia berjalan menuju pohon kehidupan kami. Segera aku berteriak ke ratu.

“Ratu, lihat! Lihat lelaki kecil itu!”

Ratu tersentak dengan teriakanku. Ia menatap ke arah kaki pohon dan segera berlari ke bawah. Sedang aku dan klan lainnya mengikutinya dari belakang. Sampai di bawah, kami berkumpul di depan wajah lelaki kecil itu yang duduk di kaki pohon. Dua bola matanya besar dan sinarnya sayu dan lembut. Wajahnya itu mirip seperti wajah lelaki tua itu. Dia lalu menaruh piring kaca berisi banyak sekali makanan di bawah kaki kami dan mulutnya berbicara. Lalu seperti ia menarik napas dalam dan menghembuskannya panjang. Ada butir-butir airmata yang jatuh menetes pipinya. Beberapa saat kemudian ia beranjak pergi.

Lalu sang ratu balik menghadap kami dan berkata:

“Dia berkata, dia merindukan kakeknya. Dia biasa melihat kakeknya menaruh makanan untuk kita. Dia mengingat kakeknya dan mulai saat ini dia akan memberi kita makan.”

Seketika semuanya bersorak-sorak riang. Rasa gembira dan bahagia memenuhi setiap rongga dada. Kami lalu berjejer membawa banyak sekali makanan untuk pulang ke rumah dengan penuh rasa syukur. Dalam bekerja, kami bernyanyi-nyanyi riang:

Bila kita tetap tinggal di pohon kehidupan
Kita tidak akan mati
Kecuali
Manusia-manusia mati

Suara kami menggema serentak membumbung ke angkasa dan menggelegar ke segala penjuru.

*)






Keterangan:

Pohon kehidupan di Nusa Tenggara Timur sering disebut kayu hidup, atau pohon Akasiah. Pohon ini susah sekali mati walaupun pohonnya tumbang, atau terpotong-potong dan terlempar begitu saja, ia tetap hidup. Biasanya warga menggunakan batang kayunya sebagai pagar kebun atau halaman rumah dan batang-batang itu akan tumbuh subur. Untuk mematikan pohon ini biasanya dibakar pangkalnya atau warga yang menjadikannya kayu api mengelupas kulitnya hingga tulang dan menjemurnya di panas matahari dalam beberapa hari. Di Alor “kayu hidup” ini menjadi tempat tinggal semut-semut raja yang di sebut “Klabofei”.

Bagikan:

Penulis →

Hadi Amasae

Cerpenis yang lahir di Alor, Nusa Tenggara Timur, 12 desember 1985. Berpendidikan Akademi Maritim Indonesia (AMI), Makassar. Kini tinggal di Kupang dan berwiraswasta. Cerpen-cerpennya terbit di Magrib.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *